Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang gemar melihat bintang dan menekuri Bumi.

Komet Atlas, Lintang Kemukus yang Telah Betas di Tengah Pandemi Corona

Kompas.com - 24/04/2020, 13:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBUAH komet yang seharusnya cukup terang hadir di langit malam kita saat ini. Banyak yang berprasangka terhadapnya. Mengingat kesan yang ditorehkan ketampakan bintang berekor dalam simpul–simpul benak manusia sepanjang sejarah peradaban.

Apalagi dunia sedang bergelut menghadapi pandemi penyakit Covid–19 dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kalangan apokaliptik segera menganggapnya sebagai sebuah pertanda dari langit, peneguhan terjadinya bencana. Apa lacur, bintang berekor tersebut kini meredup dan kian redup setelah betas. Pecah menjadi empat kepingan besar yang masing–masing melaju sendiri–sendiri di jalurnya.

Pembetasan itu masih terus berlangsung dan bakal membuat komet kian hancur lebur laksana adonan yang lebih lembut dari bubur.

Komet Atlas (C/2019 Y4) pertama kali menampakkan wajahnya ke umat manusia pada 28 Desember 2019, di waktu yang sama dengan mulai merebaknya virus SARS–CoV–2 penyebab penyakit Covid–19 di propinsi Hubei (Republik Rakyat Tiongkok).

Kesamaan ini, yang sesungguhnya hanyalah kebetulan, menjadikan sang komet sering kali dikait–kaitkan dengan wabah penyakit itu.

Adalah sistem penyigian langit robotik ATLAS (Asteroid Terestrial–impact Last Alert System) dengan senjata teleskop pemantul 50 cm di Observatorium Gunung Mauna Loa, Hawaii (Amerika Serikat) yang pertama kali mendeteksi komet ini.

Kala menjalankan rutinitasnya melacak jejak asteroid–asteroid dekat–Bumi berukuran kecil yang belum pernah dikenal, mata tajam ATLAS menangkap bintik cahaya baur redup khas komet di arah gugusan bintang Beruang Besar (Ursa Mayor).

Bintik itu adalah komet yang tak dikenal sebelumnya. Ia demikian redup dengan magnitudo +19,6 sehingga 175 kali lebih redup ketimbang planet–kerdil Pluto.

Mengikuti konvensi astronomi, komet tak dikenal ini selanjutnya dinamakan komet Atlas sesuai dengan nama sistem yang pertama kali mendeteksinya. Namun berdasarkan konvensi IAU, komet baru ini mendapatkan kode C/2019 Y4. Sehingga lengkapnya menyandang nama Komet Atlas (C/2019 Y4).

Komet Atlas beredar mengelilingi Matahari dalam sebentuk orbit sangat lonjong. Kelonjongan (eksentrisitas) orbitnya 0,999 atau hampir mendekati bentuk orbit parabola.

Perihelionnya (titik terdekat ke Matahari) lebih dekat ke Matahari ketimbang orbit Merkurius, yakni hanya 0,253 SA (satuan astronomi). Sementara aphelionnya melambung sejauh 534,247 SA, menjangkau kawasan Sednoid yang adalah sisi dalam awan Opik–Oort.

Periode orbitalnya 4.400 tahun, sehingga komet ini menghabiskan sebagian besar waktunya melata menyusuri sisi luar tata surya kita yang terkenal dingin membekukan.

Dengan karakternya sebagai komet berperiode sangat panjang dan memiliki inti komet cukup besar (diameter 10 km), sempat tebersit harapan komet Atlas akan menjadi komet yang cukup terang kala berada di sekitar perihelionnya.

Harapan itu seakan mendekati nyata manakala sepanjang Februari hingga Maret 2020 komet mengalami peningkatan kecerlangan nan dramatis. Dari semula bermagnitudo +17 yang hanya bisa dilihat dengan teleskop–teleskop besar menjadi magnitudo +8 yang mulai bisa dilihat dengan teleskop kecil maupun binokular.

Pemodelan kurva cahayanya menunjukkan komet Atlas akan cukup terang dan mudah dilihat manusia. Bahkan di akhir Mei 2020 yakni kala tiba di perihelionnya, komet Atlas akan berbinar sangat terang dengan magnitudo –5 berdasarkan pemodelan matematik Jet Propulsion Laboratory NASA.

Pada kecerlangan tersebut, komet Atlas akan lebih terang ketimbang Venus dan mudah dilihat meski di siang bolong sekalipun.

Namun harapan itu lenyap begitu saja sejak 2 April 2020, kala inti komet terdeteksi mulai betas. Ia terpecah–belah menjadi sedikitnya 4 pecahan besar. Masing–masing pecahan terpisah dengan jarak 3.500 hingga 5.500 kilometer.

Para astronom di seluruh penjuru mengonfirmasi terjadinya pemecahan tersebut, yang nampak jelas pada perubahan bentuk coma (kepala komet).

Sejak saat itu komet mulai meredup kembali, tak lagi berbinar. Kini komet Atlas memiliki magnitudo +10, enam kali lebih redup ketimbang situasi awal April.

Pemodelan kurva cahayanya pun berubah dramatis, kala melintasi titik perihelionnya pada 31 Mei 2020 kelak komet hanya menggecewakan dengan magnitudo +11. Butuh teleskop berukuran sedang dan teknik pemotretan (astrofotografi) yang bagus untuk bisa menikmatinya.

Betasnya komet Atlas bukanlah peristiwa mengejutkan. Juga bukan peristiwa langka. Sepanjang sejarah astronomi, banyak komet teramati mengalami hal itu.

Komet atau bintang berekor atau lintang kemukus adalah benda langit yang berupa kumpulan debu dan kerikil bercampur es membentuk gumpalan berpori mirip batu apung berkerapatan rendah. Seringkali kerapatannya lebih kecil dari air, sehingga secara teknis bisa mengapung di lautan asal diletakkan dengan hati–hati.

Komet Atlas menghabiskan sebagian besar waktunya di tepian tata surya, sehingga suhu dingin membuatnya strukturnya tetap kaku.

Namun manakala ia beringsut mendekati Matahari, panas menyebabkan komponen es–nya mulai menyublim terutama yang berada di kerak dan sub–keraknya. Sublimasi membentuk cebakan–cebakan gas yang umumnya mengandung uap air, karbonmonoksida dan sianogen dengan tekanan terus meningkat.

Pada satu titik tekanannya melampaui kekuatan struktur penyungkupnya sehingga mulai terjadi perekahan.

Gas–gas itu pun lepas ke angkasa lewat rekahan–rekahan dalam kejadian mirip letusan gunung berapi. Semburan gas menyeret partikel–partikel debu, pasir dan kerikil ke angkasa dan membentuk struktur ekor komet yang persis berimpit dengan lintasan komet.

Manakala semburan–semburan ini mulai terjadi, struktur komet bertambah rapuh seiring hilangnya salah satu komponen penyokongnya.

Semburan gas–gas yang kontinu juga menyebabkan rotasi komet berubah menjadi lebih cepat. Kombinasi keduanya menjadikan komet lebih beresiko mengalami betas.

Mata tajam teleskop landas–antariksa Hubble yang menatap komet Atlas pada 19 April 2020 mengonfirmasi betasnya komet tersebut. Selain empat pecahan berukuran besar, Hubble juga mendeteksi belasan pecahan berukuran kecil–kecil yang terus bergerak ke arah yang sama.

Analisis lebih lanjut mengindikasikan komet Atlas sendiri pun dahulunya adalah pecahan dari komet purba yang ukurannya lebih besar dan juga telah betas.

Pada bulan Desember 1844, penduduk Bumi terpukau dengan ketampakan sebuah komet terang berekor cukup panjang. Panorama itu bertahan hingga dua bulan lamanya. Kini kita tahu orbit komet terang 1844 itu relatif serupa dengan komet Atlas, menunjukkan bahwa keduanya adalah pecahan dari komet purba yang lebih besar.

Betasnya komet Atlas menambah kecepatan orbital komet menjadi 36 km/jam lebih cepat.

Meski penambahan ini sekilas kecil, dalam jangka panjang memiliki dampak yang besar. Kelak setelah melintasi perihelionnya, gravitasi Matahari yang demikian kuat akan mengubah orbit masing–masing pecahan demikian rupa sehingga hampir seluruhnya bakal dihentakkan keluar dari lingkungan tata surya kita.

Hanya satu pecahan saja yang dibiarkan tetap tinggal di tata surya kita, meski harus bersalin rupa menjadi komet berperiode pendek dengan periode 99 tahun.

Tak Berbahaya

Betasnya komet Atlas tentu menjadi kabar buruk bagi kalangan apokaliptik. Sebab komet Atlas ini takkan pernah bakal bisa disaksikan dengan mata telanjang. Membuat upaya menghubungkannya dengan peristiwa bencana di Bumi, khususnya pandemi Covid–19, menjadi berantakan.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, komet memang dipandang sebagai benda langit bernuansa buruk. Agen kematian dan kehancuran.

Salah satu biang keladinya adalah Aristoteles. Filsuf besar era Yunani Kuno itu berpandangan komet atau bintang berekor adalah agen pembawa kabar bencana. Kata–katanya berpengaruh hingga berabad–abad kemudian, bahkan hingga di abad ke–20.

Ketampakan komet Halley dihubung–hubungkan dengan peristiwa tragis terbunuhnya Julius Caesar di era Romawi, juga hancurnya penduduk asli Inggris dalam pertempuran Hasting tahun 1066 dan meletusnya Perang Dunia 1 di abad ke–20.

Di Indonesia, ketampakan komet Halley yang mengesankan pada tahun 1910 menggidikkan banyak orang seiring berkecamuknya wabah pes yang merenggut puluhan ribu jiwa penduduk Jawa.

Ketampakan lintang kemukus sangat terang lainnya, yakni komet Ikeya–Seki, pada dini hari di awal tahun 1966 dikait–kaitkan dengan pertanda buruk lainnya : transisi Orde Lama ke Orde Baru yang penuh berkuah darah.

Bagi astronomi, semua itu hanya takhayul. Komet telah lama terbukti sebagai benda langit biasa yang terikat pada Hukum Kepler 3.

Astronomi modern bahkan telah bekembang sedemikian rupa sehingga tak hanya sekedar mengamati komet dari jauh. Pengamatan dari jarak dekat dengan menggunakan wahana antariksa tak berawak telah dilakukan sejak 1986 kala komet Halley kembali nampak dalam perjalanannya menuju perihelionnya.

Bahkan terdapat wahana antariksa yang mengeksplorasi komet dengan mendarat di parasnya, seperti Rosetta (dan pendarat Philae) di komet Churyumov–Gerasimenko.

Astronomi modern juga telah berkemampuan menemukan ratusan komet baru per tahun melalui aktivitas sistem–sistem penyigi langit. Meski sangat jarang diantaranya yang cukup terang sehingga mampu dilihat khayalak ramai tanpa harus menggunakan teleskop.

Satu–satunya potensi bahaya yang timbul dari sebuah komet adalah bilamana lintasannya tepat berpotongan dengan orbit Bumi dan pada saat yang sama baik komet maupun Bumi sedang berada di titik potong tersebut.

Tumbukan benda langit tak terelakkan, dengan dampak yang tak terperi. Sebuah benda langit berdiameter 10 km yang melaju cepat ke Bumi akan dengan mudah melepaskan energi luar biasa besar dan membedaki segenap penjuru dengan material produk tumbukan.

Termasuk menciptakan tabir surya alamiah berbahan aerosol sulfat yang memblokir cahaya Matahari demikian rupa sehingga paras Bumi pun menjadi remang–remang. Dengan hanya 1 parsen saja cahaya Matahari yang tiba di Bumi akibat pemblokiran tersebut, maka fotosintesis pun akan berhenti. Matinya tumbuh–tumbuhan akan menjalar ke matinya hewan–hewan secara perlahan dan pada gilirannya pun manusia.

Skenario mengerikan inilah yang terjadi pada 65 juta tahun silam, yang membuat kawanan dinosaurus beserta 75 % makhluk hidup sezaman punah. Tersapu bersih dari panggung kehidupan.

Kabar baiknya, pecahan–pecahan komet Atlas masih berjarak lebih dari 100 juta kilometer kala melintas di titik yang terdekat dengan Bumi kita. Itu setara dengan jarak orbit Bumi ke orbit Merkurius. Sangat jauh. Maka tak ada yang perlu dikhawatirkan, karena potensinya untuk bertumbukan dengan Bumi adalah nol.

Kabar baik lainnya, astronomi modern sedang mulai menguji coba metode untuk memusnahkan atau mendefleksikan benda langit yang berpotensi mengancam Bumi seperti halnya komet. Dengan harapan agar manusia masa depan tak lagi mengalami nasib serupa dinosaurus.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com