Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Bank Indonesia

Kompas.com - 06/04/2021, 15:16 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

Tahun 1830

Akibat adanya Perang Jawa yang terjadi, kas negara pun secara perlahan mulai terkuras, untuk itu demi mengisi kembali uang kas negara, Belanda memberlakukan tanam paksa (cultuurstelsel) di Hindia Belanda.

Penyimpangan dari pengimplementasian cultuurstelsel sendiri telah tertuang di dalam novel Max Havelaar karya Douwes Dekker yang mengundang polemik di kalangan masyarakat serta politikus di Belanda. 

Untuk mendukung kebijakan finansial dari cultuurstelsel, pemerintah kolonial pun menggunakan DJB sebagai medianya. 

Dalam rentang tahun 1829-1870, DJB telah melakukan ekspansi bisnis dengan membuka kantor cabang di beberapa kota di Hindia Belanda, termasuk di luar Jawa, seperti Semarang (1829), Surabaya (1829), Padang (1864), Makassar (1864), Cirebon (1866), Solo (1867), dan Pasuruan (1867). 

Tahun 1870

Terjadi liberalisasi ekonomi Hindia Belanda. Pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) yang memperbolehkan pihak swasta untuk menanamkan modal mereka pada setiap sektor bisnis di Hindia Belanda. 

Adanya undang-undang tersebut juga turut mendorong kebangkitan sektor perkebunan di Hindia Belanda sehingga mampu menjadi produsen penting untuk komoditas-komoditas perdagangan internasional. 

Dengan adanya eksploitasi besar-besaran yang dilakukan Belanda selama penerapan Sistem Tanam Paksa, hal ini mengakibatkan munculnya gerakan yang disebut sebagai politik balas budi atau yang dikenal dengan Politik Etis tahun 1901. 

Pada awal abad ke-20, mulai banyak bermunculan bank-bank perkreditan yang bertujuan untuk mendorong perkembangan perekonomian rakyat. 

Tahun 1942

Jepang mulai menduduki Nusantara. Pada masa pemerintahan militer Jepang, DJB dilikuidasi. Tugas DJB sebagai bank sirkulasi pun kemudian digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG). 

Baca juga: Sistem Ekonomi Liberal pada Masa Kolonial dan Kondisi Masyarakat

Pascakemerdekaan 

Tahun 1945

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Belanda kemudian kembali berusaha untuk menguasai kembali Indonesia melalui Netherlands Indies Civic Administration (NICA).

Di masa ini, DJB kembali didirikan oleh NICA untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA. Hal tersebut dengan tujuan agar perekonomian Indonesia mengalami kekacauan. 

Namun, sesuai dengan mandat yang tertulis pada Undang-undang pasal 23 Tahun 1945, Pemerintah RI kemudian membentuk bank sirkulasi yaitu Bank Negara Indonesia (BNI). 

Untuk kembali menegakkan kedaulatan ekonomi, BNI menerbitkan uang sendiri dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI). 

Munculnya BNI milik RI dan DJB milik NICA ini lantas menimbulkan terjadinya dualisme bank sirkulasi di Indonesia dan munculnya peperangan mata uang (currency war). 

Pada masa ini uang DJB dikenal dengan sebutan "uang merah" dan ORI dikenal dengan "uang putih". 

Tahun 1949

Konferensi Meja Bundar diselenggarakan pada tahun 1949 dan menghasilkan salah satu butir kesepakatan penting yaitu pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda. 

Kedudukan RIS sendiri berada di bawah kuasa Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia menjadi bagian dari RIS sendiri. 

Tidak hanya itu, KMB juga memberikan hasil yaitu menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi Republik Indonesia Serikat. 

Alhasil, Republik Indonesia memutuskan untuk keluar dari RIS dan setelahnya pada masa peralihan kembali menjadi NKRI, sedangkan DJB tetap menjadi bank sirkulasi dengan kepemilikan saham oleh Belanda. 

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com