Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

130.000 Tahun Lalu, Sebagian Eropa Tertutup Sabana

Kompas.com - 15/11/2023, 17:00 WIB
Monika Novena,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Wilayah Eropa di masa lalu selama ini diasumsikan ditutupi oleh hutan yang lebat.

Namun penelitian terhadap serbuk sari kuno menunjukkan bahwa Eropa kuno ternyata sebagian berupa sabana.

Baca juga: Kanibalisme Jadi Ritual Kebudayaan di Eropa 15.000 Tahun Lalu

"Rata-rata di setiap tempat yang kami amati, lebih dari vegetasinya merupakan hutan terbuka. Bayangkan semacam lanskap sabana," kata Elena Pearce, peneliti dari Universitas Aarhus di Denmark.

Studi serbuk sari

Mengutip New Scientists, Sabtu (11/11/2023) hampir semua penelitian yang dilakukan sebelumnya mengamati sekitar 10.000 tahun sejak zaman es terakhir.

Saat itu manusia menjadi sudah menjadi faktor dominan dalam membentuk lanskap.

Namun, Pearce bersama timnya melihat lebih jauh, ke periode interglasial sekitar 115.000 hingga 130.000 tahun yang lalu.

Timnya menganalisis hampir 100 sampel serbuk sari dari berbagai lokasi di Eropa, dari Arktik hingga Mediterania.

Peneliti kemudian menggunakan model komputer yang dikembangakan untuk memperhitungkan faktor-faktor seperti berapa banyak serbuk sari yang dihasilkan spesies berbeda untuk memprediksi tutupan vegetasi.

Peneliti menemukan vegetasi masa lalu sangat bervariasi dengan banyak padang rumput atau sabana.

Apa itu sabana?

Menurut Britannica, sabana adalah tipe vegetasi yang tumbuh di bawah kondisi iklim musiman yang panas dan kering. Sabana juga dicirikan memiliki pepohanan yang tersebar yang tumbuh di atas tumbuhan bawah berumput tinggi

Baca juga: Bagaimana Semut Api Merah Bisa Menginvasi Eropa?

Tetapi menariknya sabana di Eropa tidak dapat dijelaskan oleh faktor iklim. Ini juga bukan disebabkan oleh kebakaran.

Sehingga peneliti berpikir bahwa dominasi sabana di wilayah Eropa kuno terjadi karena megafauna termasuk gajah dan badak bergading lurus.

Menurut peneliti hewan-hewan tersebut menekan vegetasi berkayu dengan memakan dan menginjak-injak pohon muda.

"Saya pikir megafauna adalah faktor utamanya, meski kami belum dapat menguji gagasan ini secara langsung," kata Pearce.

Studi ini dipublikasikan di Science Advances.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com