Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tembang Kakawin: Pengertian, Ciri-ciri, dan Contohnya

Kompas.com - 08/05/2024, 17:00 WIB
Eliza Naviana Damayanti,
Serafica Gischa

Tim Redaksi

Kakawin sekadar sebagai dokumen sejarah budaya dan sastra. Kakawin di atas biasanya masih terdengar dalam sulukan dalang. Namun tidak semua dalang mampu menggunakan bahasa Jawa kuna.

Akibatnya dalam berbagai bait kadangkala berubah menurut versi dalang itu sendiri. Bahkan kreativitas dalang sering terkesan memperkosa bahasa Jawa kuna.

Bagi yang tidak tahu, hal tersebut tentu biasa saja. Aneka sulukan dalang pun telah bergeser jauh dari kakawin ke tembang gedhe, dan juga macapat. Sebagian besar kakawin merupakan karya persembahan kepada raja.

Kakawin itu dicipta sebagai upaya penghormatan pada raja. Bahkan adakalanya karya itu sebagai gambaran abadi tingkah laku raja.

Kakawin Arjunawiwaha misalnya, jelas melukiskan gambaran raja Erlangga. Selain itu, ada pula kakawin yang memang dijadikan sebuah kitab besar, yang dianut oleh agama Buddha.

Karya seperti Sanghyang Kamayanikan, Wertasancaya, Gatotkacasraya merupakan kitab persembahan pada raja, dan adakalanya memang ditaati oleh pemiliknya.

Sampai detik ini, kakawin menjadi ”sastra simpanan”, artinya sebagai sastra museum. Hanya orang tertentu, yang paham bahasa Kawi, yang mau membuka dan mempelajarinya.

Bahkan di beberapa museum telah dilarang mengkopi ataupun memperbayak kakawin. Yang mempelajari kakawin juga hanya orang tertentu, terutama mahasiswa yang mengambil spesialisais bidang filologi. Umumnya belajar kakawin selalu terkendala oleh bahasanya.

 Jika harus diajarkan di sekolah pun agaknya repot, sebab yang paling urgent adalah nilainya kakawin itu sendiri. Kandungan nilai moral memang tinggi, tetapi bahasanya sering dianggap sulit.

Dalam pembelajaran di sekolah, kakawin memang tidak harus diajarkan pada sekolah umum, melainkan cukup dikenalkan sebelum mempelajari tembang Jawa.

Kakawin merupakan wujud puisi Jawa kuna yang sebenarnya memiliki nilai-nilai budi pekerti luhur. Nilai-nilai ini yang amat penting dikenalkan kepada para siswa, agar dapat menghargai karya-karya besar para pujangga (empu).

Baca juga: Pitutur Tembang Dolanan Menthog-Menthog

Referensi:

  • Efendi, A. (2011). Mengenal Tembung Macapat. Widyatama.
  • Poerbatjaraka, R. N. (2010). Karya Sastera Jawa Kuna Yang Berbentuk Tembang. Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com