Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Biawak komodo Varanus komodoensi, Sejauh Mana Kita Tahu Tentangnya?

Kompas.com - 06/11/2020, 16:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Evy Arida

KOMODO adalah salah satu di antara 82 jenis biawak yang telah dikenal di dunia ilmu pengetahuan. Berbagai jenis biawak tidak hanya hanya terdapat di alam Indonesia. Banyak jenis biawak liar lainnya yang dapat dijumpai di Australia, Kepulauan Oseania, sebagian benua Asia, bahkan hingga di Afrika.

Namun, biawak komodo dan 16 jenis biawak lainnya hanya terdapat di alam Indonesia, khususnya di bagian timur nusantara.

Kepulauan Maluku merupakan pusat keanekaragaman biawak di Indonesia, dengan 11 jenis yang terdapat di alamnya. Papua dan pulau-pulau di wilayah ini juga merupakan pusat keanekaragaman biawak, dengan 10 jenis biawak terdapat di alamnya. Sementara di wilayah Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, terdapat tiga jenis biawak saja.

Biawak komodo liar mendiami beberapa pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan merupakan salah satu di antara empat jenis biawak yang terdapat di alamnya. Sejarah evolusinya mengindikasikan nenek moyang biawak jenis ini berada di benua Australia.

Kerabat terdekat biawak komodo adalah biawak renda, Varanus varius, yang hingga saat ini masih terdapat di alam di benua Australia bagian timur. Biawak komodo juga berkerabat dekat dengan biawak bunga tanjung, Varanus salvadorii, yang mendiami alam tanah Papua.

Ketiganya merupakan jenis biawak besar. Biawak komodo dewasa dapat mencapai panjang tubuh total sekitar tiga meter dengan bobot tubuh sekitar 80 kilogram.

Biawak komodo dinobatkan menjadi salah satu keajaiban dunia pada tahun 2011 silam. Untuk kali pertama, jenis biawak ini dikenal secara ilmiah pada tahun 1912 oleh Peter Ouwens, seorang peneliti berkebangsaan Belanda yang menjadi staf Museum Zoologi Bogor di kala itu.

Seiring dengan berjalannya waktu, populasi jenis biawak langka ini telah berkurang secara drastis. Survei populasi menunjukkan penurunan sebesar 58 persen dalam jangka waktu 25 tahun. Auffenberg (1981) menyatakan bahwa pada akhir tahun 1970-an, jumlah total biawak komodo liar adalah sekitar 5.700 ekor. Pada awal abad ini, sensus menunjukkan kurang dari 2.400 ekor biawak komodo yang masih tersisa di alam (Ciofi dan De Boer, 2004).

Taman Nasional Komodo diresmikan pada tahun 1980 oleh pemerintah Republik Indonesia dengan tujuan melindungi biawak komodo dari kepunahan di habitat alamnya. Dua Cagar Alam di Pulau Flores juga didirikan untuk melindungi populasi jenis biawak langka ini, yaitu Cagar Alam Wae Wuul di bagian barat dan Cagar Alam Wolo Tado di bagian utara pulau ini.

Hingga saat ini, telah diketahui bahwa Biawak Komodo hanya dapat dijumpai di beberapa pulau di Provinsi NTT, termasuk Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Gili Motang, Pulau Nusa Kode, dan Pulau Flores. Populasi biawak komodo di Pulau Padar pernah dinyatakan punah semenjak kebakaran besar melanda pulau kecil ini pada tahun 1980-an.

Varanus komodoensis adalah biawak terbesar di dunia yang masih berada di habitat aslinya di alam, yaitu di Indonesia. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa jenis ini pun terancam kepunahan, jika upaya pelestarian yang efektif tidak segera diimplementasikan.

Status “Rentan” (Vulnerable) disematkan pada biawak komodo karena ancaman kepunahan, di antaranya kerusakan habitat dan hilangnya mangsa utamanya, yaitu Rusa Timor (Rusa timorensis). Nenek moyang biawak komodo yang berada di Australia pun telah punah dan diduga karena habitatnya sudah tidak sesuai lagi. Mangsa bagi biawak raksasa ini pun tidak lagi ada di benua ini sejak iklim global mengalami perubahan total secara berangsur-angsur.

Bahkan kerabat terdekatnya (sister taxon) yang berukuran jauh lebih besar juga punah di Australia. Varanus priscus diduga adalah kerabat terdekat biawak komodo yang panjang tubuhnya mencapai enam meter. Biawak ini terindikasi punah karena perubahan habitat dan ketiadaan mangsanya di benua Australia.

Seiring dengan perkembangan teknologi penelitian dan dampak kemajuannya yang mendukung sains biologi, penelitian tentang biawak komodo sejak lebih dari satu dekade telah melibatkan teknik DNA molekuler untuk menjelaskan hubungan kekerabatan di antara populasinya di Provinsi NTT.

Teknik ini digunakan untuk menandai individu biawak komodo yang berasal dari berbagai lokasi di habitatnya, sehingga dapat diketahui asal lokasi pengambilan biawak ini, misalnya yang berada di kebun binatang atau diselundupkan dari habitatnya beberapa waktu yang lalu.

Teknik DNA molekuler ini cakupan penggunaannya luas, misalnya untuk memperkirakan jenis kelamin biawak muda dan bahkan waktu migrasi dari satu populasi ke populasi lainnya di alam.

Diperlukan jangka waktu 24 tahun atau satu generasi hidup biawak komodo untuk bermigrasi dari Pulau Flores ke Pulau Gili Motang yang berjarak sekitar 2,5 kilometer dari bibir pantai terdekatnya. Meskipun biawak komodo mempunyai potensi berpindah lokasi melewati arus laut, biawak besar ini telah diketahui tidak bermigrasi sewaktu-waktu seperti beberapa jenis biawak lainnya.

Populasi biawak komodo di Pulau Padar pernah mengalami tekanan perubahan habitat karena kebakaran yang terjadi di pulau ini beberapa dekade yang lalu. Namun demikian, hasil pemantauan pihak Taman Nasional Komodo melalui mekanisme kerjasama dengan Komodo Survival Programme (KSP) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengindikasikan regenerasi atau migrasi populasi di pulau yang berukuran relatif kecil ini.

Karena Pulau Padar terletak di antara dua pulau besar, yaitu Pulau Komodo dan Pulau Rinca, maka dapat diambil hipotesis tentang asal lokasi populasi biawak komodo yang saat ini telah kembali berada di Pulau Padar.

Biawak komodo adalah kebanggaan nasional Indonesia. Keresahan muncul dari masyarakat dan terekspresikan di media beberapa tahun terakhir ini, menanggapi hal-hal terkait biawak besar ini.

Berita tentang rencana relokasi individu biawak dengan alasan pemurnian genetik, rencana penutupan sementara Pulau Komodo untuk pemulihan habitat, pengambilan biawak komodo oleh pihak yang tidak bertanggungjawab dari habitat alaminya di Flores, dan yang terbaru adalah pembangunan sarana dan prasarana di habitat alam di Pulau Rinca telah menjadi perhatian masyarakat.

Tampaknya keresahan ini adalah bentuk kesadaran akan pentingnya melestarikan satwa kebanggan nasional ini. Oleh karena itu, tidak dapat dimungkiri lagi bahwa pengelolaan populasi satwa liar yang langka seperti biawak komodo ini, menjadi hal yang mendesak untuk ditangani secara cermat dan efektif.

Bagaimanapun juga, biawak endemik berukuran besar di bagian timur Indonesia ini beserta keanekaragaman hayati Indonesia lainnya adalah warisan alam semesta yang tidak hanya cukup dibanggakan saja, tetapi sangat penting untuk dipertahankan kelestariannya.

Mengapa menjadi begitu penting mempertahankan kelestarian satwa ini? Karena salah satu tanda suatu bangsa yang besar di abad ini adalah bangsa yang mampu mengenali potensi keanekaragaman hayatinya, menerapkan teknologi yang mendukung pengungkapannya, dan melestarikan kebanggaan nasionalnya dengan ilmu pengetahuan yang dihasilkannya sendiri.

Tentu saja, kerjasama antara berbagai pihak di tingkat nasional maupun internasional juga menjadi kunci keberhasilan upaya pelestarian biawak komodo dan jenis-jenis satwa liar lain yang ada di Indonesia. Biawak komodo adalah salah satu keajaiban dunia, yang keberadaannya di Indonesia tidak hanya menjadi daya tarik wisata, tetapi bahkan subyek penelitian ilmiah karena keunikannya.

Pada tahun 2009, para peneliti dari University of Melbourne di Melbourne, Australia, mempublikasikan penelitian tentang keberadaan kelenjar bisa pada biawak komodo. Menurut hasil penelitian ini, bisa yang dihasilkan dari kelenjar pada mulut biawak komodo ini berpotensi mengakibatkan luka yang dalam dan dapat berakhir pada kematian.

Pada tahun 2017 telah diketahui bahwa darah biawak komodo mengandung peptida yang menjadi dasar bagi tim peneliti dari George Mason University di Virginia, Amerika Serikat, untuk merancang peptida sintetis yang berfungsi dalam penyembuhan luka, yaitu DRGN-1.

Tahun lalu, para peneliti dari University of Texas di Austin, Amerika Serikat, menemukan perbedaan kulit biawak komodo dari jenis-jenis kadal yang lain, yaitu adanya struktur pelindung yang terbuat dari penulangan kulit yang disebut “osteoderm” pada biawak komodo.

Struktur penulangan kulit inilah yang membuat biawak dewasa terhindar dari kerusakan jaringan kulit dan jaringan-jaringan lain di bawah kulitnya ketika digigit oleh individu biawak komodo yang lain. Sementara itu, biawak komodo muda masih memiliki kemungkinan mengalami kerusakan jaringan yang disebabkan oleh gigitan individu dewasa.

Penelitian-penelitian tentang biawak komodo tersebut menunjukkan keunikan biawak komodo. Selanjutnya, kajian-kajian ilmiah karya anak bangsa diharapkan akan terus bermunculan untuk mengungkap keunikan dan potensi-potensi lain satwa khas Indonesia ini.

Sebagian besar karya tulis ilmiah anak-anak bangsa yang telah dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah internasional sejak awal tahun 2000 meliputi aspek ekologi dan konservasi biawak komodo liar di habitat aslinya. Secara konsisten, data dan informasi yang mendukung upaya pelestarian biawak besar ini telah tersedia selama kurang lebih 20 tahun.

Data-data ilmiah semacam ini akan bermanfaat sebagai bahan kajian untuk menyusun rencana pelestarian berbasis ilmu pengetahuan dengan tanpa mengesampingkan pemanfaatan untuk pariwisata dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di habitat asli satwa ikonik Indonesia ini.

Evy Arida

Peneliti Madya Pusat Penelitian Biologi LIPI (bidang fokus penelitian herpetologi/reptil dan amfibi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com