Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang gemar melihat bintang dan menekuri Bumi.

Komet Atlas, Lintang Kemukus yang Telah Betas di Tengah Pandemi Corona

Kompas.com - 24/04/2020, 13:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pemodelan kurva cahayanya menunjukkan komet Atlas akan cukup terang dan mudah dilihat manusia. Bahkan di akhir Mei 2020 yakni kala tiba di perihelionnya, komet Atlas akan berbinar sangat terang dengan magnitudo –5 berdasarkan pemodelan matematik Jet Propulsion Laboratory NASA.

Pada kecerlangan tersebut, komet Atlas akan lebih terang ketimbang Venus dan mudah dilihat meski di siang bolong sekalipun.

Namun harapan itu lenyap begitu saja sejak 2 April 2020, kala inti komet terdeteksi mulai betas. Ia terpecah–belah menjadi sedikitnya 4 pecahan besar. Masing–masing pecahan terpisah dengan jarak 3.500 hingga 5.500 kilometer.

Para astronom di seluruh penjuru mengonfirmasi terjadinya pemecahan tersebut, yang nampak jelas pada perubahan bentuk coma (kepala komet).

Sejak saat itu komet mulai meredup kembali, tak lagi berbinar. Kini komet Atlas memiliki magnitudo +10, enam kali lebih redup ketimbang situasi awal April.

Pemodelan kurva cahayanya pun berubah dramatis, kala melintasi titik perihelionnya pada 31 Mei 2020 kelak komet hanya menggecewakan dengan magnitudo +11. Butuh teleskop berukuran sedang dan teknik pemotretan (astrofotografi) yang bagus untuk bisa menikmatinya.

Betasnya komet Atlas bukanlah peristiwa mengejutkan. Juga bukan peristiwa langka. Sepanjang sejarah astronomi, banyak komet teramati mengalami hal itu.

Komet atau bintang berekor atau lintang kemukus adalah benda langit yang berupa kumpulan debu dan kerikil bercampur es membentuk gumpalan berpori mirip batu apung berkerapatan rendah. Seringkali kerapatannya lebih kecil dari air, sehingga secara teknis bisa mengapung di lautan asal diletakkan dengan hati–hati.

Komet Atlas menghabiskan sebagian besar waktunya di tepian tata surya, sehingga suhu dingin membuatnya strukturnya tetap kaku.

Namun manakala ia beringsut mendekati Matahari, panas menyebabkan komponen es–nya mulai menyublim terutama yang berada di kerak dan sub–keraknya. Sublimasi membentuk cebakan–cebakan gas yang umumnya mengandung uap air, karbonmonoksida dan sianogen dengan tekanan terus meningkat.

Pada satu titik tekanannya melampaui kekuatan struktur penyungkupnya sehingga mulai terjadi perekahan.

Gas–gas itu pun lepas ke angkasa lewat rekahan–rekahan dalam kejadian mirip letusan gunung berapi. Semburan gas menyeret partikel–partikel debu, pasir dan kerikil ke angkasa dan membentuk struktur ekor komet yang persis berimpit dengan lintasan komet.

Manakala semburan–semburan ini mulai terjadi, struktur komet bertambah rapuh seiring hilangnya salah satu komponen penyokongnya.

Semburan gas–gas yang kontinu juga menyebabkan rotasi komet berubah menjadi lebih cepat. Kombinasi keduanya menjadikan komet lebih beresiko mengalami betas.

Mata tajam teleskop landas–antariksa Hubble yang menatap komet Atlas pada 19 April 2020 mengonfirmasi betasnya komet tersebut. Selain empat pecahan berukuran besar, Hubble juga mendeteksi belasan pecahan berukuran kecil–kecil yang terus bergerak ke arah yang sama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com