KOMPAS.com - Kakawin tergolong tembang Jawa pinathok. Pinathok, berarti menggunakan aturan (patokan) yang jelas atau baku.
Hal ini perlu diketahu bagi seorang guru, agar memahami bahwa kakawin itu sebenarnya juga dilagukan, sehingga layak dinamakan tembang. Banyak kakawin yang ditembangkan oleh Ki Dalang. Bahkan, ada pula yang menganggap kakawin itu tembang mantra.
Kata "kakawin" berasal dari kata dasar "kawi", artinya puisi atau sajak. Orang yang ahli mencipta kawi disebut kawya. Pada awalnya, istilah tersebut berasal dari metrum-metrum di India.
Kata kawi juga bermakna seorang yang mempunyai pengertian yang luar biasa, seorang yang bisa melihat hari depan, seorang yang bijak. Sebut saja dalam jagat sastra Jawa ada kakawin Baratayuda karya Empu Sedah dan Panuluh, sebagai representasi karya bijak.
Tembang Jawa yang berupa kakawin sampai sekarang sering dipakai oleh dalang wayang kulit dalam bentuk suluk pedalangan. Suluk pedalangan biasanya dilagukan untuk mengiringi adegan pakeliran, untuk mewujudkan suasana sedih, gembira, jengkel, dendam, marah, dan lain-lainnya.
Baca juga: Makna Tembang Dolanan Jamuran
Perlu dipahami, kakawin itu puisi Jawa kuna yang bercirikan:
Era kerajaan masa Kediri dan Kahuripan, tentu banyak aktivitas membaca kakawin seperti melagukan tembang. Di bawah ini contoh kutipan kakawin Baratayuda:
Contoh 1
Leng-leng ramyanikang cacangka kumenyar mangrengga ruming puri
Mangkin tan siring halep ikang umah mas lwir murub ring langit
Tekwan sarwa manik tawingnya sinawung saksat sekar sinuji
Unggwan Bhanuwati yana mrenalangi mwang natha Duryudana
(Sardula Wikridita)
Contoh 2
Leng-leng gatiningkang hawan sabha-sabha nikeng Hastina
Samantara tekeng tegakl kurunarya ywa kresna laku
Sireng para cura ma kanwa janaka dulur narada
Kepanggih irikang tegal miluri karya Sang Bupati
(Sikarini)
Contoh 3
Mulat mara sang Arjunäsêmu kamänusan kasrêpan
Ri tingkah i musuh nira n pada kadang taya wwang waneh
Hana pwa ng anak ing yayah mwang ibu len uwanggêh paman
Makädi nrpa Salya Bhïsma sira sang dwijanggêh guru
(Perthiwitala)
Baca juga: Tembang Pangkur: Pitutur, Watak, Guru Lagu, lan Tuladha
Biarpun satu bait saja dapat disebut kakawin, misalnya sajak cinta yang hanya satu bait saja, namun kebanyakan kakawin terdiri atas beberapa bait yang berturut-turut memakai metrum yang sama sehingga membentuk sebuah pupuh tertentu.
Setiap pupuh dibedakan menurut variasi dalam metrumnya. Tidak ada ketentuan berapa jumlah bait dalam satu pupuh. Juga tidak ada ketentuan yang menghubungkan antara tema tertentu dengan sifat metrum tertentu.
Kakawin sekadar sebagai dokumen sejarah budaya dan sastra. Kakawin di atas biasanya masih terdengar dalam sulukan dalang. Namun tidak semua dalang mampu menggunakan bahasa Jawa kuna.
Akibatnya dalam berbagai bait kadangkala berubah menurut versi dalang itu sendiri. Bahkan kreativitas dalang sering terkesan memperkosa bahasa Jawa kuna.
Bagi yang tidak tahu, hal tersebut tentu biasa saja. Aneka sulukan dalang pun telah bergeser jauh dari kakawin ke tembang gedhe, dan juga macapat. Sebagian besar kakawin merupakan karya persembahan kepada raja.
Kakawin itu dicipta sebagai upaya penghormatan pada raja. Bahkan adakalanya karya itu sebagai gambaran abadi tingkah laku raja.
Kakawin Arjunawiwaha misalnya, jelas melukiskan gambaran raja Erlangga. Selain itu, ada pula kakawin yang memang dijadikan sebuah kitab besar, yang dianut oleh agama Buddha.
Karya seperti Sanghyang Kamayanikan, Wertasancaya, Gatotkacasraya merupakan kitab persembahan pada raja, dan adakalanya memang ditaati oleh pemiliknya.
Sampai detik ini, kakawin menjadi ”sastra simpanan”, artinya sebagai sastra museum. Hanya orang tertentu, yang paham bahasa Kawi, yang mau membuka dan mempelajarinya.
Bahkan di beberapa museum telah dilarang mengkopi ataupun memperbayak kakawin. Yang mempelajari kakawin juga hanya orang tertentu, terutama mahasiswa yang mengambil spesialisais bidang filologi. Umumnya belajar kakawin selalu terkendala oleh bahasanya.
Jika harus diajarkan di sekolah pun agaknya repot, sebab yang paling urgent adalah nilainya kakawin itu sendiri. Kandungan nilai moral memang tinggi, tetapi bahasanya sering dianggap sulit.
Dalam pembelajaran di sekolah, kakawin memang tidak harus diajarkan pada sekolah umum, melainkan cukup dikenalkan sebelum mempelajari tembang Jawa.
Kakawin merupakan wujud puisi Jawa kuna yang sebenarnya memiliki nilai-nilai budi pekerti luhur. Nilai-nilai ini yang amat penting dikenalkan kepada para siswa, agar dapat menghargai karya-karya besar para pujangga (empu).
Baca juga: Pitutur Tembang Dolanan Menthog-Menthog
Referensi: