Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kuasa Bahasa, Dunia bagi Penuturnya

Minda Raja Ali Haji: Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa (Gurindam 12), disadari atau tidak, telah menjadi salah satu pedoman masyarakat Indonesia untuk menilai dan menentukan baik-buruknya seseorang dalam berperilaku sehari-hari.

Orang yang santun bahasanya diyakini memiliki gagasan dan sikap/perilaku baik, sedangkan orang yang tidak santun bahasanya diyakini memiliki gagasan dan sikap/perilaku buruk.

Serta-merta minda Raja Ali Haji itu pun menegaskan, bahwa bahasa menentukan cara dan jalan pikiran manusia.

Bangsa yang berbeda bahasanya, dengan demikian, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula.

Karena bahasa memengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap, perilaku, dan budaya penuturnya.

Bahkan, perbedaan cara berbicara seseorang pun diyakini memiliki perbedaan pandangan dunia (world view) dengan orang lain.

Sejalan dengan minda Raja Ali Haji itu, Hipotesis Sapir-Whorf pun menjelaskan, bahwa manusia cenderung membuat penggolongan, klasifikasi, atau kategori kenyataan (realitas) berdasarkan bahasa, bukan berdasarkan realitas itu sendiri.

Struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.

Orang Inggris dan orang Hunaco (Filipina) misalnya, berbeda dalam melihat warna, karena bahasa mereka berbeda.

Orang Inggris mengenal banyak warna: white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey, sedangkan orang Hunaco hanya mengenal empat warna: mabiru ‘hitam dan warna gelap lain’, melangit ‘putih dan warna cerah lain’, meramar ‘kelompok warna merah’, dan malatuy ‘kuning, hijau muda, dan coklat muda’.

Padahal, sebagai kenyataan (realitas), jenis warna di dunia ini sama.

Itulah sebabnya, orang Eskimo memiliki banyak kata/istilah untuk menyebut salju. Mereka memberi label yang berbeda pada setiap objek salju: salju yang baru saja turun dari langit berbeda namanya dengan salju yang sudah mengeras dan berbeda lagi dengan salju yang sudah meleleh.

Begitu pula orang Hunaco di Filipina (juga orang Indonesia) memiliki banyak nama untuk berbagai jenis padi (rice), serta orang Arab memiliki beberapa nama untuk unta (camels).

Terminologi/istilah yang beragam tersebut menyebabkan penutur bahasa Eskimo, Hunaco (juga Indonesia), dan Arab, masing-masing, mempersepsikan salju, padi, dan unta secara berbeda dengan penutur bahasa bangsa lain.

Perbedaan bahasa sering mengakibatkan perbedaan pandangan tentang dunia. Dalam banyak kasus, perbedaan itu juga sering memunculkan “olok-olok” bahasa. Masalah kata sapaan, kala (tenses), dan salam (greeting) dalam bahasa Indonesia, misalnya, dituduh sebagai salah satu penyebab melemahnya mentalitas bangsa.

Kata hubungan kekerabatan yang digunakan untuk menyapa: Bapak, Ibu, dan Saudara, misalnya, dicurigai telah menyuburkan sifat familiar dan nepotis(me) bangsa Indonesia.

Pun bahasa Indonesia (BI) yang memang tidak mengenal penanda kala (tenses), seperti bahasa Inggris, dianggap telah mengakibatkan penuturnya tidak disiplin dalam masalah waktu.

Sementara itu, salam Apa kabar? juga dianggap tidak mencerminkan semangat kerja pemakainya. Hal itu, katanya, berbeda dengan perilaku bangsa yang menggunakan salam: How do you do!

Menurut mereka, kata do memiliki sugesti untuk berbuat sesuatu, sedangkan apa kabar memiliki sugesti untuk “memburu” berita.

Sebagai akibatnya, bangsa yang menggunakan How do you do! terbiasa bekerja dan bekerja, sedangkan bangsa yang menggunakan Apa kabar? terbiasa ngobrol.

Begitulah, setiap bahasa “mendirikan” dunia tersendiri bagi masyarakat penuturnya. Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman dalam pemahaman kenyataan sosial.

Ihwal sikap/watak manusia (baik sebagai individu maupun kelompok) dapat diamati melalui bentuk bahasa yang digunakannya.

Sikap hormat orang Jawa, Sunda, Bali, Madura, dan Sasak dalam memandang hubungan manusia, misalnya, di samping terefleksi melalui gerakan tubuh, juga terefleksikan pada munculnya oposisi kosakata halus-tidak halus (kromo-ngoko) dalam bahasa mereka.

Artinya, perilaku verbal dan perilaku nonverbal manusia sering memperlihatkan kesinkronan. Hal itu dapat diamati pada pemakaian kata tabik dan halo.

Umumnya, ketika mengucapkan tabik, orang akan menundukkan kepala dan/atau membungkukkan badan. Sebaliknya, ketika mengucapkan halo, orang akan mendongakkan kepala.

Padahal, oleh bangsa Indonesia, menundukkan kepala dan/atau membungkukkan badan itu diyakini merefleksikan kesopanan dan kesantunan, sedangkan mendongakkan kepala itu diyakini merefleksikan kecongkakan dan kesombongan.

Membiasakan penggunaan halo, dengan demikian, sama artinya dengan membiasakan orang (Indonesia) berlaku congkak dan sombong, menjauhi kesopanan dan kesantunan.

Kecenderungan masyarakat untuk tampil dalam ketidakberbedaan ditengarai telah melahirkan masyarakat yang antistruktur: masyarakat sebagai komunitas, bukan masyarakat sebagai societas.

Modalitas hubungan sosial yang hadir adalah hubungan yang sederajat dan terlepas dari struktur sosial (baik kasta, kelas, maupun tingkat-tingkat hierarkis lainnya).

Persekutuan antarindividu dalam masyarakat tidak bersifat hierarkis, tetapi bersifat sederajat.

Perjalanan hidup seseorang, pada akhirnya, terbentuk melalui dialektika antara struktur dan komunitas.

Dialektika seperti itulah yang membentuk perjalanan hidup sebagian masyarakat Indonesia akhir-akhir ini: bergerak dari struktur ke komunitas. Hal itu, antara lain, terlihat pada penggunaan bahasanya.

Dalam sapa-menyapa, misalnya, masyarakat antistruktur (sebagai komunitas) cenderung menggunakan pronomina solidaritas (pronouns of solidarity), seperti persona pertama: aku atau saya (untuk dirinya) dan bentuk persona kedua: Anda, kamu, engkau, kalian, atau nama diri (jika saling mengacu).

Pronomina kekuasaan (pronouns of power) yang memperlihatkan adanya hubungan hierarkis, seperti bapak dan ibu, tidak lagi mereka gunakan.

Apakah bergesernya sifat hubungan pengguna bahasa dalam masyarakat: yang semula bersifat societas (terstruktur) menjadi komunitas (antistruktur) itu menjadi salah satu penyebab melemahnya mentalitas serta memudarnya rasa nasionalisme, jatidiri, dan karakter bangsa Indonesia? Wallahualam bissawab.

Yang pasti, Koentjaraningrat (1974) telah mengklasifikasi sikap budaya (baca: sikap bahasa) bangsa Indonesia.

Menurutnya, ada tiga sikap budaya positif dan enam sikap budaya negatif. Tiga sikap budaya positif itu adalah (1) bangga pada produk Indonsia, (2) setia pada prinsip hidup bangsa Indonesia, dan (3) sadar akan norma moral, hukum, dan (ke)disiplin(an).

Ketiga sikap budaya positif itu harus ditumbuhkan, karena akan membawa serta pada kebanggaan terhadap BI dan bahasa etnis Nusantara; pada kesetiaan terhadap BI sebagai bahasa nasional; serta pada kesadaran akan norma bahasa yang adab.

Sementara itu, enam sikap budaya negatif yang harus ditinggalkan adalah:

(1) Sikap budaya tuna-harga-diri terhadap bangsa asing, yang akan menulari sikap terhadap BI sebagai bahasa yang belum bermartabat.

(2) Sikap budaya meremehkan mutu, yang akan menumbuhkan sikap kepuasan terhadap bahasa yang asal jadi.

(3) Sikap budaya suka berlaku latah, yang akan menumbuhkan sikap bahasa untuk membenarkan kesalahkaprahan.

(4) Sikap budaya suka menerabas (jalan pintas), yang akan menumbuhkan anggapan bahwa kemahiran berbahasa dapat dicapai tanpa bertekun.

(5) Sikap budaya menjauhi disiplin, yang akan menumbuhkan pendirian, bahwa kaidah bahasa tidak perlu dipatuhi, karena bahasa itu untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk bahasa.

(6) Sikap budaya enggan bertanggung jawab, yang akan menumbuhkan pikiran bahwa urusan bahasa bukan tanggung jawab masyarakat, melainkan tanggung jawab ahli bahasa.

Senyatanyalah bahwa bahasa memiliki peran besar sebagai penentu kebudayaan. Setiap bahasa telah “mendirikan” satu dunia tersendiri bagi masyarakat penuturnya.

Bahasa tidak hanya berperan sebagai alat dalam mekanisme berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman dalam pemahaman kenyataan sosial.

Itulah sebabnya, seseorang akan berbicara (mengungkapkan pendapatnya) dengan cara atau bahasa yang berbeda, karena berpikir dengan cara yang berbeda pula.

Agus Sri Danardana

Peneliti Ahli Madya, Badan Riset dan Inovasi Nasional

https://www.kompas.com/sains/read/2022/11/13/110500623/kuasa-bahasa-dunia-bagi-penuturnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke