Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kualitas Udara di Jakarta Masih Buruk, Waspada 2 Dampaknya bagi Kita

Kompas.com - 13/08/2020, 10:09 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi juga merambah ke berbagai sektor seperti ekonomi dan ketahanan nasional.

Selain pandemi Covid-19, masalah polusi udara dan kualitas udara juga telah lama mengancam kesehatan manusia dan berdampak pada perekonomian negara.

Di Indonesia, daerah yang terkenal memiliki kualitas udara buruk adalah Jakarta.

Selama pandmei Covid-19 dan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), nyatanya kualitas udara di ibu kota negara tetap buruk.

Baca juga: Terkenal Buruk, Begini Kualitas Udara Jakarta Selama Pandemi Covid-19

Dalam laporan penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) disebutkan, kualitas udara di Jakarta selama empat tahun terakhir (2017-2020) masuk dalam kategori mengkhawatirkan.

"Tahun 2017-2020 ini jadi puncak polusi udara di Jakarta," kata Isabella dalam diskusi daring bertajuk Polusi Lintas Batas: Darimana Asal Kerumunan Gas Beracun di Kota Jakarta?, Selasa (11/8/2020).

Pencemar utama udara Jakarta

Dalam penelitian CREA, ditemukan pencemar utama polusi udara di Jakarta bukanlah dari aktivitas emisi pembuangan transportasi darat yang lalu-lalang di jalanan.

Melainkan dari beberapa faktor lain seperti emisi beracun yang berasal dari operasi pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan pabrik industri di area lintas batas administratif kota Jakarta.

Adapun, pencemar beracun udara di Jakarta yang terdata adalah emisi gas Sulfur Dioksida (SO2), gas rumah kaca (NOx), partikulat PM 2,5 dan merkuri (Hg).

Ironisnya, pencemar udara ini tidak hanya dihasilkan langsung dari sumbernya. Melainkan juga berinterkasi di atmosfer yang akhirnya menghasilkan pencemar baru.

Untuk diketahui, gas NOx dikeluarkan setiap kali bahan bakar fosil dibakar, karena suhu pembakarannya yang sangat tinggi (SEPA).

Sementara, gas SO2 terbentuk selama pembakaran bahan bakar di pembangkit listrik dan fasilitas industri (US EPA 2019).

Serta, untuk partikulat PM 2,5 dihasilkan langsung dari sumber pencemar primer seperti kendaraan, alat berat, kebakaran hutan, dan kegiatan pembakaran lainnya.

Pembangkit listrik tenaga nuklirshutterstock Pembangkit listrik tenaga nuklir

Namun, partikulat PM 2,5 ini juga bisa terbentuk di atmosfer sebagai pencemar sekunder, dan dapat tetap mengudara dalam waktu lama dan menempuh jarak ratusan mil.

Sedangkan untuk partikel Merkuri yang umumnya terdapat di logam bberat neurotoksik, merupakan pencemar udara yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga batu bara dan mudah bergerak dalam atmosfer.

Dampak kerumunan gas beracun

CREA fokus melihat dampak polusi udara dalam bentuk kerumunan gas beracun tersebut dalam sektor kesehatan dan ekonomi.

1. Dampak kesehatan akibat gas beracun

CREA memperkirakan, kerumunan gas beracun yang memenuhi ruang udara Jakarta tersebut bahwa pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara (PLTU Batu Bara) yang berada dalam radius 100 kilometer bertanggung jawab atas sekitar 2.500 kematian dini wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek).

Polusi udara yang buruk berupa NOx, SO2 dan PM 2,5 itu disebut juga dengan kerumunan gas beracun.

"Ini (kerumunan gas beracun) bisa menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan manusia," tuturnya.

Baca juga: Sumber Utama Polusi Udara Jakarta Ternyata Bukan Transportasi, Kok Bisa?

Isabella berkata, pencemaran udara lintas batas ini juga seharusnya bertanggung jawab atas dampak buruk kesehatan lainnya seperti berikut:

  • Infeksi saluran pernapasan bawah (ISPA) pada bayi
  • Kanker paru-paru
  • Penyakit kardiovaskular
  • Stroke
  • Penyakit pernapasan lainnya
  • Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
  • Sistem kekebalan tubuh

CREA mendapatkan perkiraan dampak kesehatan pencemaran udara lintas batas di atas, dengan menggunakan metodologi dalam kajian Harvard tentang Persoalan Penyakit Akibat Meningkatnya Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Uap Berbahan Bakar Batu Bara di Asia.

Hal itu diperbarui dengan situasi saat ini dari pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara yang beroperasi. Namun tidak termasuk PLTU Jawa-7 yang baru mulai beroperasi pada bulanDesember 2019, dan masih berdasarkan bahan baku mutu tahun 2019.

Adapun, pemodelan kualitas udara dilakukan dengan sistem pemodelan CALMET-CALPUFF yang memungkinkan resolusi lokal yang lebih tinggi daripada kajian awal.

Ilustrasi polusiShutterstock Ilustrasi polusi

2. Dampak ekonomi akibat gas beracun

Pencemaran udara berbahaya dari pembangkit listrik di Banten dan Jawa Barat diperburuk oleh baku mutu emisi yang lemah.

Alhasil, ini akan sangat berdampak pada kesehatan warga Jakarta dan ekonomi kota.

Diperhitungkan bahwa biaya pencemaran lintas batas dari PLTU Batu Bara ini bahkan diperkirakan mencapai RP 5,1 triliun per tahun di Jabodetabek, atau sekitar Rp 180.000 per orang per tahun.

Perkiraan ini tidak termasuk PLTU Jawa-7, dan dilakukan dengan menggunakan bahan baku emisi tahun 2019.

Baca juga: Demi Udara Sehat Jakarta Jangan Izinkan Pembangunan Pembangkit Listrik, Kenapa?

Hal ini dikarenakan, selain paparan partikel gas beracun itu berdampak langsung pada kesehatan manusia. Namun, secara tidak langsungnya akan berdampak pada sistem perawatan kesehatan, produktivitas ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Oleh sebab itu, Isabella menegaskan pentingnya regulasi lebih lanjut terkait bahan baku emisi dan juga perizinan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil.

Serta, upayakan untuk memilih dan mencoba membangun pembangkit listrik dengan energi terbarukan dan dapat berkelanjutan tanpa merusak kondisi alam dan lingkungan yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com