Ada juga anggota istimewa Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan) dan Fujinkai.
Jepang menghidupkan kembali MIAI, federasi ormas Islam yang didirikan oleh KH Mas Mansyur dan rekan-rekannya pada 1937 di Surabaya.
Pada Mei 1942, Kolonel Horie, pemimpin Bagian Pengajaran dan Agama yang dibentuk oleh Jepang mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemuka agama Islam dari seluruh Jawa Timur di Surabaya.
Baca juga: MIAI dan Masyumi, Cara Jepang Galang Dukungan Umat Islam
Horie ingin berkenalan dengan para pemuka agama Islam. Ia hendak meminta umat Islam tidak melakukan kegiatan politik.
Sebagai gantinya, Jepang mengarahkan ulama dan umat Islam mencurahkan kegiatan keagamaan dan keumatannya lewat organisasi.
MIAI bertujuan agar ormas-ormas Islam yang bernaung di bawahnya bisa memobilisasi umat untuk keperluan perang.
Jepang pun mengaktifkan kembali MIAI pada 4 September 1942. Markasnya di Surabaya dipindah ke Jakarta.
MIAI bertugas untuk:
MIAI membuat sejumlah program yang berfokus pada pergerakan Islam. Mereka berencana membangun Masjid Agung di Jakarta dan mendirikan universitas.
Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan
Namun Jepang tak menyutujuinya. Jepang hanya menyetujui rencana MIAI membentuk baitulmal atau lembaga pengelola amal.
Pada 1943, MIAI bahkan diperbolehkan menerbitkan majalahnya yaitu Soeara MIAI. MIAI pun mendapat simpati yang luar biasa dari umat Islam.
Melihat hal itu, Jepang menjadi waspada terhadap perkembangan MIAI. Dana yang terkumpul di Baitulmal disalurkan ke umat alih-alih diserahkan ke Jepang.
Jepang melihat MIAI tidak berbahaya, namun MIAI juga tidak berkontribusi terhadap perang Jepang.
MIAI akhirnya dibubarkan pada November 1943 dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Masyumi didirikan pada November 1943. Ketua Pengurus Besarnya KH Hasyim Asy'ari. Wakilnya dari Muhammadiyah antara lain KH Mas Mansyur, KH Farid Ma’ruf, KH Mukti, KH Wahid Hasyim, dan Kartosudarmo.
Baca juga: Perbedaan Seinendan dengan Keibodan
Sementara Wakil Masyumi dari Nahdatul Ulama yakni KH Nachrowi, Zainul Arifin, dan KH Muchtar.
Masyumi berkembang dengan cepat karena di setiap karesidenan ada cabangnya. Tugas Masyumi di antaranya meningkatkan hasil bumi dan mengumpulkan dana.
Masyumi jadi wadah bertukar pikiran antara tokoh-tokoh Islam sekaligus menjadi tempat penampungan keluh kesah rakyat.
Masyumi juga berani menolak budaya Jepang yang tak sesuai dengan ajaran Islam. Salah satunya yakni seikerei atau posisi membungkuk 90 derajat ke arah Tokyo.
Ayah Buya Hamka, Abdul Karim Amrullah menolak sebab umat Islam hanya melakukan posisi itu ketika rukuk saat shalat dan menghadap kiblat.
Baca juga: Heiho dan PETA, Organisasi Militer Bentukan Jepang
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.