Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/02/2024, 19:08 WIB
Lulu Lukyani

Penulis

KOMPAS.com - Bagi banyak orang, perangkat elektronik adalah kebutuhan penting untuk kehidupan sehari-hari. Dengan perangkat elektronik, kita dapat melakukan banyak hal, mulai dari menghangatkan makanan di microwave hingga menjelajah internet.

Namun, ada laporan bahwa beberapa orang mengidap alergi terhadap radiasi yang dipancarkan dari perangkat elektronik. Kondisi yang dirasakan ini disebut electromagnetic hypersensitivity (EHS) atau hipersensitivitas elektromagnetik.

Lantas, apa kata ilmu pengetahuan tentang alergi terhadap listrik ini?

Apa itu EHS?

EHS ditandai dengan berbagai gejala non-spesifik, yang dikaitkan dengan paparan sumber medan elektromagnetik pada individu.

Gejala yang paling sering dialami antara lain gejala dermatologis (kemerahan, kesemutan, dan sensasi terbakar) serta gejala neurasthenic dan vegetatif (kelelahan, kelelahan, kesulitan konsentrasi, pusing, mual, jantung berdebar-debar, dan gangguan pencernaan).

Baca juga: Apakah Seseorang Bisa Alergi terhadap Sinar Matahari?

EHS menyerupai beberapa sensitivitas terhadap bahan kimia. Kedua kondisi tersebut ditandai oleh serangkaian gejala non-spesifik yang tidak mempunyai dasar toksikologi atau fisiologis atau verifikasi independen.

Apa yang dikatakan ilmu pengetahuan?

EHS adalah topik kontroversial di bidang medis. Saat ini, tidak ada bukti yang menghubungkan sumber medan elektromagnetik dengan gejala EHS yang dirasakan. Juga tidak ada penelitian yang dapat dipercaya yang menjelaskan bagaimana sumber medan elektromagnetik dapat menyebabkan gejala seperti itu.

Sebuah ulasan tahun 2019 menganalisis 28 studi eksperimental yang meneliti hubungan antara sumber medan elektromagnetik dan gejala EHS. Ulasan terakhir menganalisis kekuatan dan keterbatasan masing-masing penelitian, serta keandalan datanya.

Menurut para peneliti, penelitian yang menunjukkan bahwa sumber medan elektromagnetik dapat menyebabkan gejala negatif memiliki berbagai keterbatasan. Hal ini mencakup masalah seperti kegagalan menyaring peserta untuk mengetahui kondisi yang dapat menyebabkan gejala EHS atau analisis statistik yang tidak dapat diandalkan.

Baca juga: Bagaimana Logam Membuat Alergi pada Seseorang?

Selain itu, penelitian terbaru menemukan bahwa orang tidak dapat mengidentifikasi paparan sumber medan elektromagnetik yang sebenarnya.

Dalam sebuah studi tahun 2018, orang dengan EHS yang didiagnosis sendiri terpapar sumber medan elektromagnetik dari sistem seluler dan radio, serta sinyal palsu. Para peserta melaporkan lebih banyak gejala ketika mereka mengira setiap stasiun menyala, yang menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengetahui kapan mereka terkena sumber medan elektromagnetik.

Studi lain di tahun 2017 menemukan hasil serupa. Peserta dengan EHS yang didiagnosis sendiri terpapar sumber medan elektromagnetik dan frekuensi palsu dalam pola acak. Tak satu pun dari peserta dapat menunjukkan kapan mereka terkena paparan sumber medan elektromagnetik yang sebenarnya.

Kemudian, menurut ulasan tahun 2020, keyakinan bahwa sumber medan elektromagnetik berbahaya mungkin menyebabkan efek nocebo. Hal ini terjadi ketika seseorang mengalami gejala negatif dari suatu pengobatan karena keyakinan negatif tentang pengobatan tersebut.

Baca juga: Apakah Ada Orang yang Alergi Asap Rokok?

Beberapa ilmuwan juga berpendapat bahwa seseorang mungkin mengalami kondisi mendasar yang sudah ada sebelumnya dengan meyakini bahwa mereka mengidap EHS.

Dengan demikian, hingga saat ini, EHS adalah kondisi yang baru didiagnosis sendiri dan belum dapat dibuktikan secara ilmiah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com