Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revitalisasi Gambut Riau: Menanam Tanpa Membakar, Mensejahterakan Tanpa Merusak Alam

Kompas.com - 31/12/2021, 16:02 WIB
Ellyvon Pranita,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Menanam tanpa membakar dan mensejahterakan tanpa merusak alam. Kalimat ini menjadi pedoman teguh yang dipegang oleh masyarakat kawasan gambut di Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Penggalan kalimat tersebut dimaksudkan agar setiap individu manusia yang bertempat di sana dapat menjaga keberlangsungan kehidupan warganya, tetapi juga tetap berusaha mensejahterakan kehidupan mereka seimbang dengan kelestarian alam,

Pedoman tegas ini juga menjadi bagian penting daripada upaya masyarakat dalam berpartisipasi mengantisipasi kejadian polusi asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi hampir setiap tahun di Indonesia, terutama di kawasan gambut Provinsi Riau itu sendiri.

Terlebih, kebakaran hutan dan lahan justru  sangat sulit dipadamkan saat terjadi di lahan basah seperti lahan gambut

Apalagi jika penyebaran api yang tidak hanya terjadi pada vegetasi di atas gambut tetapi juga terjadi di dalam lapisan tanah gambut yang sulit diketahui penyebarannya.

Permasalahan polusi atau kabut asap akibat karhutla memiliki dampak yang sangat luas sekali, tidak hanya bagi alam, tetapi bagi kehidupan manusia. 

Saat kabut asap karhutla terjadi, maka aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, transportasi dan lainnya juga akan ikut terganggu.

Baca juga: Umur Hutan Primer Gambut Sumatra dan Kalimantan Tinggal 50 Tahun Lagi, Ini Sebabnya

Oleh karena itu, setelah kebakaran besar di akhir tahun 2015 yang lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmennya secara nasional dan internasional untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah terjadi secara terus menerus dari tahun 1997 itu.

Secara nasional, Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. 

Di dalamnya memuat instruksi diperintahkan kepada beberapa Menteri Koordinator, Menteri Negara, Kepala Badan setingkat Menteri, Pemerintah Daerah dan lainnya untuk menjadikan permasalahan kebakaran hutdan lahan sebagai suatu hal prioritas, untuk diselesaikan melalui tiga pendekatan.

Tiga pendekatan tersebut yaitu  pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan; pemadaman kebakaran hutan dan lahan; dan penanganan pasca kebakaran atau pemulihan hutan dan lahan.

Komitmen yang dituangkan dalam bentuk Inpres ini selanjutna dikembangkan Presiden Joko Widodo secara global dalam pidatonya pada 30 November di Paris saat Conference of Parties (COP) 21.

Merunut Inpres yang telah dikeluarkan itu, langkah utama yang diambil oleh Presiden Joko Widodo adalah penegakan hukum dan penguatan langkah prevensi atau pencegahan karhutla terjadi dengan cara melakukan restorasi ekosistem gambut melalui pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) Republik Indonesia dan menetapkan moratorium, serta review izin pemanfaatan lahan gambut.

Baca juga: Semakin Terancam, Ini 3 Poin Perlindungan Lahan Gambut di Indonesia

Restorasi Lahan Gambut di Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.
Tual sagu diantar menuju kilang sagu melalui kanal lahan gambut di Sungai Tohor, Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau, Sabtu (13/2/2021). Komoditi sagu sudah menjadi mata pencaharian utama warga Sungai Tohor. Tanaman sagu membantu mempertahankan ekosistem gambut di Sungai Tohor, sekaligus mendorong ketahanan pangan masyarakat setempat. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMOKRISTIANTO PURNOMO Restorasi Lahan Gambut di Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Tual sagu diantar menuju kilang sagu melalui kanal lahan gambut di Sungai Tohor, Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau, Sabtu (13/2/2021). Komoditi sagu sudah menjadi mata pencaharian utama warga Sungai Tohor. Tanaman sagu membantu mempertahankan ekosistem gambut di Sungai Tohor, sekaligus mendorong ketahanan pangan masyarakat setempat. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Konsep revitalisasi gambut Riau

BRG dalam menjalankan tugas dan fungsinya menggunakan pendekatan 3R yaitu rewetting, revegetasi dan revitalisasi.

Rewetting atau pembasahan kembali gambut yang mengering akibat turunnya muka air gambut dilakukan dengan pembuatan sekat kanal, penimbunan kanal yang terbuka, dan pembangunan sumur bor.

Pendekatan berikutnya adalah revegetasi, yakni upaya pemulihan tutupan lahan pada ekosistem gambut melalui penanaman jenis tanaman asli pada fungsi lindung atau dengan jenis tanaman lain yang adaptif terhadap lahan basah dan memiliki nilai ekonomi pada fungsi budidaya.

Adapun program revitalisasi sumber-sumber mata pencaharian masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di dalam dan sekitar areal restorasi gambut melalui budidaya yang cocok di lahan gambut.

Program Revitalisasi Gambut di Provinsi Riau

Berdasarkan program kerja dari Badan Restorasi Gambut (BRG), revitalisasi yang ditargetkan adalah mencakup sumber-sumber mata pencaharian masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di dalam dan sekitar areal restorasi gambut.

Baca juga: Umur Hutan Primer Gambut Sumatra dan Kalimantan Tinggal 50 Tahun Lagi, Ini Sebabnya

Program revitalisasi yang dilakukan mendorong sistem pertanian terpadu di lahan gambut dimana sistem surjan dan paludikultur menjadi pilihan utamanya.

Program ini melakukan identifikasi jenis-jenis tanaman yang ramah dan cocok untuk dibudidaya di kawasan ekosistem gambut. 

BRG di Riau pada tahun 2017 lalu telah melakukan kegiatan revitalisasi ekonomi masyarakat di 22 desa di provinsi itu.

Revitalisasi itu berupa budidaya nanas gambut, pengelolaan pasca panen nanas, semangka, peternakan sapi, kambing, perikanan air tawar, budidaya lebah kelulut, tanaman karet, kelapa, kopi gambut, jahe dan sagu.

Ada dua contoh kegiatan revitalisasi ekonomi masyarakat di kawasan gambut di Provinsi Riau yang masih berlangsung hingga saat ini yaitu sagu dan kopi gambut.

1. Sagu

Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau merupakan kawasan alam yang menarik dengan adanya gambut ombrogen, yang bercirikan lahan tidak subur dan suplai air hanya dari hujan.

Baca juga: Lestarikan Gambut, Manfaatnya bagi Manusia Begitu Luar Biasa

Restorasi Lahan Gambut di Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.
Tual sagu diantar menuju kilang sagu melalui kanal lahan gambut di Sungai Tohor, Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau, Sabtu (13/2/2021). Komoditi sagu sudah menjadi mata pencaharian utama warga Sungai Tohor. Tanaman sagu membantu mempertahankan ekosistem gambut di Sungai Tohor, sekaligus mendorong ketahanan pangan masyarakat setempat. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMOKRISTIANTO PURNOMO Restorasi Lahan Gambut di Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Tual sagu diantar menuju kilang sagu melalui kanal lahan gambut di Sungai Tohor, Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau, Sabtu (13/2/2021). Komoditi sagu sudah menjadi mata pencaharian utama warga Sungai Tohor. Tanaman sagu membantu mempertahankan ekosistem gambut di Sungai Tohor, sekaligus mendorong ketahanan pangan masyarakat setempat. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Namun disinilah letak keunikannya, meskipun tidak subur dan suplai air hanya dari hujan, tetapi di atas lahan gambut itu berkembang hutan rawa gambut yang lebat dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.

Di antara keanekaragaman hayati berupa flora di sana, ternyata paling banyak dijumpai tumbuhan rumbia atau pohon sagu.

"Pohon sagu di sini ada yang sudah turun-temurun," kata Abdul Manan (42), seorang petani sagu Desa Sungai Tohor, Jumat (12/2/2021).

Diceritakan Abdul Manan yang akrab disapa Cik Manan, mengenai konsumsi pangan olahan sagu, dahulu banyak yang masih merasa malu jika tahu bahan makanan mereka adalah sagu. 

Setelah mendapatkan banyak edukasi dan sosialisasi bahwa sagu merupakan salah satu ketahanan pangan berharga Indonesia, masyarakat pun mulai berusaha memproduksi ragam jenis pangan olahan dari sagu ini.

Pangan olahan berbahan utama sagu yang dihasilkan dari desa ini berupa Kuih Bangkit Sagu, Kerupuk, Mie, Gula Sagu, Beras Sagu, Sagu Telor, Pilus Sagu, Sagu Lemak, Nastar Sagu, Sagon, dan Rempeyek Sagu.

Baca juga: Belajar Mengelola Lahan Gambut dari Suku Dayak

 

Tantangan yang dihadapi para petani sagu Desa Sungai Tohor saat ini adalah penyerapan hasil panen sagu dan juga produksi pangan turunan berbahan sagu, karena ekspor ke Malaysia selama pandemi Covid-19 terjadi memang mengganggu distribusi sagu mereka.

Perjalanan atau trip visual menuju ke perkebunan Sagu di Desa Sungai Tohor dapat Anda nikmati di laman VIK Kompas.com berikut ini https://vik.kompas.com/petualangan-ke-hutan-sagu-sungai-tohor/.

2. Kopi liberika

Setelah mengamati perkebunan dan budidaya sagu di lahan gambut Desa Sungai Tohor. Masih di Kabupaten yang sama, revitalisasi gambut lainnya berupa kopi gambut ada di Desa Kedaburapat.

Seperti kita ketahui, ada banyak ragam jenis kopi, tetapi yang paling dikenal di masyarakat Indonesia saat ini adalah Robusta dan Arabika, termasuk Kopi Aceh Gayo dan Kopi Arabika Toraja.

Tetapi tahukah Anda ternyata ada jenis kopi dengan cita rasa khas yang unik dan patut dicoba jika Anda memang pecinta kopi. Ialah Kopi Liberika Meranti.

Baca juga: Belajar Bertani Tanpa Bakar Lahan Gambut dari Masyarakat Sumatera Selatan

Sesuai dengan namanya, kopi jenis liberika ini berasal dari Desa Kedaburapat, Kecamatan rangsang Pesisir, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. 

 

Ketua Indikasi Geografis (IG) Liberika Rangsang Meranti, Al Hakim menuturkan bahwa kopi gambut liberika di Kedaburapat ini memiliki perpaduan rasa yang unik karena memiliki aroma buah, meskipun di tanam satu lahan atau berdampingan dengan pohon kelapa.

"Kopi Liberika Meranti ini adalah kopi yang unik karena memiliki ciri khas ada rasa (buah) nangkanya. Kalau sudah dirosting, rada cokelat warnanya macam warna milo," kata Al Hakim saat ditemui di kediaman sekaligus tempat produksi Kopi Liberika Meranti, Minggu (14/2/2021).

Tetapi setelah para pemangku kebijakan melihat langsung kondisi perkebunan yang ada, kebijakan pun diubah kembali dan budidaya kopi pun diizinkan di lahan gambut Kedaburapat ini.

Tantangan yang dihadapi para petani kopi liberika meranti saat ini adalah memenuhi permintaan pasar, sementara stok produksi kopi siap distribusi belum mencukupi itu.

Baca juga: BRG Paparkan 4 Persoalan Lahan Gambut yang Harus Dituntaskan

"Pernah ada permintaan menyiapkan 90 ton per bulan, tetapi kita sekarang baru bisa menampung 30 ton saja. Meski dulu cuma bisa menampung 1-3 ton".

Selain itu, Al Hakim menyebutkan, permintaan pasar domestik akan kopi liberika meranti hingga saat ini belum begitu banyak. Sedangkan, pandemi Covid-19 membuat akses jual-beli ke negara lain termasuk Malaysia tidak semudah sebelumnya.

Selanjutnya, tantangan lain yang dihadapi mereka adalah mengenai varian produk kopi liberika meranti ini.

Mereka pernah mencoba membuat varian lain dari produk kopi liberika meranti ini dengan varian luwak liberika kopi.

Tetapi, harga operasionalnya saja sudah cukup tinggi sehingga hasil kopi siap sajinya juga lebih tinggi dibandingkan jenis kopi luwak yang sudah ada dipasaran.

"Tapi permintaan kurang. Pasarnya belum jalan. Harganya operasionalnya tinggi," ucapnya.

Baca juga: 6 Jenis Pendekatan untuk Mengatasi Kebakaran Lahan Gambut di Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com