Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kenapa Syiah Dibenci di Indonesia?

Perselisihan antara orang Sunni dan Syiah tercatat pernah terjadi di Kabupaten Batang (2000), Bondowoso (2006), Bangil (2007), Jember (2012), dan Sampang (2012).

Persamaan dari kasus-kasus tersebut adalah adanya penolakan dari umat Islam Sunni kepada orang-orang Syiah.

Pada 2012, puluhan rumah pengikut Syiah di Sampang, Madura, dilempari batu dan dibakar hingga mengakibatkan korban tewas serta puluhan lainnya diusir dari desa.

Mereka harus mengungsi ke luar daerah, tepatnya ke Sidoarjo, Jawa Timur, dan banyak yang baru diperbolehkan kembali pada 2023.

Setelah itu, pelarangan terhadap kegiatan keagamaan Syiah di beberapa daerah di Indonesia masih terus terjadi.

Lantas, kenapa Syiah dibenci di Indonesia?

Kenapa Syiah dibenci?

Syiah dibenci di Indonesia karena sejak kelahirannya, Syiah sudah dibenci oleh umat Islam Sunni.

Di Indonesia dan negara-negara lain kecuali Iran, Islam yang populer adalah Sunni.

Selain itu, adanya kesalahpahaman yang cenderung menggeneralisasi semua Syiah itu ekstrem dan bertentangan dengan sunah Nabi juga menjadi alasan kenapa Syiah dilarang.

Ibnu Khaldun dan banyak pemikir kontemporer lainnya meyakini Syiah dan Sunni muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632.

Istilah Sunni diambil dari kata Ahlussunnah Wal Jamaah, yakni pemahaman tentang akidah yang berpedoman pada sunah Nabi Muhammad dan para sahabatnya.

Penganut Islam Sunni berpendapat bahwa pemimpin setelah Nabi dapat dipilih lewat konsensus. Siapa pun pemimpinnya, yang terpenting mengikuti sunah Rasulullah.

Istilah Syiah berasal dari Bahasa Arab, syi'ah, yang berarti pengikut.

Secara terminologi, banyak pendapat yang dikemukakan para ulama tentang pengertian Syiah.

Quraish Shihab dengan mengutip pendapat Ali Muhammad al-Jurjani mendefinisikan kelompok Syiah adalah mereka yang mengikuti Ali bin Abi Thalib dan percaya bahwa Ali adalah imam (pemimpin umat) sesudah Rasulullah, serta meyakini imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya.

Sedangkan Abu Hasan Asy'ari mengatakan bahwa kelompok Syiah merupakan pengikut Ali dengan memberinya hak lebih tinggi di atas sahabat-sahabat Nabi yang lain.

Ketika Abu Bakar terpilih menjadi Khulafaur Rasyidin setelah wafatnya Nabi Muhammad, sejumlah keluarga dan sahabat Nabi menilai Ali bin Abi Thalib lebih layak menjadi khalifah.

Kelompok minoritas inilah yang disebut Islam Syiah dan sejak itu perpecahan di antara umat Muslim semakin serius.

Bagi kaum Syiah, otoritas kepemimpinan politik dan agama setelah wafatnya Nabi Muhammad hanya milik Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.

Dari klaim kepemimpinan politik dan keagamaan yang terangkum dalam konsep Imamah inilah kaum Syiah berselisih dengan kelompok Sunni hingga sekarang.

Umat Syiah mengalami masih paling berat pada saat Muawiyah membangun Kekhalifahan Bani Umayyah pada pertengahan abad ke-7.

Mereka tidak memiliki perlindungan dan banyak yang dikejar serta dibunuh pemerintah.

Penderitaan itulah yang menguatkan perjuangan kelompok Syiah menjadi aliran yang menentang penguasa yang berbuat tidak adil.

Pada perkembangannya, muncul berbagai macam golongan Syiah akibat perbedaan prinsip keyakinan dan pengangkatan imam.

Mayoritas penganut Syiah saat ini adalah golongan Syiah Itsna Asariyah atau Jafariyah.

Sedangkan Syiah Ghulat dan Rafidhah merupakan kelompok yang dinilai ekstrem bahkan keluar dari Islam sehingga keberadaannya ditolak oleh masyarakat.

Di semua negara, Syiah secara umum sebenarnya diakui sebagai bagian dari mazhab Islam.

Namun, mereka kerap dibenci oleh mayoritas Muslim dunia karena adanya kesalahpahaman yang cenderung menggeneralisasi semua Syiah itu ekstrem dan bertentangan dengan sunah Nabi seperti kelompok Syiah Ghulat dan Rafidhah.

Apakah Syiah sesat menurut MUI?

Syiah diperkirakan mulai masuk Indonesia setelah abad ke-16, ketika Persia (Iran) dikuasai Dinasti Safawi yang beraliran Syiah.

Kendati demikian, ada pula yang meyakini Syiah telah masuk Indonesia sejak awal munculnya Islam.

Menurut tokoh Syiah Indonesia, Jalaluddin Rahmat, perkembangan Syiah di Indonesia dibagi dalam empat fase, yaitu:

Kemenangan Syiah dalam Revolusi Iran 1979 membangkitkan simpati di kalangan aktivitas muda Islam di berbagai wilayah, termasuk Indonesia.

Naiknya popularitas Syiah membuat negeri-negeri orang Islam Sunni seperti Indonesia, "was-was".

Buku-buku bernada anti-Syiah dan propaganda anti-Syiah digaungkan.

Pada 1984, pernah terjadi pemboman Candi Borobudur, gereja di Malang, dan bus jurusan Bali.

Salah satu pelaku mengaku terprovokasi Revolusi Ian 1979 dan perancang pengeboman mengaku ingin menjadi imam di Indonesia.

Pada Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1984, dinyatakan bahwa faham Syiah mempunyai perbedaan pokok dengan mazhab Sunni yang dianut oleh umat Islam Indonesia.

Perbedaan tersebut di antaranya:

  • Syiah menolak hadis yang tidak diriwayatkan Ahlul Bait
  • Syiah memandang imam sebagai orang suci
  • Syiah tidak mengakui Ijma tanpa adanya imam
  • Syiah memandang bahwa menegakkan pemerintahan termasuk rukun agama
  • Syiah pada umumnya tidak mengakui Khulafaur Rasyidin, keculai Ali bin Abi Thalib

Dikarenakan adanya perbedaan tentang pemerintahan atau imamah, MUI mengimbau umat Islam Sunni Indonesia untuk waspada terhadap faham Syiah.

Pada 1997, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengingatkan kepada bangsa Indonesia agar tidak terkecoh oleh propaganda Syiah dan perlunya umat Islam memahami perbedaan prinsip ajaran Syiah dengan Islam.

Bentuk propaganda anti-Syiah pada masa lalu, ditambah dengan kesalahpahaman yang menggeneralisasi semua Syiah itu ekstrem, menjadi sebab masih banyak konflik terbuka antara umat Islam Sunni dan Syiah.

Pada 2015, MUI menyatakan tidak pernah melarang ajaran Syiah di Indonesia kecuali mengimbau umat Islam agar meningkatkan kewaspadaan tentang kemungkinan beredarnya kelompok Syiah yang ekstrem seperti Syiah Ghulat dan Rafidhah

"Dikeluarkannya surat MUI pada tahun 2004 bahwa sesungguhnya kita tidak punya posisi untuk mengatakan bahwa Syiah itu sesat," kata Ketua MUI bidang Hubungan Luar Negeri, Muhyiddin Junaidi seperti dikutip Kompas.com dari BBC Indonesia, Rabu (2/8/2023).

Meski aliran Syiah tidak dilarang di Indonesia, eksistensi kelompok Syiah di Indonesia, seperti halnya di negara lain di luar Iran, tidak signifikan.

Sejauh riset yang sudah dilakukan, tetap tidak diketahui jumlah penganut Syiah di Indonesia karena mereka pada umumnya memilih untuk diam.

Referensi:

  • Arkanudin, Ari. (2021). Studi tentang Analisis Aliran Syiah di Indonesia. Dewantara, 12: 144-158.
  • Hasim, Mohammad. (2012). Syiah: Sejarah Timbul dan Perkembangannya di Indonesia. Harmoni Jurnal Multikurtural dan Multireligius, 11 (4): 22-33.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/08/02/235500079/kenapa-syiah-dibenci-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke