Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tepatkah Pemerintah Membidik Pasar Baterai Litium?

PERKEMBANGAN umat manusia saat ini semakin menuju ke arah sustainability di mana semua kegiatan umat manusia harus bisa mendukung konsep berkelanjutan yang berlandaskan keselarasan dengan lingkungan.

Salah satu perubahan revolusioner adalah peralihan dari kendaraan berbasiskan minyak bumi menjadi kendaraan berbasis listrik dengan gas buang ke atmosfer mendekati nol.

Para regulator juga sudah mulai mengeluarkan kebijakan untuk mendukung penjualan mobil listrik. Sebagai contoh, Uni Eropa akan melarang penjualan mobil berbasis bensin dan solar untuk dijual mulai 2035.

Sedangkan baru-baru ini, Indonesia juga mengambil kebijakan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 38 Tahun 2023 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu dan Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai Bus Tertentu yang Ditanggung Pemerintah.

Tren perubahan ini seolah diamini oleh para produsen mobil dunia. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Volkswagen pabrikan otomotif asal Jerman. Mereka melakukan pivot pada line up mobil yang akan mereka jual kedepannya.

Kini Volkswagen tengah memfokuskan diri membangun fasilitas dan teknologi berbasis listrik. Ini dilakukan dalam rangka mengejar ketertinggalan mereka dibandingkan Tesla.

Salah satu efek dari peralihan tren teknologi tersebut adalah meningkatnya permintaan akan baterai.

Baterai menjadi elemen sangat penting dalam teknologi kendaraan berbasis listrik sebagai Sistem Penyimpanan Daya (SPD).

Kendaraan listrik akan mengubah tenaga listrik yang diperoleh ketika proses pengisian daya melalui proses elektrokimia. Tenaga listrik ini kemudian dapat digunakan kembali ketika dibutuhkan.

Suatu baterai dikatakan ideal apabila memenuhi kriteria: 1) memiliki pengisian daya yang cepat, 2) memiliki ketahanan kapasitas yang baik (tidak mudah terdegradasi), 3) memiliki kapasitas tinggi dalam ukuran kecil (densitas energi yang tinggi), 4) ramah lingkungan.

Saat ini kebutuhan baterai dunia dipenuhi oleh baterai berbasis ion litium. Pada jenis baterai ini, litium akan berperan sebagai ion aktif yang bergerak dari katoda ke anoda. Baik ketika proses pengisian daya dan ketika proses pelepasan daya.

Salah satu kelebihan intrinsik dari litium ketika digunakan sebagai baterai adalah ukuran atom yang sangat kecil.

Karakteristik ini memungkinan kapasitas baterai litium menjadi sangat besar dalam satuan volume yang sama jika dibandingkan unsur lain.

Dikemukakan oleh Ziegler (2021), perkembangan baterai litium dalam 30 tahun terakhir mengalami pertumbuhan sangat masif.

Antara tahun 1990 sampai 2019, peningkatan densitas energi baterai bersis ion litium diketahui mencapai lebih dari 250 persen (Gambar 1a).

Pada waktu sama, harga per KWh dari baterai litium telah turun sampai 1 persen (Gambar 1b). Hal tersebut membuat pertumbuhan pasar tahunan kapasitas energi (MWh) meningkat mendekati 10.000 kali seperti terlihat di Gambar 1c.

Fakta tersebut membawa pada satu kondisi di mana baterai berbasis litium menjadi sangat ideal untuk memenuhi permintaan pasar baterai dunia.

Namun di balik perkembangan tersebut, ada kekhawatiran shortage atau kelangkaan ketersediaan dari litium.

Hal ini didasarkan pada laporan Yabuuchi tahun 2014, di mana kelimpahan litium di seluruh permukaan bumi relatif lebih sedikit.

Dibandingkan dengan unsur lain yang banyak dieksploitasi oleh umat manusia, kelimpahan litium hanya sekitar 2 bpj (bagian per juta) atau ppm (part per million), seperti terlihat pada Gambar 2 di bawah.

Kekhawatiran litium tidak dapat memenuhi kebutuhan global juga dikemukakan oleh laporan ilmiah yang diterbitkan oleh Visktrom pada 2013.

Di laporan ini, dia menggunakan pendekatan tiga pemodelan matematika untuk memprediksi tren masa depan dari produksi litium global, yaitu: Logistics, Richards, dan Gompertz.

Di sana diprediksi bahwa produksi dari litium akan mengalami puncak produksi pada tahun: 2074 (Logistics), tahun 2098 (Richards), dan tahun 2078 (Gompertz) dengan kondisi eksploitasi yang normal (base).

Lalu setelahnya akan terus menurun atau dapat dikatakan kemungkinan litium akan cepat habis (Gambar 3a).

Pada publikasi ilmiah yang sama juga dilakukan perhitungan kemungkinan kondisi litium dengan ekploitasi litium paling minimum atau kemungkinan terpanjang ketersediaan litium global (Gambar 3b).

Dengan model perhitungan ini diperkirakan litium akan mengalami puncak produksi pada tahun 2074 (Logistics), tahun 2129 (Richards), dan tahun 2095 (Gompertz).

Di sini kemudian akan diikuti dengan penurunan produksi litium karena terbatasan cadangan di bumi.

Di dalam laporan yang sama juga dikatakan bahwa forecast produksi litium tidak mampu memenuhi kebutuhan dunia akan baterai litium dan berpotensi mengalami shortage. Ini karena ketersediaan litium global yang memang terbatas.

Maka timbul pertanyaan besar, apakah sudah tepat pemerintah Indonesia membidik baterai litium sebagai masa depan? Atau sudah seharusnya kita melihat kembali alternatif baterai lain yang memiliki keberlajutan lebih baik?

Menariknya, baru-baru ini para peneliti di dunia sudah mulai aktif melakukan penelitian mengenai baterai berbasis natrium atau sodium.

Jenis baterai yang biasa disebut Sodium-ion Batteries (SIBs) ini memiliki keberlimpahan ribuan kali lebih banyak ketimbang litium (lihat Gambar 2).

Namun perlu dilakukan studi dan penelitian lebih lanjut sebelum Sodium-ion Batteries siap menggantikan litium sepenunya.

Hal ini berkaca pada penelitian komprehensif untuk mengembangkan litium sebagai material utama baterai yang memang sudah sejak lama dilakukan sebelumnya.

Secara bisnis, baterai litium dapat dilihat sebagai tipe bisnis red ocean yang sudah banyak pemain besar global. Sedangkan di sisi lain, baterai sodium relatif masih sedikit pemainnya atau masih blue ocean.

Ini karena jumlah manufaktur baterai litium di dunia sudah sangat banyak jika dibandingkan dengan baterai sodium.

Sampai dengan tulisan ini dibuat hanya ada dua manufaktur yang melakukan produksi massal baterai sodium, yaitu China (CATL) dan Jepang (NGK Insulator).

Dengan demikian, bisa dibilang saat ini semua negara masih pada level sama, yaitu early exploration and early exploitation dari baterai sodium.

Maka, jika Indonesia ingin memainkan peran yang lebih besar pada percaturan pasar baterai dunia alangkah lebih baik fokus pada penelitian baterai berbasis sodium ketimbang litium.

*Penerima Beasiswa LPDP PK-191

https://www.kompas.com/sains/read/2023/06/27/162840723/tepatkah-pemerintah-membidik-pasar-baterai-litium

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke