Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Bank Indonesia

Cikal bakal Bank Indonesia sudah dimulai sejak masa kolonial Hindia Belanda.

Masa Kolonial 

Tahun 1600

Pada abad ke-16, tepatnya tahun 1600, Asia Tenggara didatangi oleh Eropa guna untuk mencari rempah-rempah. 

Di Nusantara sendiri telah berdiri berbagai kerajaan yang telah memiliki mata uangnya sendiri dan beredar pula mata uang asing seperti Picis dari Tiongkok. 

Tahun 1602

Lalu pada tahun 1602 terbentuklah sebuah maskapai dagang. Maskapai dagang tersebut disebut dengan Vereenigde Oost-Indishce Compagnie atau yang dikenal VOC (Persekutuan Dagang Hindia Timur).

Pada masa VOC mata uang Real asal Spanyol sudah masuk ke Nusantara.

Tahun 1603

Masuknya maskapai dagang VOC ke Nusantara pada saat itu bertujuan untuk membuka perdagangan di Nusantara sekaligus ingin menghancurkan dominasi Portugis namun mengalami kegagalan. 

Tahun 1746

Berdiri bank pertama di Nusantara untuk membantu menunjang kegiatan perdagangan pada tahun 1746. 

Bank tersebut bernama Bank van Courant. 

Bank ini bertugas untuk memberikan pinjaman dengan emas, perak, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya sebagai sebuah jaminan. 

Enam tahun berselang, tahun 1752, Bank van Courant disempurnakan menjadi De Bank van Courang en Bank van Leening. 

Bank ini bertugas untuk memberikan pinjaman kepada seluruh pegawai VOC agar mereka dapat menempatkan dan memutar kembali uang mereka melalui lembaga tersebut. 

Imbalan bunga pun juga sudah mulai berlaku. 

Tahun 1818

Setelah cukup membantu menunjang perekonomian perdagangan di Nusantara, Bank Courant en Bank Van Leening harus ditutup lantaran terjadi krisis keuangan. 

Tahun 1828 

Sepuluh tahun berselang setelah Bank Courant en Bank Van Leening ditutup, De Javasche Bank pun dibentuk dengan tujuan nantinya akan menjadi cikal bakal di Indonesia. 

Pada tahun ini, pemerintah Kerajaan Belanda memberikan hak octrooi atau hak-hak istimewa kepada De Javasche Bank (DJB) untuk bertindak sebagai bank sirkulasi. 

Berfungsi sebagai bank sirkulasi, DJB berwenang untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di Wilayah Hindia Belanda. 

Selama 10 tahun sekali hak octrooi akan diperpanjang, sehingga secara keseluruhan DJB telah sebanyak tujuh kali melalui masa perpanjangan octrooi. 

DJB menjadi bank sirkulasi pertama yang ada di Asia. 

Tahun 1830

Akibat adanya Perang Jawa yang terjadi, kas negara pun secara perlahan mulai terkuras, untuk itu demi mengisi kembali uang kas negara, Belanda memberlakukan tanam paksa (cultuurstelsel) di Hindia Belanda.

Penyimpangan dari pengimplementasian cultuurstelsel sendiri telah tertuang di dalam novel Max Havelaar karya Douwes Dekker yang mengundang polemik di kalangan masyarakat serta politikus di Belanda. 

Untuk mendukung kebijakan finansial dari cultuurstelsel, pemerintah kolonial pun menggunakan DJB sebagai medianya. 

Dalam rentang tahun 1829-1870, DJB telah melakukan ekspansi bisnis dengan membuka kantor cabang di beberapa kota di Hindia Belanda, termasuk di luar Jawa, seperti Semarang (1829), Surabaya (1829), Padang (1864), Makassar (1864), Cirebon (1866), Solo (1867), dan Pasuruan (1867). 

Tahun 1870

Terjadi liberalisasi ekonomi Hindia Belanda. Pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) yang memperbolehkan pihak swasta untuk menanamkan modal mereka pada setiap sektor bisnis di Hindia Belanda. 

Adanya undang-undang tersebut juga turut mendorong kebangkitan sektor perkebunan di Hindia Belanda sehingga mampu menjadi produsen penting untuk komoditas-komoditas perdagangan internasional. 

Dengan adanya eksploitasi besar-besaran yang dilakukan Belanda selama penerapan Sistem Tanam Paksa, hal ini mengakibatkan munculnya gerakan yang disebut sebagai politik balas budi atau yang dikenal dengan Politik Etis tahun 1901. 

Pada awal abad ke-20, mulai banyak bermunculan bank-bank perkreditan yang bertujuan untuk mendorong perkembangan perekonomian rakyat. 

Tahun 1942

Jepang mulai menduduki Nusantara. Pada masa pemerintahan militer Jepang, DJB dilikuidasi. Tugas DJB sebagai bank sirkulasi pun kemudian digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG). 

Pascakemerdekaan 

Tahun 1945

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Belanda kemudian kembali berusaha untuk menguasai kembali Indonesia melalui Netherlands Indies Civic Administration (NICA).

Di masa ini, DJB kembali didirikan oleh NICA untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA. Hal tersebut dengan tujuan agar perekonomian Indonesia mengalami kekacauan. 

Namun, sesuai dengan mandat yang tertulis pada Undang-undang pasal 23 Tahun 1945, Pemerintah RI kemudian membentuk bank sirkulasi yaitu Bank Negara Indonesia (BNI). 

Untuk kembali menegakkan kedaulatan ekonomi, BNI menerbitkan uang sendiri dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI). 

Munculnya BNI milik RI dan DJB milik NICA ini lantas menimbulkan terjadinya dualisme bank sirkulasi di Indonesia dan munculnya peperangan mata uang (currency war). 

Pada masa ini uang DJB dikenal dengan sebutan "uang merah" dan ORI dikenal dengan "uang putih". 

Tahun 1949

Konferensi Meja Bundar diselenggarakan pada tahun 1949 dan menghasilkan salah satu butir kesepakatan penting yaitu pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda. 

Kedudukan RIS sendiri berada di bawah kuasa Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia menjadi bagian dari RIS sendiri. 

Tidak hanya itu, KMB juga memberikan hasil yaitu menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi Republik Indonesia Serikat. 

Alhasil, Republik Indonesia memutuskan untuk keluar dari RIS dan setelahnya pada masa peralihan kembali menjadi NKRI, sedangkan DJB tetap menjadi bank sirkulasi dengan kepemilikan saham oleh Belanda. 

Tahun 1953

Pada tahun 1951, muncul sebuah desakan yang mengharuskan untuk mendirikan bank sentral sebagai wujud dari kedaulatan ekonomi Republik Indonesia. 

Oleh karena itu, pemerintah kemudian memutuskan untuk membentuk Panitia Nasionalisasi DJB. Proses ini pun dilakukan dengan melakukan pembelian saham DJB oleh pemerintah RI dengan besaran mencapai 97%. 

Pada 1 Juli 1953, Pemerintah RI menerbitkan UU No.11 Tahun 1953 mengenai Pokok Bank Indonesia, di mana Bank Indonesia resmi berdiri sebagai Bank Sentral Republik Indonesia. 

Kali ini tugas BI tidak hanya menjadi bank sirkulasi saja, melainkan juga sebagai bank komersial dengan melakukan pemberian kredit. 

Terdapat Dewan Moneter yang bertugas untuk menetapkan kebijakan moneter yang diketuai oleh anggota Gubernur BI dan Menteri Perdagangan pada masa itu. 

Setelah DM menetapkan kebijakan moneternya, BI bertugas untuk menyelenggarakan kebijakan moneter tersebut. 

Pada tahun 1965 Presiden Soekarno berusaha untuk menyatukan semua bank negara menjadi bank sentral. Melalui Perpres No 7/1965, didirikanlah Bank Tunggal Milik Negara. 

Pada masa demokrasi terpimpin ini berbagai lembaga kenegaraan digabung tidak hanya terjadi dalam bidang politik dan militer, pemerintah Indonesia juga menggabungkan bank-bank negara ke dalam bank sentral yang disebut Bank Tunggal Milik Negara. 

Tahun 1968 

Pemerintah RI mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Di dalam undang-undang tersebut berisi tentang pengembalian tugas BI sebagai Bank Sentral Republik Indonesia dan menghentikan status BI sebagai BNI Unit I. 

Salah satu pasal dalam undang-undang ini juga mengatur bahwa BI tidak lagi memiliki fungsi untuk menyalurkan kredit komersial, tetapi berperan sebagai agen pembangunan dan pemegang kas negara. 

Melalui UU No. 21 dan 22 Tahun 1968, bank-bank lainnya yang tergabung dalam Bank Tunggal berubah kembali menjadi bank pemerintah yang berdiri sendiri. 

Tahun 1988 

BI mengeluarkan sebuah paket berisi kebijakan deregulasi perbankan dengan nama Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 atau yang dikenal dengan Pakto 88 atau Pakto 27. 

Kebijakan tersebut dibuat dengan tujuan untuk mendorong tumbuhnya industri perbankan dengan mempermudah perizinan dalam mendirikan sebuah bank baru. 

Tahun 1997 

Pada tahun ini Indonesia mengalami krisis moneter yang kemudian mendorong BI untuk mengambil langkah-langkah kebijakan penanggulangan krisis. 

Adapun kebijakan yang dibuat adalah penerapan kebijakan floating exchange rate sebagai nilai tukar, penutupan bank-bank bermasalah, dan restrukturisasi bank-bank yang tidak sehat. 

Dalam UU tersebut, tujuan dari BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah dan menghapuskan tujuan sebagai agen pembangunan. 

Sejak periode ini berlangsung, BI telah menetapkan rezim kebijakan moneter dengan inflation targeting framework. 

Dalam framework tersebut, ITF, kredibilitas dari BI dinilai dari segi kemampuannya dalam mencapai sasaran inflasi yang sudah ditetapkan pemerintah. 

Tahun 2004 

Pada tahun ini DPR telah mengesahkan UU No. 3 Tahun 2004 mengenai Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. 

Dalam undang-undang tersebut berisi mengenai penegasan terhadap kedudukan baru bank sentral yang independen, penyempurnaan pengaturan tugas dan wewenang, dan penataan fungsi pengawasan BI. 

Tahun 2009

DPR mengesahkan UU No. 6 Tahun 2009 mengenai Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. 

UU ini berfungsi untuk menegaskan dan memperjelas peran BI dalam fungsinya sebagai lender of the last resort. 

Tahun 2011

UU No 21 Tahun 2011 mengenai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disahkan oleh DPR, di mana UU ini bertujuan untuk mengalihkan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK. 

UU ini membagi ruang lingkup menjadi pengaturan dan pengawasan mikroprudensial lembaga keuangan sebagai wewenang dari OJK, sementara pengaturan dan pengawasan makroprudensial menjadi tanggung jawab dari BI dengan stabilitas sistem keuangan sebagai sasarannya. 

https://www.kompas.com/stori/read/2021/04/06/151632279/sejarah-bank-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke