KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengambil keputusan untuk menarik rem darurat dan kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Keputusan itu diambil setelah mempertimbangkan sejumlah faktor, di antaranya ketersediaan tempat tidur rumah sakit yang hampir penuh, tren kasus aktif di Jakarta yang kembali meningkat, dan angka pemakaman berdasar protap Covid-19 yang juga ikut meningkat.
Dengan demikian, penerapan PSBB transisi di Jakarta dicabut dan PSBB kembali diterapkan pada 14 September.
Lantas, sampai kapan idealnya PSBB diterapkan?
Baca juga: Jakarta PSBB Lagi, Wilayah Ini Menyimpan Bom Waktu dan Harus Menyusul
Menjawab pertanyaan ini Kompas.com menghubungi pakar epidemiologi Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman.
Dicky menyampaikan, PSBB merupakan strategi tambahan dalam upaya pengendalian suatu pandemi, dalam hal ini Covid-19.
Seperti kita tahu, dengan diberlakukannya PSBB maka sosial ekonomi pun akan merasakan dampaknya.
Oleh sebab itu, penerapan PSBB total harus memenuhi dua syarat, yakni:
Dicky menjelaskan, saat kapasitas tempat tidur di rumah sakit mencapai 90 persen, ini sudah berada di titik sangat serius.
"Karena normalnya batasan WHO itu 60 persen," kata Dicky.
Dia mengatakan, ketika kapasitas rumah sakit mencapai 90 persen dampaknya adalah munculnya risiko kekacauan di layanan rumah sakit.
"Kalau rumah sakit sampai caos atau membludak dan rumah sakit enggak bisa menangani (pasien), itu risiko kematian akan sangat tinggi. Ini yang terjadi juga di Italia," paparnya.
Sebagai contoh, ruang ICU hanya ada satu tapi pasien yang membutuhkan ICU ada 9. Hal ini besar kemungkinan akan menyebabkan kematian pada pasien yang menunggu perawatan ICU tersebut.
Hal-hal seperti inilah yang harus dicegah, salah satunya dengan cara menarik rem dan menerapkan PSBB total.
Ketika PSBB total dijalankan dan masyarakat berada di rumah, maka tidak ada pergerakan manusia yang bisa meningkatkan risiko penularan Covid-19.