Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pemberedelan Media Massa pada Masa Orde Baru

Pada awalnya, pemerintah Orde Baru menjanjikan kebebasan pers melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers.

Namun, seiring berjalannya waktu, kebebasan pers pada masa Orde Baru tidak lagi terwujud.

Bahkan, menurut catatan sejarah, pada masa ini, terdapat kurang lebih 70 surat kabar yang diberedel.

Tidak hanya itu, banyak juga wartawan yang ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah.

Lantas, mengapa terjadi pemberedelan media massa pada Orde Baru dan bagaimana kronologinya?

Menghalau kritik terhadap pemerintah

Masa pemerintahan Orde Baru dipimpin oleh Presiden Soeharto selama sekitar 32 tahun, sejak 1966-1998.

Masa kepemimpinan Presiden Soeharto memang banyak menuai kontroversi dari masyarakat, salah satunya kebijakan Fusi Parpol (penggabungan partai politik).

Alhasil, tidak sedikit pemberitaan di media yang memberi kritik terhadap kebijakan atau kegiatan yang dilakukan oleh Presiden Soeharto.

Pemerintah Orde Baru yang tidak menerima kritik dari media massa, memberedel banyak media.

Pemberedelan media massa dilakukan untuk menghalangi berita atau narasi kritis terhadap pemerintah.

Soeharto melarang penerbitan beberapa media massa pada saat itu karena sejumlah alasan lainnya, salah satunya berkaitan dengan isu mahasiswa yang menolak pencalonannya kembali sebagai presiden Indonesia.

Akibatnya, Soeharto melarang beberapa media massa beroperasi selama dua minggu.

Peristiwa pemberedelan media massa

Peristiwa Malari 1974

Kebebasan pers mulai sirna ketika terjadi Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974).

Pada 15 Januari 1974, Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka datang untuk bertemu dengan Soeharto.

Berita ini menyebar setelah diberitakan oleh media massa, bahwa Jepang akan melakukan investasi di Indonesia.

Saat itu, mahasiswa di Indonesia sudah merasa resah dengan kebijakan ekonomi yang ditetapkan Soeharto karena dianggap terlalu berpihak kepada investasi asing.

Begitu mendengar kabar datangnya PM Jepang, mahasiswa memanfaatkan kesempatan untuk menggelar aksi unjuk rasa.

Awalnya, aksi unjuk rasa berjalan damai, tetapi berujung rusuh, bahkan memakan korban jiwa.

Para mahasiswa dituduh melakukan kekerasan dan perusakan terhadap bangunan serta kendaraan, sehingga aparat mulai menembakkan peluru ke arah demonstran.

Namun, para mahasiswa membantah tuduhan tersebut. Dari peristiwa ini, Presiden Soeharto memberedel 14 media massa dengan mencabut surat izin cetak hingga pencabutan surat izin terbit.

Harian Kompas dan Tempo

Pada 1978, surat kabar Harian Kompas sempat ditutup sekitar dua minggu karena memberitakan isu aksi mahasiswa yang menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia.

Selain ditutup sementara, pihak Harian Kompas juga diminta menyampaikan permintaan maaf kepada Soeharto dan berjanji tidak akan mengangkat masalah Soeharto lagi, baik seputar militer atau pemerintahannya.

Selanjutnya, pada 1982, majalah Tempo juga sempat ditutup karena meliput kerusuhan di masa pemilihan umum (pemilu).

Mirip seperti Harian Kompas, Tempo juga diminta untuk menyampaikan permintaan maaf dan menandatangani perjanjian. Setelah itu, baru diizinkan untuk kembali terbit.

Majalah Monitor

Tidak selalu menyinggung Presiden Soeharto, pemberedelan media massa juga sempat dilakukan oleh Harmoko, menteri penerangan saat itu.

Pemberedelan terjadi akibat rubrik dari tabloid Monitor memberikan angket berisi jajak pendapat berjudul "Kagum 5 Juta."

Dalam angket tersebut, pembaca dapat memilih tokoh yang paling dikagumi. Hasilnya, peringkat satu ditempati oleh Presiden Soeharto dengan 5.003 kiriman, sedangkan Nabi Muhammad menempati posisi 11 dengan 616 kartu pos.

Kalangan Islam menganggap bahwa angket tersebut telah menghina agama. Alhasil, Menteri Penerangan Harmoko mencabut surat izin majalah Monitor.

Selain itu, pemimpin redaksinya, yakni Arswendo, dipenjara selama tiga tahun, hingga 1993.

Televisi dan Radio

Pada masa Orde Baru, media elektronik juga tidak luput dari aksi pemberedelan oleh pemerintah.

Pada 1995, salah satu program televisi sempat dilarang tayang lantaran mengundang tokoh-tokoh kritis di dalamnya.

Para tokoh kritis tersebut menyampaikan pendapat bahwa ada pejabat yang merangkap banyak jabatan.

Akibatnya, program ini hanya bertahan selama satu tahun dan akhirnya dilarang tayang pada 1996.

Koran Tempo, DeTIK, dan Editor

Media massa yang pernah diberedel oleh pemerintah Orde Baru pada 1994 karena melaporkan investigasi pemberlian kapal adalah majalah Tempo.

Pada 21 Juni 1994, majalah Tempo sempat mengulas berita tentang isu pembelian 39 kapal perang Jerman Timur.

Kapal-kapal tersebut dibeli seharga 12, 7 juta dollar AS atau sekitar 1,1 miliar rupiah.

Setelah ditelusuri lebih lanjut, rupanya kapal-kapal tersebut tidak memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan karena tidak cocok untuk perairan tropis.

Akibat pemberitaan itu, Presiden Soeharto, melalui Harmoko, mencabut izin penerbitan Tempo.

Tidak hanya Tempo, DeTIK dan Editor juga diberedel oleh Soeharto karena isi beritanya kritis dan memuat pendapat para kritikus Orde Baru.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/06/21/110000079/pemberedelan-media-massa-pada-masa-orde-baru

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke