Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang gemar melihat bintang dan menekuri Bumi.

Komet Atlas, Lintang Kemukus yang Telah Betas di Tengah Pandemi Corona

Kompas.com - 24/04/2020, 13:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Analisis lebih lanjut mengindikasikan komet Atlas sendiri pun dahulunya adalah pecahan dari komet purba yang ukurannya lebih besar dan juga telah betas.

Pada bulan Desember 1844, penduduk Bumi terpukau dengan ketampakan sebuah komet terang berekor cukup panjang. Panorama itu bertahan hingga dua bulan lamanya. Kini kita tahu orbit komet terang 1844 itu relatif serupa dengan komet Atlas, menunjukkan bahwa keduanya adalah pecahan dari komet purba yang lebih besar.

Betasnya komet Atlas menambah kecepatan orbital komet menjadi 36 km/jam lebih cepat.

Meski penambahan ini sekilas kecil, dalam jangka panjang memiliki dampak yang besar. Kelak setelah melintasi perihelionnya, gravitasi Matahari yang demikian kuat akan mengubah orbit masing–masing pecahan demikian rupa sehingga hampir seluruhnya bakal dihentakkan keluar dari lingkungan tata surya kita.

Hanya satu pecahan saja yang dibiarkan tetap tinggal di tata surya kita, meski harus bersalin rupa menjadi komet berperiode pendek dengan periode 99 tahun.

Tak Berbahaya

Betasnya komet Atlas tentu menjadi kabar buruk bagi kalangan apokaliptik. Sebab komet Atlas ini takkan pernah bakal bisa disaksikan dengan mata telanjang. Membuat upaya menghubungkannya dengan peristiwa bencana di Bumi, khususnya pandemi Covid–19, menjadi berantakan.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, komet memang dipandang sebagai benda langit bernuansa buruk. Agen kematian dan kehancuran.

Salah satu biang keladinya adalah Aristoteles. Filsuf besar era Yunani Kuno itu berpandangan komet atau bintang berekor adalah agen pembawa kabar bencana. Kata–katanya berpengaruh hingga berabad–abad kemudian, bahkan hingga di abad ke–20.

Ketampakan komet Halley dihubung–hubungkan dengan peristiwa tragis terbunuhnya Julius Caesar di era Romawi, juga hancurnya penduduk asli Inggris dalam pertempuran Hasting tahun 1066 dan meletusnya Perang Dunia 1 di abad ke–20.

Di Indonesia, ketampakan komet Halley yang mengesankan pada tahun 1910 menggidikkan banyak orang seiring berkecamuknya wabah pes yang merenggut puluhan ribu jiwa penduduk Jawa.

Ketampakan lintang kemukus sangat terang lainnya, yakni komet Ikeya–Seki, pada dini hari di awal tahun 1966 dikait–kaitkan dengan pertanda buruk lainnya : transisi Orde Lama ke Orde Baru yang penuh berkuah darah.

Bagi astronomi, semua itu hanya takhayul. Komet telah lama terbukti sebagai benda langit biasa yang terikat pada Hukum Kepler 3.

Astronomi modern bahkan telah bekembang sedemikian rupa sehingga tak hanya sekedar mengamati komet dari jauh. Pengamatan dari jarak dekat dengan menggunakan wahana antariksa tak berawak telah dilakukan sejak 1986 kala komet Halley kembali nampak dalam perjalanannya menuju perihelionnya.

Bahkan terdapat wahana antariksa yang mengeksplorasi komet dengan mendarat di parasnya, seperti Rosetta (dan pendarat Philae) di komet Churyumov–Gerasimenko.

Astronomi modern juga telah berkemampuan menemukan ratusan komet baru per tahun melalui aktivitas sistem–sistem penyigi langit. Meski sangat jarang diantaranya yang cukup terang sehingga mampu dilihat khayalak ramai tanpa harus menggunakan teleskop.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com