KOMPAS.com - Resistensi antimikroba (AMR) menjadi salah satu penyebab kematian secara global, yang membunuh lebih banyak orang setiap tahunnya dibandingkan HIV/AIDS dan Malaria.
Kematian akibat resistensi antimikroba mencapai 700 ribu orang per tahun dan diprediksi mencapai 10 juta orang per tahun di seluruh dunia pada 2050.
Distribusinya diperkirakan terbanyak di Asia dan Afrika, sekitar 4,7 juta dan 4,1 juta masing-masing, dengan sisanya di Australia, Eropa, dan Amerika.
Resistensi antimikroba adalah kondisi yang terjadi saat bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah seiring waktu sehingga tidak lagi merespons obat-obatan yang dimiliki seseorang.
Hal ini membuat infeksi lebih sulit diobati, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, menyebabkan penyakit parah, dan kematian.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet mengungkapkan bahwa resistensi antimikroba telah menjadi salah satu pembunuh terbesar, dan sejauh ini belum ada tindakan cepat untuk mengendalikan ancaman tersebut.
Baca juga: 6 Strategi Turunkan Angka Resistensi Antimikroba di Indonesia
Perlu digarisbawahi, laporan terkait resistensi antimikroba ini juga memperingatkan kematian akan meningkat dan situasi dapat menjadi jauh lebih buruk apabila dunia tidak segera mengambil langkah-langkah pengendaliannya.
“Para ilmuwan memperingatkan kita bahwa ini adalah bom waktu dan kita tengah menuju bencana kecuali kita mulai bertindak lebih sekarang,” ujar Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (26/1/2022).
Melansir laman resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penyebab resistensi antimikroba ditinjau dari segi kesehatan mulai dari tidak adanya indikasi dalam penggunaan antimikroba, indikasi tidak tepat, pemilihan antimikroba tidak tepat, dan dosis yang tidak tepat.
AMR menimbulkan ancaman kesehatan global yang signifikan bagi populasi di seluruh dunia. Dengan pertumbuhan perdagangan dan perjalanan global, mikroorganisme yang resisten dapat menyebar sangat cepat sehingga tidak ada negara yang aman.
Bahaya dari resistensi antimikroba berkaitan erat dengan perilaku pencegahan dan pengobatan, sistem keamanan produksi pangan dan lingkungan.
Dalam perkembangan kesehatan global saat ini, kejadian resistensi antimikroba terkait dengan berbagai sektor seperti kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan, rantai makanan, pertanian, dan sektor lingkungan.
Baca juga: Ahli Sebut Resistensi Antimikroba Harus Segera Ditangani
Jenkins menambahkan, Inggris telah menjadikan penanganan AMR sebagai salah satu prioritas kesehatan global, dengan menghabiskan total Rp 5,1 tirliun di seluruh dunia melalui dana Flemning, termasuk sebagian di Indonesia.
“Kami telah bermitra dengan Indonesia untuk melakukan apa yang kami bisa untuk meminimalkan ancaman ini, mendukung peningkatan kapasitas laboratorium dan diagnosis,” tutur dia.
Menurutnya, kerja sama global dalam penanganan resistensi antimikroba sangatlah penting.
Berdasarkan perkiraan di 204 negara dan wilayah, memberikan prediksi paling komprehensif mengenai dampak global resistensi antibiotik, dan mengungkapkan AMR telah menjadi penyebab utama kematian secara global.
Baca juga: Ahli Sebut Resistensi Antimikroba Harus Segera Ditangani
Adapun saat ini, infeksi umum seperti saluran pernapasan bawah, infeksi aliran darah, dan infeksi intra-abdomen membunuh ratusan ribu orang setiap tahunnya karena bakteri menjadi kebal terhadap pengobatan.
Ini termasuk penyakit yang dapat diobati secara historis, seperti pneumonia, infeksi yang didapat di rumah sakit, dan penyakit bawaan makanan.
Makalah kesehatan lain yang juga diterbitkan The Lancet menemukan, terdapat tingkat AMR yang sangat tinggi di seluruh Asia Tenggara. Pada tahun 2019, patogen utama sebagai berikut:
Hal ini memberikan gambaran yang memprihatinkan untuk penanggulangan resistensi antimikroba di daerah. Dengan tingkat rawat inap tinggi dari Covid-19, terdapat risiko beban AMR yang telah meningkat dikarenakan naiknya penggunaan antibiotik.
Baca juga: 10 Langkah untuk Cegah Resistensi Antimikroba pada Hewan Ternak
“Data baru dalam makalah GRAM menegaskan skala resistensi antimikroba dan ancamannya terhadap sistem kesehatan di Asia Tenggara, dan di seluruh dunia. Kami sekarang perlu mengembangkan kebijakan yang efektif dan komprehensif untuk menanggapi ancaman ini,” kata Profesor Direk Limmathuraotsakul, Kepala Mikrobiologi di Unit Penelitian Kedokteran Tropis Mahidol-Oxford (MORU), di Bangkok.
Meskipun sejumlah negara telah mengembangkan Rencana Aksi Nasional untuk menanggapi resistensi antimikroba, tantangannya terletak pada kurangnya penegakan dan regulasi ,serta kurangnya ahli epidemiologi AMR yang menghambat upaya implementasi.
Sejauh ini, sistem kesehatan di Asia Tenggara dan di seluruh dunia bergantung pada antibiotik yang efektif.
AMR mengancam kemampuan rumah sakit untuk menjaga pasien tetap aman dari infeksi dan melemahkan kemampuan dokter untuk melakukan praktik medis penting dengan aman, termasuk operasi, persalinan, dan pengobatan kanker karena infeksi menjadi risiko mengikuti prosedur ini.
Baca juga: Penjualan Bebas dan Konsumsi Antibiotik Berlebihan Tingkatkan Risiko Resistensi Antimikroba
Bukti tidak cukup cepatnya inovasi untuk mengembangkan vaksin, obat-obatan, dan perawatan yang efektif meliputi:
Membahas pentingnya perkiraan baru untuk mengarahkan tindakan mendesak, Direktur Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan, Profesor Chris Murray mengatakan bahwa makalah ini sebagai langkah penting yang memungkinkan untuk melihat skala penuh dari tantangan yang ada.
"Kami sekarang perlu memanfaatkan perkiraan ini untuk memperbaiki tindakan dan mendorong inovasi sehingga kami dapat mengendalikan ancaman dan menghindari kematian lebih lanjut yang dapat dicegah," pungkas dia.
Baca juga: 6 Strategi Turunkan Angka Resistensi Antimikroba di Indonesia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.