Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Mengapa Tak Boleh Sembarangan Memberi Makanan Pralaktasi pada Bayi?

Kompas.com - 08/08/2021, 18:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Risiko makanan pralaktasi

Tidak hanya di Indonesia, bayi-bayi di banyak negara lain kerap diberikan makanan pralaktasi. Alasan pemberiannya juga bervariasi, antara lain tradisi atau kepercayaan, arahan orang sekitar, atau kekhawatiran ASI tidak cukup.

Namun semua ini biasanya didasari oleh kurangnya informasi soal risiko infeksi pada bayi serta pemahaman akan proses menyusui.

Infeksi dapat timbul dari kontaminasi atau penyiapan makanan dan minuman yang tidak higienis. Bahkan beberapa makanan seperti madu mengandung bakteri penghasil botulinum toxin (racun) sehingga Badan Kesehatan Dunia (WHO) melarang pemberian madu untuk bayi di bawah satu tahun.

Baca juga: Ilmuwan Ungkap Manfaat Ajaib ASI terhadap Kesehatan Usus Bayi

Makanan pralaktasi juga membuat bayi merasa kenyang dan enggan menyusu sehingga payudara ibu tidak terstimulasi dengan optimal. Akibatnya, produksi ASI pun semakin berkurang dan siklus ini akan berulang seperti lingkaran setan.

Karena itu, dalam rekomendasi 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, WHO melarang pemberian makanan pralaktasi tanpa indikasi medis yang jelas.

Memahami proses laktasi

Secara umum, ibu, ayah dan keluarga besar perlu memahami bahwa bayi baru lahir tidak memerlukan makanan apa pun selain ASI. Proses keluarnya ASI pun bervariasi antar ibu dan tidak semua langsung keluar pada jam atau bahkan hari pertama kelahiran.

ASI yang tidak keluar sampai tiga hari atau 72 jam pasca persalinan umumnya masih terbilang wajar sehingga jika bayi sehat dan tidak ada komplikasi lainnya, makanan pralaktasi tidak perlu terburu-buru diberikan.

Ibu dan keluarga perlu berdiskusi dengan dokter atau bidan yang membantu proses persalinan untuk mendapat pemahaman yang benar dan percaya diri bahwa ASI-nya cukup. Itulah pentingnya mencari tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang memahami dan mendukung ASI.

Ibu hamil juga disarankan berkonsultasi dengan konselor laktasi untuk mendukung ibu mempersiapkan diri untuk menyusui. Jika memungkinkan, pasangan atau keluarga ibu ikut diedukasi agar tidak ada lagi informasi menyesatkan dari orang sekitar seputar pemberian makanan bayi.

Menyusui itu alamiah tapi prosesnya tidak selalu mudah. Ibu dan keluarga wajib mempersiapkan kelahiran jauh-jauh hari, minimal saat kehamilan, untuk menghindari pemberian makanan pralaktasi yang tidak perlu. Harapannya, proses menyusui dapat berjalan lancar.

Baca juga: Ibu Positif Covid-19 Menyusui Bayi, Ini yang Harus Diperhatikan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com