KOMPAS.com - Di tengah karantina wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan sejak awal 2020, masih banyak negara dengan kategori polusi terburuk di dunia.
Hal itu disebutkan dalam sebuah laporan terbaru yang dirilis oleh LSM internasional yang berbasis di Washington DC, yaitu OpenAQ. Laporan penelitian itu terbit pada Kamis (9/7/2020) dengan judul Open Air Quality Data: The Global State of Play.
Ilmuwan atmosfer sekaligus pendiri OpenAQ, Dr Christa Hasenkopf menjelaskan dalam keterangan tertulisnya mengatakan penelitian itu dilakukan dengan menguji 212 negara.
Baca juga: 51 Persen Negara Tak Punya Akses Terbuka ke Data Kualitas Udara
Dari penelitian tersebut, ditemukan 109 negara atau mencapai 51 persen pemerintahan tidak mengeluarkan data kualitas udara dari setiap polutan berbahaya.
"Akses dasar ke data kualitas udara adalah langkah pertama untuk meningkatkan kualitas udara yang kita hirup," kata Hasenkopf.
Penelitian yang dilakukan ini juga mendapatkan dukungan dari para ilmuwan di NASA dengan mengggunakan sistem OpenAQ.
Dengan melakukan penggabungan data satelit NASA dari polusi udara dengan sistem OpenAQ membuat semua orang di seluruh dunia bisa mendapatkan informasi tentang kualitas udara.
Berdasarkan laporan penelitian itu juga, OpenAQ mengungkapkan 13 negara dengan populasi terpadat, di mana pemerintah nasionalnya tidak memiliki program pemantauan jangka panjang untuk kualitas udara ambien.
Bahkan pada 2017 yang lalu, negara-negara ini tercatat oleh Global Burden of Disease sebagai negara yang polusi udaranya meyebabkan kematian dan kecacatan. Antara lain:
1. Pakistan, 221 juta penduduk dengan peringkat ke lima
2. Nigeria, 206 juta penduduk, peringkat ke tiga
3. Ethiopia, 115 juta penduduk, peringkat ke empat
4. Congon, 90 juta penduduk, peringkat ke tujuh
5. Tanzania, 60 juta penduduk, peringkat ke tiga
6. Kenya, 54 juta penduduk, peringkat ke lima