Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Upacara Labuhan, Tradisi Panembahan Senopati yang Masih Lestari

Labuhan berasal dari kata "labuh", yang artinya membuang sesuatu ke dalam air sungai atau laut.

Upacara Labuhan telah menjadi tradisi Kasultanan Yogyakarta sejak zaman dulu, tepatnya sejak Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Panembahan Senopati.

Upacara ini diadakan dalam waktu tertentu dan tidak hanya dilakukan dengan cara membuang benda-benda ke dalam air sungai atau laut, tetapi juga ke gunung maupun ke tempat khusus lainnya.

Asal-usul Upacara Labuhan

Pada awalnya, Upacara Labuhan dilakukan untuk kepentingan politik, yakni pada ketika Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Islam, mencari dukungan untuk memperkuat kedudukannya di Yogyakarta.

Dukungan tersebut didapatkan dari Kanjeng Ratu Kidul, yang dipercaya sebagai penguasa Laut Selatan.

Panembahan Senopati kemudian bekerja sama dengan Kanjeng Ratu Kidul, guna mendapatkan kehidupan yang damai, adil, dan makmur, serta terhindar dari segala kesulitan.

Ada pula yang meyakini bahwa Panembahan Senopati melakukan pernikahan spritual dengan Kanjeng Ratu Kidul.

Sebagai imbalannya, Panembahan Senopati harus memberikan persembahan dalam bentuk Upacara Labuhan.

Sepeninggal Panembahan Senopati, upacara ini masih dilakukan oleh Kerajaan Mataram Islam, sebagai penghormatan dari perjanjian tersebut.

Konon, apabila Upacara Labuhan diabaikan oleh Kerajaan Mataram Islam, yang saat ini telah terpecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, maka Kanjeng Ratu Kidul akan murka dan menimbulkan malapetaka.

Oleh karena itu, Upacara Labuhan masih dilakukan oleh Kasultanan Yogyakarta dalam waktu tertentu.

Pihak Keraton Yogyakarta juga menyebutkan makna lain dari tradisi Labuhan, yakni untuk menjaga kelestarian alam dengan melabuhkan berbagai makanan ke laut.

Sementara sebagian masyarakat meyakini tujuan dari upacara Labuhan adalah untuk keselamatan Sri Sultan, Keraton Yogyakarta, maupun untuk rakyat Yogyakarta sendiri.

Jenis Upacara Labuhan

Upacara Labuhan dilakukan secara resmi oleh Keraton Yogyakarta dalam peristiwa-peristiwa tertentu, di antaranya:

  • Penobatan Sultan
  • Tingalan Panjenengan atau ulang tahun Sultan (Labuhan Alit)
  • Peringatan hari “Windo” penobatan Sultan atau setiap delapan tahun (Labuhan Ageng)

Selain itu, ada beberapa jenis Upacara Labuan yang dikenal masyarakat Yogyakarta, di antaranya:

  • Pisusung Jaladri Bhekti Pertiwi
  • Labuhan dari para nelayan
  • Labuhan khusus umat Hindu
  • Labuhan dari Yayasan Hendrodento
  • Labuhan Pen Chu

Meski terdapat beberapa jenis, Upacara Labuhan pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu memohon kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.

Prosesi Upacara Labuhan

Bagi Kasultanan Yogyakarta, Upacara Labuhan identik dengan membuang benda-benda keraton ke Laut Selatan, Gunung Lawu, Gunung Merapi maupun tempat khusus lainnya.

Beberapa benda yang biasa dilarung atau dihanyutkan ke air di antaranya:

  • Potongan kuku milik Sri Sultan selama setahun
  • Potongan rambut Sri Sultan selama setahun
  • Benda bekas berupa payung milik Sri Sultan
  • Layon sekar atau bunga kering sisa sesaji pusaka yang dikumpulkan selama setahun
  • Barang lain yang berbahan dasar kain

Secara umum, Upacara Labuhan dilaksanakan dengan melabuh uburampe yang sudah disiapkan.

Uburampe yang akan dilabuh berupa nasi tumpeng, jajan pasar, buah-buahan, dan berbagai macam bunga.

Setelah uburampe dilabuh, biasanya masyarakat akan memperebutkan uborampe dengan  menceburkan diri ke pantai. 

Sebagian masyarakat percaya bahwa uborampe yang sudah dilabuh dapat membawa berkah.

Pada saat Labuhan Ageng, pakaian Sultan juga akan dilabuh. Selain itu, benda-benda yang dilabuh dibagi menjadi empat bagian untuk dilabuh di empat tempat berbeda, yaitu di Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih Kahyangan.

Sedangkan pada saat Labuhan Alit, benda-benda yang dilabuh dibagi menjadi tiga bagian untuk dilabuh di Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu.

Labuhan Masyarakat Parangtritis

Masyarakat Parangtritis memiliki waktu tersendiri untuk melakukan Upacara Labuhan.

Biasanya, mereka melakukan Labuhan setiap tanggal 5 dan 6 Mei sampai Juni, atau setelah panen.

Pada hari Senin Pon, masyarakat memasang sesaji di tempat keramat, seperti Makam Syaikh Belabelu, Makam Syaikh Maulan Maghribi, dan di Cepuri. 

Kemudian, pada hari Selasa Wage diadakan Bhekti Pertiwi dengan membawa sesaji dan doa bersama.

Labuhan juga dilaksanakan dengan cara melabuh uburampe yang sudah disiapkan. Masyarakat Parangtritis meyakini bahwa selama rutin melakukan upacara ini, maka desa mereka akan dijaga oleh Kanjeng Ratu Kidul.

Berdasarkan kepercayaan masyarakat sekitar Parangtritis, bila upacara Labuhan tidak dilakukan, maka dapat mengakibitkan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti berkurangnya hasil laut, atau laka laut.

 

Referensi :

  • Jalil, Abdul. (2015). Memaknai Tradisi Upacara Labuhan dan Pengaruhnya terhadap Masyarakat Parangtritis. El Harakah, 71(1), 101-113.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/05/24/090000279/upacara-labuhan-tradisi-panembahan-senopati-yang-masih-lestari

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke