Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berisiko Terjadi Tsunami Covid-19, Alasan China Ngotot Lockdown Ketat

Kompas.com - 12/05/2022, 20:00 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sudah lebih dua tahun, dunia dilanda pandemi Covid-19. Di saat banyak negara melakukan pelonggaran meskipun masih ada konfirmasi kasus, China justru melakukan lockdown ketat karena terjadi lonjakan kasus infeksi.

Selama puluhan hari, warga Shanghai dan Beijing menjalani pembatasan ketat di mana mereka tidak boleh meninggalkan rumah sama sekali. Sebagian besar bahkan harus memesan makanan dan air, serta menunggu pengiriman sayur, daging dan telur dari pemerintah.

Apa alasan China memberlakukan lockdown ketat di dua kota besar negaranya itu?

Melansir dari Bloomberg edisi 11 Mei 2022, sebuah studi baru memperkuat alasan negara China bersikeras memperketat pembatasan atau melakukan lockdown di Shanghai dan Beijing.

Menurut para peneliti di Universitas Fudan Shanghai, pengetatan atau lockdown itu dilakukan karena China memiliki risiko tinggi mengalami “tsunami” infeksi Covid-19. Jika kebijakan Zero Covid-19 atau Nol Covid-19 yang telah lama dipegangnya diabaikan, bisa terjadi 1,6 juta kematian di sana.

Baca juga: WHO: 15 Juta Kematian pada 2020-2021 terkait Covid-19

Studi yang telah ditelaah sejawat dan diterbitkan dalam jurnal Nature Medicine ini, menemukan bahwa tingkat kekebalan yang disebabkan oleh vaksinasi Covid-19 pada Maret di China “tidak cukup” untuk mencegah gelombang Omicron yang berpeluang membanjiri kapasitas perawatan intensif.

Selain itu, ada ancaman dari tingkat vaksinasi yang rendah di antara orang tua dan kemampuan virus Omicron untuk menghindari kekebalan dari booster yang ada.

Para peneliti menggunakan permodelan komputer untuk mensimulasikan wabah corona dan mengkalkulasikan dampak yang bisa terjadi bila China melepaskan pembatasan atau lockdown Covid-19 yang ketat.

Hasilnya, bisa terjadi lonjakan pasien Covid-19 kritis, yang membebani perawatan intensif hingga hampir 16 kali lipat dari yang dapat diakomodasi China saat ini.

Penyebaran Omicron secara total dapat menyebabkan 112,2 juta kasus bergejala, 5,1 juta rawat inap dan 1,6 juta kasus kematian, dengan gelombang besar terjadi antara Mei dan Juli 2022.

Angka itu sangat luar biasa. Pasalnya, dengan 1,6 juta kematian tambahan, China akan menjadi negara dengan angka kematian Covid-19 tertinggi di dunia. Bahkan, 50 persen lebih banyak dari yang dilaporkan Amerika Serikat selama pandemi Covid-19 berlangsung.

Baca juga: Subvarian Corona Baru Bisa Muncul Usai Lebaran 2022, Ini Kata Epidemiolog

Tiga perempat kematian akan terjadi di antara mereka yang berusia 60 tahun atau lebih yang belum divaksinasi.

Tanggapan WHO terkait lockdown China

Meskipun lockdown ketat China itu bertujuan untuk meminimalisir terjadinya “tsunami Covid-19” di negara tersebut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan agar otoritas setempat mengkaji ulang kebijakan tersebut.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus meminta China untuk memikirkan kembali strateginya. Dia juga berkata bahwa pendekatan Nol Covid-19 tidak lagi masuk akal karena varian Omicron menyebar dan ekonomi negara menderita.

“Kami tidak berpikir itu bisa berkelanjutan, mengingat perilaku virus sekarang dan apa yang kami antisipasi di masa depan,” kata Tedros dalam briefing pada hari Selasa

Selain itu, pada saat ini telah ada terapi seperti koktail antibodi dari biotek Cina Brii Biosciences Ltd. dan Paxlovid dari Pfizer Inc. yang dapat secara signifkan mengurangi kematian dan perawatan intensif, asalkan digunakan secara luas di antara pasien Covid-19 yang bergejala.

Namun, para peneliti di Universitas Fudan berpendapat bahkan pengurangan seperti itu tidak akan bisa menurunkan kematian terkait Covid-19 ke tingkat 88.000 yang dilaporkan China setiap tahun untuk influenza.

Baca juga: Studi: Orang yang Belum Divaksinasi Covid-19 Tingkatkan Risiko Infeksi pada Orang yang Sudah Divaksin

Untuk menurunkan kasus dan lonjakan perawatan intensif itu, negara perlu meningkatkan vaksinasi lansia hingga 97 persen dan mengobati setidaknya setengah dari semua infeksi yang bergejala.

Sejauh ini, lockdown di Shanghai dan Beijing tampak efektif dalam menurunkan penyebaran virus. Shanghai melaporkan 1.487 infeksi baru per 10 Mei 2022, turun dari 3.014 kasus pada 9 Mei 2022, dan Beijing melaporkan 37 kasus pada 10 Mei 2022, turun dari 74 kasus pada 9 Mei 2022.

Penurunan ini membuat otoritas setempat yakin bahwa lockdown ketat adalah cara terbaik untuk menekan laju infeksi Covid-19, sehingga pembatasan ketat masih akan dilanjutkan sampai wabah kembali terkendali.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com