Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Selera Pasar

Perdebatan lama terjadi, apakah manusia membangun pasar atau justru pasarlah yang akhirnya mengatur selera manusia. Yang jelas, interaksi aktif terjadi antara pasar dan manusia di dalamnya.

Memang, manusia awalnya mendirikan pasar, baik bangunan ataupun sekadar tempat berkumpul.

Perkumpulan itu menciptakan interaksi yang banyak. Di situlah transaksi terjadi, sekaligus komunikasi dan kompetisi. Ini yang akhirnya menentukan harga, selera, barang, dan perilaku penjual dan pembeli.

Manusia akhirnya dibentuk oleh ciptaannya sendiri. Manusia menciptakan pasar, tetapi akhirnya manusia memaksa dirinya untuk menyesuaikan diri dengan selera pasar.

Di pasar tradisional, para penjual dan pembeli bertemu saling bernegosiasi soal produknya. Itu adalah barang yang dijual, komponen utama kenapa pasar diadakan.

Produk ini menjadi tujuan bagi kedua belah pihak, penjual memasarkan produk agar pembeli tertarik barang dagangan. Pembeli datang untuk mendapatkan barang berkualitas dengan harga terjangkau.

Interaksi dalam pasar ini membentuk diri manusia. Bagaimana penjual menyiapkan barang-barangnya, dan pembeli mencari barang terbaik. Persaingan antarpenjual tidak bisa dielakkan.

Di pasar, penjual berusaha merebut hati para pembeli. Produk menjadi andalan, walaupun terkait banyak hal.

Betul, produk menjadi komponen utama di pasar. Manusia bekerja sepanjang tahun, meniti karier, dan mencapai tujuan tertinggi karena ingin memproduksi barang terbaiknya dalam hidup: jasa, materi, gagasan, atau legitimasi relasi sosial dan politik.

Itu yang ditawarkan pada kliennya, jika barang yang diproduksi diminati, produsen akan eksis.

Dalam teori lama Marxisme dan teori modern tentang marketing keduanya membahas produk sebagai acuan pertama: apa yang dijual di pasar.

Di pasar tradisional di seantereo Nusantara, pengunjung membutuhkan barang-barang kebutuhan sehari-hari: beras, sayur-mayur, minyak, bumbu, lauk-pauk dan buah.

Lokasi turut menentukan harga barang. Pasar tradisional menyediakan dagangan langsung dari produsen: petani atau tengkulak tangan pertama atau kedua.

Ikan-ikan segar datang langsung dari pemancingan. Buah dari kebun. Sayur dari penanamnya. Maka harga di pasar tradisional cenderung lebih murah daripada di mal, grosir, atau tempat-tempat yang sudah mematok pajak lebih tinggi. Tempat mewah dan bersih membutuhkan biaya, itu ditanggung oleh pembeli.

Tempat juga menentukan barang apa saja yang disediakan karena selera pembeli. Pembeli sudah mempunyai preferensi tentang barang. Merek dan jenis produk tertentu disediakan di pasar tertentu.

Di semua jenis pasar, terjadilah kompetisi antara penyedia barang. Mereka berusaha promosi di luar pasar. Jasa tambahan untuk antar atau bonus tertentu pun ditawarkan.

Kompetisi ini sifatnya juga saling mempelajari dan menyalip. Bagaimana strategi lawan dan respons apa yang ditawarkan untuk menarik minat pembeli.

Namun selera pasar sering dinamis. Perubahan selera mendadak para pembeli. Kadangkala selera yang bertahan lama di pasar juga ada.

Produk menyangkut bentuk, kualitas, kemasan, kemanfaatan, atau jasa lain yang ditawarkan penyedia barang.

Selera kadang sulit ditebak. Barang sudah diproduksi dengan hati-hati kadang tidak dilirik. Kualitas prima juga tidak menjamin pembeli menyentuh. Paket lengkap pun belum tentu laku.

Selera pasar memang berbeda dengan asumsi penyedia barang. Pembeli memang raja, dilayani, dirayu, dijanjikan, difasilitasi.

Dalam teori marketing modern ada banyak komponen: barang, harga, promosi, pemasaran, target pemasaran, tempat, harga, paket, bukti, dan proses.

Pasar lebih luas adalah panggung Indonesia, dan seleranya lebih sulit dicari polanya. Pasar segala rupa besar ini tempat kompetisi tidak hanya barang dan jasa ekonomi, tetapi juga hal-hal sosial dan politik.

Intervensi di pasar tidaklah satu-satunya faktor. Selera pembeli tidak tetap atau pun ajeg. Sulit ditebak. Seleranya dinamis, bisa berubah mendadak atau pelan-pelan.

Tidak selamanya kemasan agamis itu diminati, misalnya. Memang promosi dengan cara agamis itu murah, proses tidak panjang, pasarnya jelas karena masyarakat religius.

Masyarakat Indonesia menganggap etika berasal dari agama. Tetapi, kenyataan tidak selalu begitu. Selera pasar berubah tiba-tiba atau sudah lama berubah tidak disadari.

Memang dulu, kemasan agamis paling mudah dipahami. Semua produk dikemas dengan cara itu. Biro perjalanan, fashion, pendidikan, ideologi, ekonomi, politik dan otoritas. Semua dengan cap halal sudah sah.

Namun, selera pasar bisa saja berbelok. Selera pasar kadang mengejutkan. Sesuatu yang sifatnya membosankan, tidak terlalu serius, tidak menghibur, tidak menarik, dan hal-hal remeh temeh malah menarik minat pembeli.

Apalagi pasar sudah bercampur promosi online dan offline, promosi media sosial full plus turun ke pasar.

Penampilan, kemasan, cara promosi, marketing, dan target marketing kadang lebih efektif. Proses produksi, harga instan dan konsekuensi jangka panjang, kadang sedikit pengaruhnya.

Selera pasar membentuk siapa itu manusia. Manusia menyesuaikan selera pasar, termasuk manusia Indonesia.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/01/11/080611479/selera-pasar

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke