Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bulu Beracun Mematikan, Tikus Jambul Afrika Ini bisa Bunuh Manusia

Kompas.com - 29/11/2020, 10:00 WIB
Monika Novena,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com- Jangan terkecoh dengan penampilan tikus ini. Di balik fisiknya yang diselimuti bulu halus, serta muka yang cukup menggemaskan, Tikus Jambul Afrika (Lophiomys imhausi) ternyata memiliki bulu mengandung racun yang sangat mematikan.

Saking kuatnya, beberapa miligram saja cukup untuk membunuh manusia. Uniknya, tikus itu tidak menghasilkan racun itu sendiri.

Studi baru yang dipublikasikan di Journal of Mammalogy ini menunjukkan jika tikus mendapatkan racun saat mereka mengunyah kulit kayu dari pohon panah beracun (Acokanthera schimperi).

Hal ini membuat tikus jambul menjadi satu-satunya mamalia yang mendapatkan racunnya langsung dari tumbuhan.

Baca juga: Lemming, Tikus Lucu Penghuni Arktik yang Jadi Bukti Perubahan Iklim

 

Seperti dikutip dari Live Science, Sabtu (28/11/2020) kulit kayu yang dikunyah tikus ini akan bercampur dengan air liur, tikus kemudian akan menjilati tubuhnya. Racun pun akan berpindah ke bulu-bulu mereka.

Kulit kayu yang dikunyah tikus jambul Afrika tersebut mengandung cardenolida yang sangat beracun bagi kebanyakan mamalia.

Cardenolida dalam dosis kecil bisa digunakan dalam pengobatan jantung, seperti misalnya untuk memperbaiki aritmia.

Baca juga: Rekayasa Organ Hati Manusia Berhasil Ditransplantasikan ke Tikus, Kok Bisa?

 

Namun dalam jumlah yang tinggi, senyawa tersebut dapat menyebabkan muntah, kejang, kesulitan bernapas, dan serangan jantung. Tak heran jika melakukan kontak dengan tikus jambul ini dapat berakibat fatal.

Dalam studi baru ini, peneliti menangkap 25 tikus dan menempatkannya di penangkaran. Peneliti memasang kamera di kandang dan menganalisis perilaku tikus beracun ini selama hampir 1000 jam.

Menariknya, meski sangat beracun bagi hewan lain, peneliti menemukan saat tikus mengunyah kulit kayu, mereka tidak terpengaruh dengan racunnya.

 

 

Menurut peneliti, tikus jambul memiliki perut empat bilik yang tak biasa dengan bakteri yang padat, sehingga ada kemungkinan mikroba usus memecah cardenolida dan mencegah tikus menjadi mual karena racun.

Lebih lanjut, Sara Weinstein, peneliti dari Smithsonian-Mpala Postdoctoral Fellow with the Smithsonian Institution dan University of Utah menyebut jika racun paling efektif untuk mempertahankan diri dari predator yang menyerang dengan cara menggigit.

Kendati demikian, racun tersebut akan kurang efektif bagi pemangsa yang menyerang dari atas, sebab mereka dapat menghindari kontak langsung dengan bulu beracun itu dengan cara mencengkeram tubuh tikus.

Peneliti juga terkejut dengan tikus yang sebelumnya dianggap soliter ternyata hidup secara monogami berpasangan jantan-betina.

Baca juga: Sel Lemak Tikus Ungkap Efek Cahaya pada Kesehatan Tubuh, Ahli Jelaskan

 

 

Mereka menghabiskan lebih dari 50 persen untuk bersama dan berkomunikasi termasuk mencicit dan mendengkur.

Tikus jambul sendiri memiliki tubuh dengan panjang sekitar 22,5 cm hingga 36 cm. Mereka menghuni hutan di Ethiopia, Kenya, Somalia, Sudan, Tanzania, dan Uganda.

Tikus ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1867 dan telah lama diduga beracun. Tetapi peneliti terkendala untuk meneliti dan mengamatinya karena tikus-tikus beracun ini jarang terlihat di alam liar.

Hal itu juga membuat jumlah populasi dan status konservasinya belum bisa dipastikan. Kendati demikian, peneliti meyakini seiring dengan menyusutnya habitat, maka akan dapat semakin memengaruhi kelangsungan hidup hewan ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com