Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Bagaimana Parade 5 Planet Bulan Juni Pengaruhi Rancangan Misi Luar Angkasa?

Kompas.com - 04/07/2022, 18:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Premana W. Premadi

SEJAK April lalu, para ahli astronomi mengarahkan perhatiannya ke langit timur menjelang matahari terbit. Mereka melihat planet-planet secara bergantian berbaris dari ufuk Timur ke arah zenit, titik khayal di langit yang tegak lurus di atas bumi terhadap cakrawala.

Salah satu yang dilihat pada Juni lalu merupakan kejadian langka yakni: planet Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus dalam satu baris bergantian. Kesempatan berikutnya melihat kelima planet ini tampil bersama ini diprediksi terjadi lagi pada 2040.

Parade planet adalah pemandangan langit istimewa. Ini mungkin terjadi karena planet-planet di Tata Surya mengelilingi Matahari dalam orbit-orbit yang nyaris sebidang.

Jika dilihat dari Bumi, saat posisi planet-planet ini dihubungkan dengan garis-garis (proyeksi) tampak seperti membentuk lintasan segaris.

Baca juga: Fenomena Planet Sejajar 24 Juni, Jupiter dan Venus Paling Terang

Penulis masih ingat ketika posisi Bumi, Matahari, dan beberapa planet hampir segaris pada 5 Mei 2000, Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung menerima banyak pertanyaan tentang dampak fenomena ini. Sebagian khawatir akan kemungkinan malapetaka di Bumi akibat meningkatnya gaya gravitasi.

Walau tampak segaris, planet-planet ini sesungguhnya amat jauh satu sama lainnya untuk dapat saling mempengaruhi. Namun demikian, secara teoritis ada pengaruh gravitasi yang dapat kita manfaatkan dalam misi pesawat luar angkasa.

Siasat efisiensi untuk pesawat luar angkasa

Sejak era awal pengembangan sains dan teknologi antariksa pada 1960-an, pertanyaan paling besar dan sering dilontarkan adalah seberapa jauh suatu wahana antariksa (pesawat luar angkasa) tak berawak dapat pergi menjelajahi ruang angkasa.

Salah satu kendala dalam jenis pesawat ini adalah bagaimana mencukupi kebutuhan energi untuk menjalankan wahana tersebut. Strategi untuk mendorong cakupan misi adalah dengan memilih lintasan terhemat, selain efisiensi dalam sistem pembakaran (mesin) roket dan konstruksi wahana itu sendiri.

Menilik jarak antarplanet yang amat jauh, pada 1950 dan 1960-an banyak ahli pesimis untuk pesawat luar angkasa dapat mencapai planet lebih jauh dari Mars.

Untuk bergerak menjauh dari Matahari yang tarikan gravitasinya amat kuat, dengan desain roket yang ada pada 1960-an, akan memakan waktu 30-40 tahun untuk mencapai Neptunus.

Harapan untuk menjelajah area jauh dalam Tata Surya menjadi hidup melalui gagasan insinyur luar angkasa Gary Flandro yang saat itu, pada 1960-an, bekerja di Jet Propulsion Laboratory – fasilitas milik NASA, Amerika Serikat.

Baca juga: Fenomena Planet Sejajar Kembali Terjadi pada 25 Juni 2022, Apa Bedanya?

Gary mengelaborasi hasil kerja matematikawan Michael Minovich tentang “masalah tiga benda”. Dalam konsep ini, sistem fisis yang tersusun atas tiga benda yang berinteraksi secara gravitasional (saling tarik menarik) dapat dituangkan secara matematis sebagai masalah yang kompleks. Pemecahannya pun membutuhkan bantuan komputer besar.

Solusi matematis ini terkait posisi masing-masing benda dari waktu ke waktu. Minovitch memanfaatkan masalah tiga benda ini untuk keperluan perjalanan antariksa dengan mengandaikan dua benda bermassa besar (dalam hal ini planet-planet) pada saat yang sama berinteraksi dengan benda ketiga yang bermassa kecil (sebuah wahana antariksa). Di posisi tertentu, interaksi ketiga benda ini bisa melontarkan benda teringan hingga cukup jauh.

Flandro kemudian menghitung dengan seksama kemungkinan posisi planet-planet dan wahana yang akan memberikan bantuan gravitasi (gravity assist). Tujuannya agar wahana dapat terdorong ke posisi lebih jauh tanpa tenaga roket. Ini akan sangat menguntungkan jika memang interaksi gravitasi tersebut sungguh terjadi.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com