Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Metana, Si Gas Rumah Kaca yang Ternyata Bisa Jadi Energi Terbarukan

KOMPAS.com - Pada era ini, pergerakan dan pengusahaan transisi energi menjadi energi bersih cukup ramai dibicarakan di berbagai belahan dunia.

Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan berbagai target dalam transisi energi seperti bauran energi terbarukan sebanyak 23 persen pada tahun 2025. Terdapat 8 pilar yang menopang transisi energi dan salah satunya adalah bioenergi. 

Dikutip dari Indonesia Energy Outlook 2022 yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Republik Indonesia, konsumsi bioenergi meliputi di antaranya biogas dan biodiesel sebagai bahan bakar bio atau biofuel, dengan salah satu produknya berupa gas metana (CH4).

Saat ini, gas metana semakin mudah diproduksi dari biomassa limbah dan mulai digunakan sebagai bahan bakar memasak sehingga menggantikan gas LPG.

Melimpahnya emisi gas metana dari timbunan sampah

Akan tetapi, metana diketahui pula merupakan salah satu gas beracun yang dihasilkan oleh penimbunan sampah dan termasuk ke dalam salah satu gas rumah kaca.

Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Kalimantan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia, dalam buku Kontribusi Sampah Terhadap Pemanasan Global tahun 2016, menyebutkan bahwa setiap 1 ton sampah dapat menghasilkan setidaknya 50 kg gas metana yang dilepaskan ke atmosfer bumi.

Lantas, bagaimana sebenarnya bahaya dan manfaat gas metana?

Apa itu gas metana dan apa bahayanya?

Dilansir dari United States National Center of Biotechnology Information, pada dasarnya metana merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau yang mudah terbakar memiliki sifat beracun bagi makhluk hidup aerob karena dapat menghambat penyerapan oksigen sehingga menyebabkan sesak napas.

Metana atau gas CH4 merupakan salah satu jenis gas rumah kaca karena dapat menjebak panas di atmosfer bumi. Namun, di lain hal, metana juga termasuk ke dalam biogas sebagai salah satu bahan bakar bio.

Bahan bakar bio sendiri didefinisikan oleh Nancy E. Carpenter, seorang kimiawan pada bidang energi berkelanjutan, dalam Chemistry of Sustainable Energy tahun 2014, sebagai bahan bakar yang dihasilkan oleh biomassa atau segala sesuatu yang berasal dari makhluk hidup sebagai sumber energinya.

Biofuel atau bahan bakar bio dapat dikategorikan berdasarkan perkembangan generasinya ataupun sifat fisika dan kimia bahan bakar yang dihasilkan.

Umumnya, bentuk, densitas dan jumlah rantai karbon menjadi sifat yang diperhatikan pada kategori bahan bakar bio. Salah satu bahan bakar bio yang memilik jumlah rantai karbon sedikit gas metana.

Bagaimana metana dapat terbentuk?

Mohammad Toha dalam jurnal Case Studies in Chemical and Environmental Engineering tahun 2023, menyebutkan metana dapat terbentuk dari timbunan sampah akibat pencernaan mikroba metanogen pada keadaan anaerob atau miskin oksigen yang mendegradasi material sampah yang memiliki unsur hidrokarbon menjadi metana.

Hal ini membuat TPA atau tempat pembuangan akhir menjadi salah satu penyumbang emisi gas metana yang cukup signifikan.

Menurut laporan United States Environmental Protection Agency (US EPA) tahun 2021, setidaknya 14 persen gas metana di Amerika Serikat diemisikan oleh timbunan sampah di tempat pembuangan akhir/landfills.

Meskipun demikian, gas metana sejatinya dapat dialihfungsikan menjadi bahan bakar pengganti Liquified Petroleum Gas (LPG).

Selain sifatnya mudah terbakar, metana memiliki beberapa keunggulan, di antaranya emisi gas CO2 yang lebih rendah dan lebih ringan daripada udara.

Sifat ini disebabkan struktur molekulnya yang hanya memiliki 1 atom karbon sehingga cenderung lebih mudah menguap daripada LPG yang berpotensi untuk terkumpul di area rendah.

Selain itu, nilai tambah dari gas metana adalah ketersediaannya yang lebih mudah ditemui karena berasal dari limbah yang didegradasi oleh mikroba.

Dilansir dari Low Carbon Development Indonesia Bappenas, Jumat (14/10/2022), saat ini teknologi Methane Capture atau penangkapan metana sudah mulai digunakan di beberapa daerah di Indonesia untuk memanfaatkan gas metana sebagai bahan bakar bio.

Timbunan sampah dapat dikelola melalui proses pengumpulan dan degradasi oleh mikroba dalam satu penampungan atau disebut sebagai unit digester sehingga gas metana yang dihasilkan dapat terkumpulkan dan disimpan.

Nantinya, gas metana yang terkumpul dapat dialirkan sesuai kebutuhan, seperti bahan bakar memasak rumah tangga hingga pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).

Di Indonesia, setidaknya saat ini sudah terdapat 6 TPA yang memanfaatkan gas metana emisi sampah untuk kebutuhan termal / panas dan listrik. 6 TPA tersebut adalah TPA Bantar Gebang DKI Jakarta, TPA Supit Urang Malang, TPA Seboro Probolinggo, TPA Jatibarang Semarang, dan TPA Manggar Balikpapan.

Pemanfaatan ini dapat berdampak signifikan bagi transisi energi negri jika dilakukan secara masif di seluruh Indonesia.

Akan tetapi, tentu hal ini membutuhkan proses dan waktu agar bisa berjalan efektif dan optimal.

Itu karena metode Methane Capture tidak dapat dilakukan sembarangan dan membutuhkan instalasi yang sesuai agar bahaya dan risiko seperti kebocoran gas dan kebakaran dapat dihindari.

https://www.kompas.com/sains/read/2023/09/04/113300223/metana-si-gas-rumah-kaca-yang-ternyata-bisa-jadi-energi-terbarukan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke