Persekutuan antarindividu dalam masyarakat tidak bersifat hierarkis, tetapi bersifat sederajat.
Perjalanan hidup seseorang, pada akhirnya, terbentuk melalui dialektika antara struktur dan komunitas.
Dialektika seperti itulah yang membentuk perjalanan hidup sebagian masyarakat Indonesia akhir-akhir ini: bergerak dari struktur ke komunitas. Hal itu, antara lain, terlihat pada penggunaan bahasanya.
Dalam sapa-menyapa, misalnya, masyarakat antistruktur (sebagai komunitas) cenderung menggunakan pronomina solidaritas (pronouns of solidarity), seperti persona pertama: aku atau saya (untuk dirinya) dan bentuk persona kedua: Anda, kamu, engkau, kalian, atau nama diri (jika saling mengacu).
Pronomina kekuasaan (pronouns of power) yang memperlihatkan adanya hubungan hierarkis, seperti bapak dan ibu, tidak lagi mereka gunakan.
Baca juga: Bagaimana Orang pada Zaman Batu Berbicara dan Pakai Bahasa Apa?
Apakah bergesernya sifat hubungan pengguna bahasa dalam masyarakat: yang semula bersifat societas (terstruktur) menjadi komunitas (antistruktur) itu menjadi salah satu penyebab melemahnya mentalitas serta memudarnya rasa nasionalisme, jatidiri, dan karakter bangsa Indonesia? Wallahualam bissawab.
Yang pasti, Koentjaraningrat (1974) telah mengklasifikasi sikap budaya (baca: sikap bahasa) bangsa Indonesia.
Menurutnya, ada tiga sikap budaya positif dan enam sikap budaya negatif. Tiga sikap budaya positif itu adalah (1) bangga pada produk Indonsia, (2) setia pada prinsip hidup bangsa Indonesia, dan (3) sadar akan norma moral, hukum, dan (ke)disiplin(an).
Ketiga sikap budaya positif itu harus ditumbuhkan, karena akan membawa serta pada kebanggaan terhadap BI dan bahasa etnis Nusantara; pada kesetiaan terhadap BI sebagai bahasa nasional; serta pada kesadaran akan norma bahasa yang adab.
Sementara itu, enam sikap budaya negatif yang harus ditinggalkan adalah:
(1) Sikap budaya tuna-harga-diri terhadap bangsa asing, yang akan menulari sikap terhadap BI sebagai bahasa yang belum bermartabat.
(2) Sikap budaya meremehkan mutu, yang akan menumbuhkan sikap kepuasan terhadap bahasa yang asal jadi.
(3) Sikap budaya suka berlaku latah, yang akan menumbuhkan sikap bahasa untuk membenarkan kesalahkaprahan.
(4) Sikap budaya suka menerabas (jalan pintas), yang akan menumbuhkan anggapan bahwa kemahiran berbahasa dapat dicapai tanpa bertekun.
(5) Sikap budaya menjauhi disiplin, yang akan menumbuhkan pendirian, bahwa kaidah bahasa tidak perlu dipatuhi, karena bahasa itu untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk bahasa.