Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[POPULER SAINS] Ikan Tapah Hidup di Sungai Indonesia | Down Syndrom | Badai Matahari Terjang Bumi | Hujan Es Akan Lebih Sering

Kompas.com - 30/03/2022, 07:02 WIB
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Penulis

KOMPAS.com - Ikan tapah adalah spesies ikan air tawar raksasa yang hidup di sungai di Indonesia. Ini adalah salah satu berita populer Sains sepanjang Selasa (29/3/2022).

Ikan ini juga sering disebut dengan wallago. Sekilas, ikan tapah tampak mirip dengan ikan lele namun dengan ukuran yang sangat besar. Hal ini karena ikan tapah dan ikan lele berada dalam satu famili, yaitu famili Siluridae.

Ikan tapah yang sudah dewasa memiliki ukuran paling kecil 120 cm dengan panjang maksimal yang pernah ditemukan 240 cm. Sedangkan berat badannya bisa mencapai 50 kilogram.

Down syndrome adalah kondisi imana seseorang memiliki kromosom ekstra. Normalnya, manusia memiliki 46 kromosom.

Namun, pada kasus Down Syndrome, bayi lahir dengan satu krmosom ekstra dari kromosom 21. Oleh karena itu, sindrom Down disebut juga dengan Trisomi 21.

Berita populer Sains lainnya yakni tentang badai Matahari yang diperkirakan kembali menghantam Bumi pada Senin (28/2/2022).

Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menyebut, badai geomagnetik dari Matahari tersebut terjadi pada tengah malam waktu setempat.

Para ahli menyebut perubahan iklim akan memberi dampak pada potensi hujan es. Akibat perubahan iklim, hujan es akan lebih sering terjadi, serta ukuran butiran es akan semakin besar.

Berikut berita-berita populer Sains yang telah dirangkum.

Ikan tapah raksasa hidup di sungai Indonesia

Ikan tapah raksasa yang viral ditemukan di Tebing Tinggi, Sumatera Utara ini hidup di sungai di berbagai negara Asia. Di antaranya seperti Afganistan, Pakistan, India, Myanmar, Thailand, Kamboja, dan tentu saja Indonesia.

Ikan air tawar raksasa ini dapat ditemukan di sungai besar yang dalam dan aliran air yang lambat.

Ikan tapah juga dapat ditemukan di bendungan dan habitat air tawar lainnya. Namun, ikan ini akan berkembang biak di aliran dangkal.

Ikan tapah berkembang biar dengan cara ovipar atau bertelur. Ikan tapah paling banyak bertelur pada musim hujan.

Ikan tapah adalah karnivora yang banyak memakan hewan air lainnya yang lebih kecil darinya.Namun, ikan ini tidak terlalu banyak makan, hanya maka satu sampai dua kali dalam seminggu.

Selengkapnya berita populer Sains tentang ikan tapah, ikan air tawar raksasa ini, dapat disimak di sini.

Baca juga: Ikan Tapah, Ikan Air Tawar Raksasa yang Hidup di Sungai Indonesia

Down syndrom kondisi tubuh kelebihan kromosom

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, total kasus cacat lahir di Indonesia adalah 0,41 persen.

Dari angka tersebut, sebesar 0,21 persen adalah kasus Down syndrome.

Down syndrome adalah kondisi dimana seseorang memiliki kromosom ekstra. Normalnya, manusia memiliki 46 kromosom.

Namun, pada kasus Down Syndrome, bayi lahir dengan satu krmosom ekstra dari kromosom 21. Oleh karena itu, sindrom Down disebut juga dengan Trisomi 21.

Kelainan ini muncul sejak bayi masih ada di dalam kandungan ketika pertama kali embrio membelah sel.

Embrio salah menghasilkan 3 buah kromosom 21, sehingga bayi dengan sindrom Down memiliki 47 kromosom.

Kelainan ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1866 oleh Dr. John Langdon Down.

Ia menyampaikan penemuan kasus bayi dengan ciri-ciri tinggi badan relatif pendek, kepala kecil, dan hidung datar seperti orang mongoloid.

Lebih lengkap, berita populer Sains tentang down syndrome ini dapat dibaca di sini.

Baca juga: Down Syndrome, Kondisi Tubuh Kelebihan Kromosom

Badai matahari kembali terjang Bumi

Badai Matahari yang kembali menerjang Bumi, dikategorikan kelas G1 dengan indeks K 5 ini, berpotensi mengakibatkan gangguan jaringan listrik, komunikasi, hingga sinyal di Bumi.

Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA), sebelumnya juga telah mengeluarkan peringatan bahwa badai Matahari diduga akan menghantam medan magnet Bumi.

Selain akan menyebabkan gangguan sinyal, fenomena ini juga memicu aurora polaris yang dikenal dengan cahaya utara di belahan Bumi bagian utara.

NOAA juga mencatat bahwa badai matahari terjang Bumi lebih cepat dan diprediksi menghantam planet ini lebih keras dari sebelumnya.

Badai matahari juga menyebabkan terjadinya fenomena aurora di sejumlah wilayah seperti pedesaan di New York, Maine, dan Michigan di Amerika Serikat, bahkan warga di Inggris pun bisa mengamatinya.

Berita populer Sains tentang dampak badai matahari dan penjelasannya, dapat dibaca selengkapnya di sini.

Baca juga: Badai Matahari Kembali Diprediksi Terjang Bumi dan Sebabkan Gangguan Sinyal

Penyebab hujan es akan lebih sering terjadi

Para ahli mengungkapkan bahwa fenomena hujan es semakin sering terjadi, bahkan butiran es juga semakin besar karena dampak perubahan iklim.

Julian Brimelow, spesialis ilmu fisika di Lingkungan dan Perubahan Iklim Kanada mengatakan badai destruktif yang menghasilkan hujan es dengan diameter lebih dari 25 mm, setidaknya membutuhkan serangkaian kondisi tertentu.

Brimelow yang juga telah mempelajari bagaimana perubahan iklim mempengaruhi terbentuknya hujan es ini menjelaskan bahwa hujan es dengan ukuran sebesar itu, membutuhkan kelembaban yang cukup dan aliran udara ke atas yang kuat.

Faktor pemicunya biasanya karena cuaca. Itulah sebabnya, badai es yang serius biasanya terbatas pada wilayah tertentu di Amerika Serikat, seperti di Great Plains atau di Gold Coast Australia.

Selengkapnya berita populer Sains mengenai hujan es akan lebih sering terjadi sebagai dampak perubahan iklim ini, dapat disimak di sini.

Baca juga: Hujan Es Akan Lebih Sering Terjadi dan Berukuran Makin Besar, Ini Penyebabnya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com