Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Tak Boleh Sembarangan Memberi Makanan Pralaktasi pada Bayi?

Walau air susu ibu (ASI) adalah nutrisi terbaik bagi bayi, nyatanya di Indonesia, sekitar 30-40 dari setiap 100 bayi baru lahir masih diberi susu formula atau berbagai makanan yang tidak selayaknya dikonsumsi bayi, seperti madu, bubur nasi, bahkan pisang.

Data tersebut berasal dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) terbaru. Makanan atau minuman selain ASI yang diberikan pada bayi dalam beberapa hari setelah lahir atau sebelum ASI keluar seperti di atas disebut juga makanan pralaktasi.

Jika tidak ada indikasi medis, bayi tidak membutuhkan makanan pralaktasi. Memberikan makanan pralaktasi sembarangan justru berpotensi membawa risiko kesehatan, seperti infeksi saluran cerna dan berkurangnya produksi ASI.

Kondisi seperti apa yang memicu ibu atau keluarga untuk memberikan makanan pralaktasi pada bayi?

Di luar alasan medis yang terbilang sangat jarang, ada banyak faktor yang melatarbelakangi pemberian makanan pralaktasi. Riset saya menggunakan data SDKI menunjukkan bahwa praktik pemberian makanan pralaktasi lebih sering terjadi pada ibu-ibu yang tidak melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD), melahirkan anak pertama, melahirkan secara sesar, dan tidak punya buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

Pemberian ASI dalam satu jam setelah bayi lahir alias IMD termasuk kontak kulit ibu dan bayi sangat berperan dalam keberhasilan menyusui. Jika ASI keluar pada jam-jam pertama kelahiran, maka proses menyusui akan lebih mudah ke depannya.

Sebaliknya, jika tidak, ibu akan stres dan stresnya akan semakin mempersulit produksi ASI. Mengedukasi ibu tentang manfaat IMD dan mengupayakan rawat gabung –bayi dan ibu dalam satu ruangan rawat inap – niscaya dapat meminimalisasi pemberian makanan pralaktasi.

Persalinan sesar berisiko membuat IMD terhambat, karena ibu masih dalam masa pemulihan sesudah operasi, dan ASI keluar lebih lambat sehingga menyusui jadi lebih sulit. Hal ini berujung membuat ibu cemas dan terburu-buru memberikan makanan pralaktasi. Oleh karena itu persalinan spontan (atau yang dikenal awam sebagai ‘normal’) perlu diupayakan semaksimal mungkin.

Pemeriksaan kehamilan sangat penting untuk menghindari komplikasi yang berujung pada kelahiran sesar. Jika kelahiran sesar memang dibutuhkan karena alasan medis, maka ibu perlu mendapat informasi dan pendampingan pascasalin untuk mengurangi kecemasan.

Pemberian makanan pralaktasi kerap berhubungan dengan kurangnya pengetahuan. Ibu yang baru melahirkan pertama kali biasanya memiliki lebih sedikit pengalaman menyusui, sehingga lebih berpotensi memberikan makanan pralaktasi.

Demikian juga dengan orang tua yang tidak memiliki buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Kemungkinan besar mereka minim kontak dengan tenaga kesehatan selama kehamilan dan kurang informasi tentang menyusui yang termuat dalam buku tersebut.

Buku ini bisa didapatkan oleh ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di dokter kandungan atau bidan di klinik, pondok bersalin desa (polindes), puskesmas atau rumah sakit.

Namun semua ini biasanya didasari oleh kurangnya informasi soal risiko infeksi pada bayi serta pemahaman akan proses menyusui.

Infeksi dapat timbul dari kontaminasi atau penyiapan makanan dan minuman yang tidak higienis. Bahkan beberapa makanan seperti madu mengandung bakteri penghasil botulinum toxin (racun) sehingga Badan Kesehatan Dunia (WHO) melarang pemberian madu untuk bayi di bawah satu tahun.

Makanan pralaktasi juga membuat bayi merasa kenyang dan enggan menyusu sehingga payudara ibu tidak terstimulasi dengan optimal. Akibatnya, produksi ASI pun semakin berkurang dan siklus ini akan berulang seperti lingkaran setan.

Karena itu, dalam rekomendasi 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, WHO melarang pemberian makanan pralaktasi tanpa indikasi medis yang jelas.

Memahami proses laktasi

Secara umum, ibu, ayah dan keluarga besar perlu memahami bahwa bayi baru lahir tidak memerlukan makanan apa pun selain ASI. Proses keluarnya ASI pun bervariasi antar ibu dan tidak semua langsung keluar pada jam atau bahkan hari pertama kelahiran.

ASI yang tidak keluar sampai tiga hari atau 72 jam pasca persalinan umumnya masih terbilang wajar sehingga jika bayi sehat dan tidak ada komplikasi lainnya, makanan pralaktasi tidak perlu terburu-buru diberikan.

Ibu dan keluarga perlu berdiskusi dengan dokter atau bidan yang membantu proses persalinan untuk mendapat pemahaman yang benar dan percaya diri bahwa ASI-nya cukup. Itulah pentingnya mencari tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang memahami dan mendukung ASI.

Ibu hamil juga disarankan berkonsultasi dengan konselor laktasi untuk mendukung ibu mempersiapkan diri untuk menyusui. Jika memungkinkan, pasangan atau keluarga ibu ikut diedukasi agar tidak ada lagi informasi menyesatkan dari orang sekitar seputar pemberian makanan bayi.

Menyusui itu alamiah tapi prosesnya tidak selalu mudah. Ibu dan keluarga wajib mempersiapkan kelahiran jauh-jauh hari, minimal saat kehamilan, untuk menghindari pemberian makanan pralaktasi yang tidak perlu. Harapannya, proses menyusui dapat berjalan lancar.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa makanan pralaktasi yang diberikan hanya boleh berupa susu formula bayi yang disiapkan sesuai dengan standar kesehatan, bukan makanan lain.

Pada kondisi ini, penting bagi ibu untuk memperoleh informasi yang komprehensif dari tenaga kesehatan, pendampingan menyusui, serta bantuan untuk relaktasi. Relaktasi adalah proses kembali menyusui setelah sempat terhenti untuk beberapa saat.

Jika relaktasi berhasil, ibu dapat kembali menyusui secara ekslusif sampai bayi berusia enam bulan. Ibu tidak perlu berkecil hati selama bayi sehat dan mendapat makanan sesuai kebutuhan dan kondisinya.

Jika makanan pralaktasi di luar indikasi medis terlanjur diberikan, maka segera hentikan dan pantau tanda-tanda infeksi pada bayi seperti demam, muntah, dan diare. Periksakan kepada dokter jika ibu dan keluarga merasa khawatir.

Carilah pendampingan menyusui dan bantuan relaktasi oleh dokter, bidan, atau konselor laktasi untuk mendukung keberhasilan menyusui.

Artikel ini untuk memperingati Pekan Menyusui Sedunia, 1-7 Agustus.

Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Tiga alasan mengapa data COVID-19 di Indonesia tak dapat dipercaya dan bagaimana mengatasinya". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com

https://www.kompas.com/sains/read/2021/08/08/183946623/mengapa-tak-boleh-sembarangan-memberi-makanan-pralaktasi-pada-bayi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke