Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/07/2020, 19:04 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 yang bermula di Wuhan, China, sejak Desember 2019 lalu, belum juga berakhir hingga awal Juli 2020 ini.

Kendati sejumlah negara tetangga selain China sudah melaporkan penemuan kasus sejak Januari 2020. Di Indonesia, identifikasi kasus pertama kali dilaporkan pada tanggal 2 Maret 2020, dengan jumlah kasus ada 2 orang.

Pada bulan yang sama yaitu Maret 2020, tim ahli dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) membuat draf skenario terburuk dari pemodelan penyebaran Covid-19 di Indonesia atau Covid-19 Modelling Scenarios Indonesia.

Tim penyusun draf skenario pemodelan penyebaran Covid-19 itu adalah Pandu Riono, Iwan Ariawan, Muhammad N Farid dan Hafizah Jusril.

Baca juga: Skenario Terburuk Corona di Indonesia: Hampir 2,5 Juta Orang Perlu Perawatan Intensif

Dalam draf prediksi skenario terburuk tersebut, jika tanpa intervensi atau hanya sekedar imbauan, maka jumlah total pasien Covid-19 yang harus mendapatkan perawatan intensif pada pertengahan Mei 2020 adalah hampir 2,5 juta pasien.

Sementara itu, dengan adanya intervensi dan penutupan sekolah dan bisnis, maka orang yang butuh dirawat bisa mencapai 1,2 juta.

Lalu, jika dilakukan intervensi tertinggi seperti karantina wilayah untuk membatasi pergerakan dan dengan tes massal skala luas, maka orang yang butuh perawatan intensif mencapai 600.000 pasien.

Namun, data update pasien konfirmasi positif Covid-19 di Indonesia per tanggal 3 Juli 2020 "hanya" mencapai 60.695 kasus.

Angka ini jauh dari prediksi skenario terburuk pemodelan penyebaran Covid-19 di Indonesia oleh FKM UI sebelumnya.

Baca juga: 6 Bulan Pandemi Covid-19, Virus Corona Menginfeksi 10,6 Juta Orang

Mengapa bisa begitu?

Dalam diskusi daring "Penanggulangan HIV-AIDS : Kebijakan dan Strategi di Tengah Pandemi COVID-19" yang diadakan oleh DKT Indonesia dan PP IAKMI, Ahli Epidemiologi FKM UI Pandu Riono mengungkapkan dugaannya bahwa dampak penyebaran Covid-19 yang jauh di bawah hasil pemodelannya mungkin disebabkan oleh vaksinasi atau imunisasi.

"Kenapa prediksi yang pernah saya buat tidak terjadi di Indonesia, karena salah satunya adalah kita itu negara yang mendapat imunisasi macam-macam," kata Pandu dalam diskusi daring bertajuk Penanggulangan HIV-AIDS: Kebijakan dan Strategi di Tengah Pandemi Covid-19, Jumat (3/7/2020).

Beberapa imunisasi atau vaksinasi yang diwajibkan untuk diberikan kepada anak-anak sejak bayi adalah vaksin Hepatitis B, BCG, Polio, Campak, imunisasi DPT-HB-HiB.

Sementara itu, imunisasi tambahannya seperti vaksi MR/MMR, pneumokokus (PCV), rotavirus, hepatitis A dan tifoid, varisela, influenza, Human papillomavirus (HPV), rubella, varisela dan juga japanese encephalitis (JE).

Baca juga: Harga Vaksin Corona Diperkirakan Rp 75.000 Per Orang, Kapan Siap?

"Jadi, tubuh kita sudah dicekoki atau sudah dilatih untuk membuat pertahanan. Sehingga, kalau ada infeksi walaupun Covid-19 tubuh kita itu terlatih lebih siap. Ini teori saya ya," kata dia.

Teori ini dibangun oleh Pandu berdasarkan pengalaman-pengalaman tentang kenapa dampak pandemi Covid-19 di Indonesia itu tidak sedahsyat yang dibayangkannya, dari pengalaman-pengalaman negara lain dalam situasi pandemi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com