Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hujan Es Melanda Bogor dan Tasikmalaya, Begini Proses hingga Dampaknya

Kompas.com - 26/01/2022, 17:50 WIB
Ellyvon Pranita,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Hujan es disertai angin kencang serta kilat atau petir melanda kawasan Bogor dan Tasikmalaya selama dua hari belakangan, Senin (24/1/2022) dan Selasa (25/1/2022).

Dari beberapa video hujan es batu di Bogor yang sempat viral di berbagai platform media sosial.

Terlihat hujan es disertai angin kencang membuat sejumlah pohon tumbang dan atap rumah warga rusak akibat terjangan angin. Selain itu, angin kencang juga mengakibatkan sebuah reklame ambruk.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksikan bahwa hujan sedang hingga lebat disertai angin kencang dan kilat atau petir masih berpotensi terjadi pada tanggal 26-27 Januari 2022.

Selain Bogor dan Tasikmalaya, curah hujan dengan intensitas lebat, sangat lebat hingga ekstrem disertai petir atau kilat dan angin kencang masih berpotensi tinggi terjadi di seluruh wilayah Jawa Barat.

"Cuaca ekstrem ini diperkirakan akan terjadi hingga Maret 2022, khususnya bagian selatan, tengah, dan utara wilayah Jawa Barat," kata Tomi Ilham, Prakirawan BMKG kepada Kompas.com, Rabu (26/1/2022).

Baca juga: Hujan Es di Bogor dan Tasikmalaya, BMKG Peringatkan Cuaca Ekstrem hingga Besok

 

Mengapa fenomena hujan es bisa terjadi di banyak daerah, seperti hujan es batu di Bogor dan Tasikmalaya?

Kepala Bidang Diserminasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Hary Tirto Djatmiko menjelaskan bahwa hujan es atau hail merupakan fenomena cuaca alamiah.

Hal ini biasa terjadi dan termasuk dalam kejadian cuaca ekstrem. Hary menjelaskan, fenomena hujan es terjadi karena adanya awan Cumulonimbus (CB). Pada awan ini terdapat tiga macam partikel, yakni butir air, butir air super dingin, dan partikel es.

"Sehingga hujan lebat yang masih berupa partikel padat (es atau hail) dapat terjadi tergantung dari pembentukan dan pertumbuhan awan CB tersebut," ujar Harry dalam pemberitaan Kompas.com edisi 22 Oktober 2021.

Biasanya awan berbentuk berlapis-lapis dan seperti bunga kol, di antara awan tersebut ada satu jenis awan yang mempunyai batas tepi sangat jelas berwarna abu-abu menjulang tinggi, yang akan cepat berubah warna menjadi abu-abu atau hitam.

Proses terjadinya hujan es

Fenomena hujan es melanda wilayah Bogor dan Tasikmalaya. Proses terjadinya fenomena hujan es, kata Harry, pada awan tersebut terdapar beberapa fenomena dalam proses pembentukan dan pertumbuhannya, seperti:

Baca juga: Fenomena Hujan Es di Bandung, Bagaimana Bisa Terjadi?

Ilustrasi hujan esKOMPAS.com/AAM AMINULLAH Ilustrasi hujan es

1. Strong updraft and downdraft

Adanya proses pergerakan massa udara naik dan turun yang sangat kuat.

Pergerakan massa udara naik (updraft) yang cukup kuat dapat membawa uap air naik hingga mencapai ketinggian di mana suhu udara menjadi sangat dingin hingga uap air membeku menjadi partikel es.

Partikel es dan partikel air super dingin akan bercampur dan teraduk-aduk akibat proses updraft dan downdraft sehingga membentuk butiran es yang semakin membesar.

Saat butiran es sudah terlalu besar, maka pergerakan massa udara naik tersebut tidak akan mampu lagi mengangkatnya sehingga butiran es akan jatuh ke permukaan bumi menjadi hail atau hujan es.

Strong updraft di suatu daerah dapat terbentuk dan terjadi akibat adanya pemanasan matahari yang intens (pemanasannya sangat optimal/kuat), antara pagi hingga siang hari dan dapat juga dipengaruhi oleh topografi suatu daerah.

2. Lower freezing level

Selain itu, terdapat lapisan yang tingkat pembekuan lebih rendah atau lower freezing level.

Baca juga: Bagaimana Hujan Es Terbentuk dan Apa Dampaknya?

Pada fenomena hujan es, lapisan tingkat pembekuan mempunyai kecenderungan turun lebih rendah dari ketinggian normalnya. Inilah yang membuat butiran es yang jatuh ke permukaan bumi tidak mencair sempurna.

Lapisan tingkat pembekuan merupakan lapisan pada tinggian tertentu diatas permukaan bumi dimana suhu udara bernilai nol derajat Celsius. Pada ketinggian ini, butiran air umumnya akan membeku menjadi partikel es.

Di Indonesia, umumnya lapisan tingkat pembekuan berada pada kisaran ketinggian antara 4-5 km di atas permukaan laut.

Durasi hujan es

Hary menuturkan, hujan es bersifat sangat lokal dengan luasan berkisar 5-10 km dan waktu terjadinya singkat, sekitar 10 menit.

Fenomena hujan es, tutur Hary, lebih sering terjadi pada masa peralihan musim atau pancaroba. Adapun waktunya lebih sering di antara siang dan sore hari.

Ia menegaskan, hujan es tidak bisa diprediksi secara spesifik, hanya bisa diprediksi 0,5-1 jam sebelum kejadian jika melihat atau merasakan tanda-tandanya, dengan tingkat keakuratan kurang dari 50 persen.

Baca juga: Hujan Es di Jogja, Begini Proses Terbentuknya hingga Durasi

Fenomena hujan es hanya berasal dari awan CB, tapi tak semua awan jenis ini menimbulkan hujan es atau hail.

“Kemungkinannya kecil untuk terjadi kembali di tempat yang sama dan dalam waktu yang singkat,” ujar Hary.

Dampak hujan es di daratan

Hujan es turun saat hujan menjadi cukup berat untuk mengatasi kekuatan aliran udara badai petir dan ditarik ke arah bumi oleh gravitasi.

Es yang lebih kecil dapat terhempas dari updraft oleh angin horizontal, sehingga hujan es yang lebih besar biasanya jatuh lebih dekat ke updraft daripada hujan es yang lebih kecil.

Apabila angin di dekat permukaan atau di daratan cukup kuat, maka hujan es dapat turun dalam posisi miring.

Dengan dorongan yang kuat, angin yang menghempas bongkahan-bongkahan es yang turun akan dapat menyebabkan beberapa hal berikut:

  1. Hujan es dapat merobek dinding rumah
  2. Memecahkan kaca jendela
  3. Merusak kaca mobil
  4. Menyebabkan cedera pada manusia maupun hewan, paling berbahaya dapat menyebabkan kematian.

Kecepatan jatuhnya hujan es tergantung pada ukuran hujan es, gesekan antara hujan es dan udara di sekitarnya, kondisi angin setempat (baik horizontal maupun vertikal), dan tingkat leleh batu es tersebut.

Baca juga: Rahasia Alam Semesta: Beda dengan Salju, Begini Hujan Es Terbentuk

Penelitian menunjukkan bahwa, hujan es alami turun lebih lambat daripada bola es padat. Untuk hujan es kecil (diameter kurang dari 1 inci), kecepatan jatuh yang diperkirakan adalah antara 9 dan 25 mph.

Untuk hujan es yang biasanya terlihat dalam badai petir yang parah (diameter 1 inci hingga 1,75 inci), kecepatan jatuh yang diperkirakan adalah antara 25 dan 40 mph.

Hal-hal yang perlu diantisipasi

Hary menyampaikan bahwa saat masa transisi atau pancaroba, frekuensi hujan lebat bahkan sangat lebat disertai kilat atau petir dan angin kencang berdurasi singkat. Kondisi itu dapat dimungkinkan angin kencang tersebut berupa puting beliung.

1. Jika hujan lebat, masyarakat dapat melakukan pengecekan dan pembersihan saluran air untuk mengantisipasi kejadian genangan maupun banjir, terutama di daerah aliran kali, daerah cekungan, maupun daerah pesisir.

2. Masyarakat juga dapat mewaspadai longsor, terutama di wilayah-wilayah yang berada di daerah dengan tingkat pergerakan tanah tinggi seperti perbukitan, lereng-lereng dan pegunungan.

3. Bagi masyarakat yang tengah berkendara, baik roda dua atau lebih, waspada terhadap jalan licin dan jarak pandang yang terbatas. Berlindung di bangunan yang kuat dan kokoh, tidak disarankan di bawah pohon.

4. Sementara untuk mengantisipasi adanya kilat atau petir, maka dapat dilakukan pengecekan instalasi kelistrikan, baik rumah maupun bangunan lainnya.

5. Masyarakat juga dapat merapikan bagian pohon-pohon besar dan tinggi untuk mengurangi beban berat pohon tersebut dan mengecek kualitas pohon terkait kelapukannya.

Baca juga: Kota Malang Diguyur Hujan Es dan Angin Kencang, Ini Penjelasan BMKG

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com