Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Memahami Terjadinya Kebakaran dan Potensi Biomassa sebagai Racun Api

Kompas.com - 15/03/2021, 12:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Dian Burhani

Masih ingatkah kejadian kebakaran hebat yang menggegerkan di Gedung Kejaksaan Agung, karena ulah puntung rokok?

Tidak lupa pula kebakaran padang rumput Gililawa Barat di Kawasan Taman Nasional Komodo yang terjadi pada tahun 2018, yang diduga disebabkan karena api rokok dari salah satu pengunjung.

Sebenarnya bagaimana mekanisme terjadinya kebakaran? Apakah pemicunya? Apakah benar puntung rokok feasible untuk menghasilkan kebakaran yang demikian hebatnya?

Dan apakah ada material yang bisa digunakan untuk melindungi atau setidaknya menghambat penyebaran api?

Baca juga: Misi Rahasia Damkar Australia Selamatkan “Pohon Dinosaurus” Langka dari Kebakaran

Api membutuhkan tiga elemen, yaitu oksigen, bahan bakar dan panas untuk membakar. Tiga elemen ini disebut “segitiga api”.

Bayangkan sebuah lilin yang menyala. Wax, bahan dasar pembuat lilin adalah bahan bakarnya.

Wax yang meleleh karena nyala api bergerak menuju sumbu kemudian terbakar pada temperatur tinggi.

Selama bahan bakar (wax) dan oksigen tetap ada pada jumlah yang cukup, pembakaran akan terus berlanjut.

Gas yang dihasilkan dari pembakaran terus mengalami reaksi kimia dengan api dan oksigen.

Reaksi kimia yang terus menerus terjadi ini, kemudian ditambahkan sebagai elemen ke empat penyebab terjadinya api, yang kemudian menjadi “tetrahedron api”.

Berdasarkan standar International Fire Service Training Association (IFSTA), ada empat tahapan api:

a. Menyala

Ini adalah tahapan pertama terjadinya api. Pada saat panas, oksigen dan bahan bakar bertemu, terjadilah reaksi kimia yang menyebabkan terjadinya api.

Konsentrasi oksigen dalam ruangan masih dalam kondisi normal dan temperatur dalam ruangan secara keseluruhan belum meningkat. Pada tahapan ini, api masih kecil dan dapat dihentikan dengan pemadam api.

b. Perkembangan

Ada banyak faktor yang mempengaruhi tahap perkembangan api, seperti di mana api mulai terjadi, dan apa saja bahan yang mudah terbakar yang ada di dekat api.

Temperatur pada tahapan ini diperkirakan mencapai 300 – 600 °C. Tahapan ini adalah tahapan kritis, dimana flashover sewaktu-waktu dapat terjadi (c) Pembakaran penuh.

Pada tahapan ini, temperatur telah mencapai puncaknya, yaitu ~1200 °C, semua material yang dapat terbakar sudah terbakar semua. Tahapan ini adalah tahapan yang paling berbahaya.

Baca juga: Kebakaran Australia, 1 Miliar Hewan Diperkirakan Mati Dilumat Api

Ilustrasi kebakaran hutan dan lahan.iStock/Pgiam Ilustrasi kebakaran hutan dan lahan.

c. Penyurutan api

Pada tahap ini, kadar oksigen dan bahan bakar mulai menurun. Temperatur pun mulai berkurang.

Tetapi harus tetap waspada, karena ada dua bahaya yang mengintai pada tahapan ini, pertama adanya bahan-bahan yang mudah terbakar di sekitar api yang mungkin akan menyebabkan kebakaran baru, jika kebakaran yang sebelumnya belum padam sepenuhnya.

Kedua, bahaya kebakaran bahkan ledakan ketika oksigen muncul kembali.

Jika salah satu dari elemen “tetrahedron api” ini dihilangkan atau diganggu, proses pembakaran akan terganggu.

Penghapusan atau gangguan ini adalah konsep dari flame retardant (FR) atau disebut juga dengan “racun” api.

Baca juga: BMKG: Waspada Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Berikut

Para peneliti di bidang FR telah lebih dari beberapa dekade mengembangkan portofolio besar produk FR yang pada dasarnya menyerang satu atau lebih dari tiga elemen “tetrahedron api”.

Apa itu flame retardant? Flame retardants adalah bahan kimia yang ditambahkan ke dalam suatu material yang bertujuan untuk mencegah pembakaran, maupun untuk menunda penyebaran api setelah penyalaan.

FR sudah digunakan dalam polimer sejak tahun 1960-an. Untuk memenuhi standar keselamatan kebakaran seperti yang diatur dalam National Fire Protection Association (NSPA), aplikasi FR pada material pada kayu, tekstil, peralatan elektronik, otomotif dan aviasi semakin lama semakin berkembang.

Material yang dapat meningkatkan sifat ketahanapian material antara lain adalah mineral, senyawa halogen, senyawa yang mengandung phosphor, senyawa yang mengandung nitrogen, senyawa yang mengandung silikon dan senyawa nanometrik.

FR dari bahan mineral seperti aluminium trihidroksida sangat efisien untuk menurunkan bahaya kebakaran dan sudah umum digunakan.

Tapi, penggunaannya haruslah sangat banyak. Sehingga, apabila digabungkan dalam material lain sebagai aditif, malah akan merusak sifat material tersebut.

FR yang berbasis senyawa halogen, telah lama digunakan dan merupakan teknologi yang cost-effective, tetapi concern mengenai dampak penggunaannya ke lingkungan dan kesehatan, menyebabkan pemakaian FR yang mengandung senyawa halogen ini dilarang penggunaannya di dunia.

Beberapa produk FR yang mengandung senyawa halogen yang dilarang di antaranya adalah penta- dan okta-bromodifenil ether dan heksabromosiklododekan.

Di antara semua metode untuk mengukur sifat ketahan apian suatu material, Ul-94 adalah yang paling umum digunakan.

Sampel diukur berdasarkan standar IEC 60695-11-10, dimana material diklasifikasikan berdasarkan rating ketahanan panasnya, yaitu V-0, V-1, V-2. V-0 adalah rating tertinggi yang mengindikasikan material yang memiliki ketahanan panas yang bagus.

Baca juga: 300.000 Tahun Lalu, Manusia Sudah Gunakan Api untuk Bikin Alat Batu

 

Potensi Biomassa sebagai “racun api”

Biomassa secara alamiahnya telah memiliki sifat ketahan apiannya sendiri. Lignin, misalnya, pemanfaatan lignin sebagai racun api sangat tergantung pada sifat termal dan kemampuan lignin dalam menghasilkan arang.

Beberapa literatur melaporkan, bahwa ikatan -O-4 pada lignin sangat berkontribusi dalam terhubungnya rantai samping dan gugus metoksi yang sangat penting dalam terbentuknya arang.

Arang yang dihasilkan sangat menguntungkan dalam memblokir permukaan antara polimer matriks dan api.

Komponen lignoselulosa lainnya, yaitu selulosa. Dalam ukuran nano, selulosa nanokristal (CNC) juga berpotensi sebagai FR. Ketika CNC dibakar, dihasilkanlah arang yang memblok propagasi nyala api.

Baca juga: Mengerikan, Bagaimana Kebakaran Hutan Membuat Langit California Jadi Oranye?

Selain biomassa lignoselulosa, pati juga sangat berpotensi digunakan sebagai FR dikarenakan pati mengandung banyak gugus hiodroksil yang berperan penting pada saat pembentukan arang.

Mekanisme penghambatan nyala api ini dilakukan dengan sistem intumescent. Pada saat kebakaran, pati akan bereaksi dengan ammonium polyphosphate dan FR lain untuk membentuk arang di permukaan material yang terbakar, menghambat difusi oksigen dan perpindahan panas.

Lain halnya dengan tiga komponen diatas, kitin ditemukan dalam dinding sel jamur dan ragi, dalam kulit krustasea dan dalam eksoskeleton antropoda.

Kitosan, hasil dari deasetilasi kitin memiliki gugus hidroksil yang dapat digunakan sebagai agen pembentuk arang dalam sistem FR untuk polimer.

Selain itu, kitosan kaya akan nitrogen (dalam bentuk amida, CHNO) yang berperan dalam pembentukan ammonia pada saat kebakaran, yang akan meningkatkan stabilitas termo-oksidatif material tersebut, yang merupakan kharakteristik penting yang mendukung potensi kitosan sebagai racun api.

Indonesia kaya akan potensi biomassanya. Lignin, dan selulosa merupakan komponen biomassa lignoselulosa yang banyak terdapat dalam limbah hasil pertanian/hutan, seperti tebu, tandan kosong, kelapa sawit (TKS), dan padi. Pati juga banyak terdapat pada singkong, kentang, jagung dan ubi.

Selain itu, Indonesia juga kaya akan hasil laut, yang tentu saja menjanjikan sumber daya yang berkelanjutan.

Pemanfaatan biomassa sebagai FR sudah mulai dilakukan yaitu dengan menggunakan lignin hasil isolasi limbah lindi hitam produksi bioetanol dari TKS.

Pemanfaatan lignin dari proses ini merupakan konsep biorefinery yang memanfaatkan semua komponen untuk menghasilkan proses “green” yang zero waste.

Kembali lagi, pada akhirnya, dengan mengontrol “madu” api dan mengaplikasikan “racun” nya diharapkan kasus kebakaran domestik di Indonesia juga dapat terkendali.

Baca juga: Hati-hati, Asap Kebakaran Hutan bisa Bawa Mikroba Penyebab Penyakit

Dian Burhani, S. Si, M.T

Peneliti di Pusat Penelitian Biomaterial LIPI

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com