Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pulau Kaledupa Wakatobi Jaga Mangrove Alami dengan Kearifan Lokal

Kompas.com - 12/03/2020, 17:32 WIB
Ellyvon Pranita,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Di saat banyak komunitas gencar melakukan konservasi mangrove, ternyata Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara telah memiliki bentang alam mangrove alami yang terus dijaga dengan kearifan lokal masyarakatnya.

Wakatobi merupakan kawasan Taman Nasional sekaligus kawasan pemerintahan yang memiliki penduduk yang cukup padat.

Pulau Kaledupa adalah salah satu pulau yang ada di taman nasional itu, selain Pulau Wangi-wangi, Pulau Tomia dan Pulau Binongko.

Pulau Kaledupa terdiri dari dua kecamatan di dalamnya, yaitu kecamatan Kaledupa (45,50 km persegi) dan Kaledupa Selatan (58,50 km persegi). Kedua kecamatan ini menjadi wilayah yang paling kecil diantara kecamatan lainnya.

Baca juga: Lindungi Mangrove, MERA Ingin Pulihkan Ekosistem Pesisir Jakarta

Meskipun menjadi kawasan yang paling kecil wilayahnya, akan tetapi kekayaan mangrove alami di pulau ini menjadi harta alam nusantara yang masih terjaga hingga saat ini.

Berdasarkan penuturan Ketua Forum Kaledupa Toudani, La Beloro, mengatakan bentang alam mangrove telah terjaga jauh sebelum Wakatobi ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional, bahkan sebelum Wakatobi resmi masuk dalam daftar wilayah negara Indonesia.

Pulau Kaledupa dikelilingi mangrove yang besar dan puluhan meter tingginya. Lantas, bagaimana masyarakat menjaga mangrove?

Masyarakat setempat percaya bahwa mangrove adalah pelindung dari tempat yang mereka tinggali, terutama pelindung dari badai atau hanya sekadar angin topan lautan yang bergejolak dan biota seperti kepiting dan kerang.

Baca juga: Terinspirasi Mangrove, Alat ini Mungkin Bisa Jadi Solusi Hadapi Banjir

"Mangrove dari dulu tidak bisa diganggu. Secara sadar masyarakat di sini karena tidak bisa diambil (mangrove), jadi terjaga. Tanaman yang menurut orang tua adalah tanaman penolong," kata Nusi sapaan akrab Mursianti, Anggota Forkani, Sabtu (29/2/2020).

Sebagai pelindung kawasan dari angin topan, Nusi mengatakan dulu Kaledupa sering dilanda angin topan, dan mangrove adalah pelindung dari angin topan itu. Orang setempat menyebutnya Jaga nu Fande.

Ternyata saat ini, dengan kemajuan teknologi telah membuktikan adanya fungsi dan manfaat bakau atau mangrove yang sangat baik bagi pesisir dan itu sangat diperlukan.

Masyarakat di Kaledupa itu sendiri tidak pernah menebang atau hanya sekadar merusak mangrove di sana, meskipun hanya untuk mengambil pohonnya dijadikan kayu bakar.

Meskipun diakui masyarakat, kayu bakar dari pohon mangrove lebih mudah dinyalakan meskipun kondisinya agak basah, dan juga lebih wangi daripada kayu dari pohon hutan biasanya.

"Yang biasa ambil pohon ini (mangrove) untuk kayu bakar itu orang laut (suku bajo), kalo orang darat tidak," tutur dia.

Masyarakat hanya memanfaatkan mangrove untuk mencari ikan ataupun, kepiting mangrove saat air sedang surut di sana.

Baca juga: Kisah Makhluk Halus dan Usaha Warga Desa Torosiaje Menjaga Mangrove

Tidak hanya itu, masyarakat juga masih percaya dengan yang namanya 'pamali'. Beberapa kawasan atau wilayah mangrove di Pulau Kaledupa bahkan tidak boleh sama sekali masuk ke sana.

Selain mereka masih mempercayai kawasan pamali merupakan kawasan yang tidak boleh dijamah oleh leluhur, alam juga tidak mengizinkan.

"Kawasan pamali itu yang kami jaga betul untuk tidak masuk ke sana," ujar dia.

Forkani dibantu dengan lembaga konservasi telah mengumpulkan informasi bagaimana data dan ekosistem yang ada di wilayah itu bisa dijaga dan dimanfaatkan tanpa merusaknya.

Mereka berusaha menghubungkan pengetahuan, teknologi, akademisi dan juga pendekatan ilmiah tapi dengan potensi adat leluhur.

Penyusunan program di Kaledupan juga lebih banyak kepada pendekatan konsep konservasi untuk memanfaatkan dan mempertahankan kearifan lokal dalam pembangunan dan perkembangan di wilayah itu.

Baca juga: Kisah Mangrove Jakarta dan Burungnya yang Nyaris Tinggal Cerita

Potensi ekowisata mangrove

Dengan kekayaan mangrove yang masih sangat terjaga itu, pemerintah sendiri sudah memiliki pulau Kaledupa menjadi kawasan tujuan wisata mangrove di Wakatobi.

Masyarakat setempat awalnya tidak mengetahui apa yang dimaksudkan dengan kawasan ekowisata mangrove tersebut.

"Meskipun ini potensi besar, tapi kami minta pemerintah juga menselaraskan dengan kearifan lokal di sini," jelasnya.

Pembangunan infrastruktur memang diperlukan jika ingin menjadikan kawasan mangrove di Kaledupa sebagai ekowisata unggulan di Wakatobi selain taman lautnya.

Namun, Nusi menegaskan pemerintah seharusnya juga membangun infrastruktur yang tidak merusak alam itu sendiri.

Jembatan dibangun untuk pengunjung dapat menelusuri alam mangrove dengan berjalan kaki menyisir hutan mangrove di Kaledupa. Tetapi, sempat terjadi kesalahpahaman karena diawal pembangunan jembatan itu menggunakan kaki beton dan dicor.

Pasalnya, justru kaki beton dan cor itu sendiri akan mengganggu ekosistem di dasar tanaman mangrove.

Baca juga: Kaya Karbon, Mangrove Papua Barat Bisa Jawab Masalah Besar Dunia

Kata Nusi, sejak ada penyambung lidah agar regulasi pemerintah dan kearifan lokal terjaga. Setidaknya tujuan pemerintah menjadikan kawasan ekowisata mangrove bisa berjalan, tetapi alam di Kaledupa juga tidak rusak karena pembangunan infrastruktur tersebut.

"Kami di bantu TNC, buat jembatan itu dari kayu bukan kaki beton," ujar dia.

The Nature Conservacy (TNC) saat ini bertransisi menjadi Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) telah membantu masyarakat memahami potensi alam yang dimiliki wilayahnya dan pemanfaatan hasil alam tersebut untuk kesejahteraan masyarakat tanpa meninggalkan kearifan lokal.

Saat ini, meskipun saat sampai di dermaga sudah ada jembatan panjang yang dapat disusuri untuk melihat mangrove.

Baca juga: Kisah Burung Migran dan Mangrove dalam Kacamata Anak-anak

Masyarakat justru sedang berfokus dengan mengelola ekowisata mangrove di Desa Tampara, dengan memanfaatkan perkebunan buah dan sayur masyarakat sebagai bagian dari paket yang akan mereka berikan kepada pengunjung setelah menyusuri mangrove di sana.

Untuk diketahui, sejauh ini jenis mangrove yang berhasil diidentifikasi di Desa Tampara setidaknya ada lima yaitu sebagai berikut.

  1. Kau Tolola (Xylocarpus granatum)
  2. Selo (Bruguiera gimnorrhiza)
  3. Tongke (Rhizophora apiculuta)
  4. Tongke (Rhizophora mucronata)
  5. Tongke (Rhizophora stylosa).

Sementara itu, mengenaik endemik satwa di kawasan mangrove Pulau Kaledupa masih dalam penelitian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com