Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Echinococcosis, Penyakit Endemik yang Terlupakan di Indonesia

Oleh: Anis Nur Widayati

ECHINOCOCCOSIS atau sering disebut dengan hydatidosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi stadium dewasa atau larva dari cacing pita/ Cestoda dari Genus Echinococcus, yang panjang cacing dewasanya hanya beberapa milimeter.

Jenis cacing yang diketahui terutama sebagai penyebab penyakit tersebut adalah Echinococcus granulosus, E. multilocularis, dan E. ortleppi.

Infeksi cacing tersebut akan menyebabkan gejala yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu cystic echinococcosis (CE) dan alveolar echinococcosis (AE). Kedua gejala tersebut sama – sama menimbulkan keparahan pada penderita.

Penyakit tersebut memiliki tingkat kematian yang tinggi dan prognosis yang buruk jika tidak ditangani dengan benar.

Penyakit ini sering kali diawali tanpa gejala dan parasit penyebabnya berdiam dalam tubuh penderita selama bertahun-tahun. Gejala dan tanda-tanda yang diperlihatkan tergantung pada lokasi dan ukuran kista.

Ekinokokosis alveolar biasanya diawali dengan infeksi di hati/liver, namun bisa menyebar ke bagian-bagian lain tubuh, misalnya paru-paru atau otak.

Ketika livernya terserang cacing ini, penderita akan mengalami rasa sakit di bagian perut, penurunan berat badan, dan warna kulit menjadi kuning. Sedangkan ketika penyakit ini menyerang paru-paru bisa menyebabkan rasa sakit di dada, kesulitan bernafas dan batuk

Wilayah Asia Tenggara sebelumnya ditengarai bukan merupakan daerah endemik penyakit tersebut.

Namun demikian, beberapa kasus lokal/ indigenous echinoccus pada manusia dan hewan justru dilaporkan di beberapa negara di Kawasan ini, yaitu Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Cambodia, Laos, dan Indonesia, meskipun dengan prevalensi yang sangat rendah.

Infeksi penyakit tersebut diketahui terkait dengan anjing dan hewan ternak yang kontak dekat dengan anjing.

Thailand merupakan negara yang dilaporkan dengan prevalensi echinococcosis paling tinggi pada manusia, diikuti dengan kejadian yang sangat rendah di Malaysia, Vietnam, Filipina, Kamboja, Laos, dan Indonesia.

Akan tetapi, sangat sulit untuk memperkirakan jumlah sebenarnya kasus echinococcosis pada manusia karena periode tanpa gejala yang yang lama, yang bisa mencapai hingga lebih dari 5 tahun.

Berdasarkan hal tersebut, penyakit ini mungkin lebih banyak terjadi namun, penyakit tersebut kurang terdiagnosis dan tidak dilaporkan.

Bagaimana dengan penyakit ini di Indonesia? Ternyata riwayat pelaporan penyakit ini sudah ditemukan sejak sangat lama.

Berdasarkan publikasi berjudul Echonococcosis: Past and Present Situation in Southeast Asia yang disusun oleh Triwibowo Ambar Garjito dkk, dalam bab buku Overview on Echinococcosis yang diterbitkan oleh Intechopen pada tahun 2019 menyebutkan bahwa penyakit ini pertama kali dilaporkan di Indonesia pada penduduk non lokal (Eropa) pada tahun 1885.

Kasus berikutnya ditemukan pada orang Eropa dan India tahun 1920.

Kasus pada penduduk lokal ditemukan pertama kali pada tahun 1988 di Sulawesi Selatan pada wanita yang memiliki riwayat kontak dengan anjing. Kasus lain juga ditemukan pada tahun yang sama di Jawa.

Kasus echinococcosis pada manusia baru terlaporkan lagi pada penduduk lokal di Palu, Sulawesi Tengah tahun 1997. Penderita tersebut juga memiliki riwayat tinggal di daerah yang memelihara banyak anjing, termasuk di rumahnya.

Kasus echinococcosis pada hewan dilaporkan ditemukan pada kambing, babi, kerbau, dan kera dari Sumatra, Madura, Bali dan Sulawesi.

Sebuah laporan di Bogor (Buitenzorg) tahun 1906 menunjukkan ditemukan limpa yang terinfeksi hydatidosis. Laporan infeksi kista hydatid berikutnya ditemukan dari paru – paru dan hati ternak di Sumatra Utara tahun 1907.

Pada saat itu, laporan infeksi kista hydatid hanya dilaporkan pada ternak non lokal yang diimpor dari Australia.

Kasus pada ternak lokal pertama kali dilaporkan di Bali pada Tahun 1929. Saat itu diduga anjing dari Bali merupakan reservoir cacing dewasa E.granulosus, namun tidak dilakukan penelitian sehingga hal tersebut tidak dapat dibuktikan.

Kasus berikutnya ditemukan pada paru-paru kambing dan kerbau pada tahun 1940, pada kera (Macaca tonkeana) di Sulawesi yang tiba – tiba ditemukan mati pada tahun 1947.

Pada Tahun 1972, ditemukan kasus pada anjing peliharaan di Lindu, Sulawesi Tengah, kemudian dilaporkan juga pada Tahun 1973. Saat itu ditemukan telur cacing E.granulosus dari tinja anjing.

Selain itu juga ditemukan cacing E.granulossus dewasa dari anjing yang telah mati. Setelah kasus tersebut, banyak anjing yang diperiksa apakah mengandung kista hydatid atau tidak.

Setelah banyak rangkaian laporan kasus yang sudah dilaporkan sejak sebelum negara ini merdeka, justru muncul pertanyaan, bagaimana dengan kasus Echinococcosis di Indonesia saat ini?

Namun demikian, kasus kista hydatid dan cacing E.granulosis tidak pernah ditemukan sampai saat ini.

Apa yang terjadi dengan penyakit ini? Apakah memang betul sudah tidak ada? Atau terlupa sehingga tidak diperiksa?

Hal yang dapat dikemukakan adalah pentingnya diagnosis untuk mengetahui keberadaan penyakit ini.

Berbagai pendekatan dan peralatan medis untuk mendiagnosis penyakit ini sudah banyak tersedia saat ini.

Sebagai contoh adalah dengan pemeriksaan klinis, radiologi, mikroskopis, juga pendekatan berbasis molekuler. Diagnosis kista hidatidosa harus dimasukkan sebagai bagian dari diagnosis banding semua lesi kistik untuk mendeteksi penyakit ini.

Selain itu, juga diperlukan upaya pemantauan yaitu dengan survei serologis untuk mengidentifikasi sebaran penyakit ini.

Surveilans penyakit pada anjing dan ternak peliharaan juga diperlukan sebagai prasyarat untuk memahami status epidemiologi echinococcosis di suatu wilayah.

(Anis Nur Widayati, peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, Organisasi Riset Kesehatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), saat ini sedang mengambil program S3 Fakultas Biologi UGM)

https://www.kompas.com/sains/read/2023/10/31/095345023/echinococcosis-penyakit-endemik-yang-terlupakan-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke