Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jika Tak Ditangani Secara Tepat, Bayi Prematur Berisiko Alami Stunting

Kompas.com - 27/07/2022, 17:03 WIB
Zintan Prihatini,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Indonesia menduduki peringkat kelima dengan angka kelahiran prematur tertinggi. Padahal, kelahiran prematur berpontensi mengalami stunting atau gagal tumbuh pada anak. 

Hal itu diungkapkan Dokter Anak Konsultan Neonatologi Prof Dr dr Rinawati Rohsiswatmo, Sp. A(K). Dia mengatakan, bahwa bayi prematur bisa stunting jika tidak ditangani secara tepat.

Bahkan, kondisi prematur bisa berpotensi menjadi penyumbang stunting terbesar bila penanganannya salah.

Bayi prematur memang belum waktunya, belum siap. Ini kalau tidak ditangani dengan benar, dia akan menjadi potensial penyumbang stunting terbesar,” terang Rinawati dalam media briefing yang digelar Fresenius Kabi, Senin (25/7/2022).

Baca juga: Dampak Nyata Polusi Udara, Picu 6 Juta Kelahiran Prematur Setiap Tahun

Studi di 137 negara berkembang yang dipublikasikan di jurnal PLOS Medicine menyebutkan, sebanyak 32,5 persen kasus stunting disebabkan oleh kelahiran prematur.

Mengutip data Kementerian Kesehatan tahun 2018, ada 29,5 persen prevalensi bayi prematur di Indonesia.

Sementara data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) memengaruhi 20 persen dari terjadinya stunting di Indonesia.

"Prematur itu, bayi yang lahir sebelum waktunya. Kalau bayi berat lahir redah hanya kecil. Kecil sudah pasti prematur? Belum tentu. Bisa saja dia cukup bulan tapi enggak tumbuh," jelas Rinawati.

"Tapi apakah bayi prematur pasti kecil? Iya, karena belum cukup waktunya. Ada juga bayi prematur yang kekurangan gizi," lanjutnya.

Dia menambahkan, kelahiran prematur terjadi karena pertumbuhan janin yang lebih lambat jika dibandingkan pertumbuhan normal saat masih di dalam kandungan.

Kendati demikian, apabila bayi prematur masih mampu bertahan hidup dan ditangani secara baik, maka ia dapat terhindar dari risiko stunting.

Bayi prematur dilihat dari waktu kelahiran dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu, sedangkan BBLR dilihat dari berat lahir yang kurang dari 2.500 gram tanpa memandang usia gestasi.

Baca juga: Daftar Penyebab Kelahiran Prematur, Salah Satunya Stres pada Ibu Hamil

 

Risiko stunting sejak dalam kandungan

Prof Rinawati berujar, risiko stunting pun dapat terjadi saat bayi masih berada di dalam kandungan ibu.

Menurut studi yang dipublikasikan di jurnal Food and Nutrition Bulletin tahun 2009, sebanyak 20 persen kejadian stunting sudah terjadi sejak saat kelahiran, sementara 80 persen lainnya dialami setelah kelahiran.

“Jadi bisa kita cegah yang 80 persen itu. Ada bayi yang tidak tumbuh di dalam kandungan, masih bisa kita kejar. Tapi ada juga bayi yang lahirnya bagus, lalu tidak diurus dengan benar," imbuhnya.

Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya pemantauan tumbuh dan kembang anak pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dimulai sejak dalam kandungan (270 hari), hingga anak berusia dua tahun (730 hari).

Baca juga: Anak Pendek Belum Tentu Stunting, Ketahui Ciri-cirinya

Prof Rinawati juga menyarankan agar para orangtua selalu memantau anak, minimal hingga usianya mencapai dua tahun. Dengan demikian, anak bisa tumbuh dan berkembang secara optimal.

Untuk diketahui, stunting adalah kekurangan gizi pada bayi di 1.000 hari pertama kehidupan, dan menyebabkan terhambatnya perkembangan otak maupun tumbuh kembang.

Akibat mengalami kekurangan gizi menahun, bayi dengan stunting akan tumbuh lebih pendek dari standar tinggi balita seumurnya. Adapun ciri anak stunting di antaranya termasuk:

  • Anak bertubuh pendek
  • Kecerdasan dan kemampuan berpikirnya cenderung rendah, di bawah rata-rata anak sebayanya
  • Anak dengan stunting lebih mudah sakit.

Stunting, kata Rinawati, tak hanya dilihat dari tanda fisik, melainkan diidentifikasi melalui perkembangan grafik yang menyeluruh pada buku kesehatan ibu dan anak (KIA).

Kondisi itu juga berdampak pada perkembangan kecerdasan intelektual atau IQ. Maka penting bagi orangtua untuk melakukan pengukuran antropometri lingkar kepala anak, di fasilitas pelayanan kesehatan.

Selain lingkar kepala, pengukuran juga diperlukan pada berat badan dan panjang badan, sehingga tumbuh-kembang anak bisa optimal.

“Kalau masih malas juga, sebenarnya ada yang namanya aplikasi Pradini. Untuk bayi cukup bulan ada (aplikasi) Primaku. Itu sudah dimasukkan oleh Menteri Kesehatan, ibu-ibu bisa ikut aplikasi itu, masukkan (hasil pengukuran) kalau malas bawa-bawa buku,” pungkasnya.

Kedua aplikasi tersebut, dapat Anda unduh di ponsel pintar dan data anak akan terekam secara digital.

Baca juga: Target 14 Persen di 2024, BKKBN Ungkap 5 Pilar Percepatan Penurunan Stunting

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com