Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Produktivitas ASN Lembaga Riset

Oleh Suherman*

TULISAN ini lahir karena tergelitik oleh pernyataan Menteri PANRB yang viral beberapa hari yang lalu yang mengatakan bahwa kualitas ASN masih rendah, sibuk siang malam tapi hasilnya tidak terasa.

Presiden juga menginginkan agar birokrasi dirampingkan supaya lebih profesional dengan cara pensiun dini secara massal.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional PNS, jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam satuan organisasi yang pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu, serta bersifat mandiri.

Sejatinya jabatan fungsional adalah untuk memperkuat tugas dan fungsi kelembagaan.

Menurut saya ada beberapa persoalan yang mendasari mengapa ASN khususnya para pejabat fungsional tidak profesional.

Pertama, semua pejabat fungsional adalah ASN dan motif utama menjadi ASN adalah karena jaminan keamanan pekerjaan atau job security. Riset membuktikan bahwa 99 persen manusia takut terhadap kehilangan atau rugi daripada memilih peluang untuk memperoleh keuntungan.

Berdasarkan konsep risk versus reward risiko berbanding lurus dengan ganjaran, semakin tinggi risiko semakin tinggi pula potensi keuntungan dan sebaliknya. Apabila dilihat dari sisi pilihan dan perilaku, mayoritas manusia memiliki sifat risk-averse (menghindari risiko).

Sebetulnya hidup ini natural dan alamiah, nyaris semua persolan manusia dapat dipotret dari hukum ekonomi “supply and demand”. Lembaga-lembaga riset kita adalah contoh klasik kasus gagal paham dalil tersebut.

Supply-nya sangat banyak (ribuan periset) tapi tidak mampu menciptakan demand yang pada akhirnya kehilangan relevansi. Daya tawarnya pun lemah karena tidak mengikuti dalil supply and demand tersebut.

Kedua, Mentalitas yang asal beres secara administratif sudah menjadi karakter birokrat baik pejabat struktural maupun pejabat fungsioal. Yang penting output atau angka kredit berupa publikasi, invensi, paten, purwa rupa, dan lain-lain bukan outcome, dampak, atau manfaat.

Mayoritas pejabat fungsional pekerjaan sehari-harinya adalah mengumpulkan angka kredit. Para mantan pejabatan struktural yang mentok karena faktor usia, banyak yang mengambil fungsional melalui jalur impasing hanya untuk menunda waktu pensiun.

Jabatan fungsional favorit adalah pustakawan ahli utama, dengan dalih mudah proses peralihannya dan pekerjaannya hanya bermodalkan kamoceng. Jangan berharap dari para ahli utama seperti ini akan melahirkan inovasi atau karya unggulan, malah yang terjadi adalah kontra produktif.

Ketiga, semua indikator program dan kegiatan berupa output dan ini merupakan ciri khas budaya “sudah dianggarkan”, yang penting kegiatan terlaksana dan laporannya sesuai standar atau petunjuk. Jadi, tidak akan bisa diukur hasil atau capaiannya apalagi dampak kegiatannya.

Mestinya dibalikan fokusnya, misalnya dari program dan kegiatan harus melahirkan sekian start-up yang harus dibuktikan dengan peran konret para pejabat fungsional dalam pembentukan atau pemgembangannya, tidak penting amat apakah terjadi sosialisasi atau tidak.

Kalau gagal bisa dipecat atau dipindah ke divisi atau posisi lain yang lebih kecil sumber daya dan wewenangnya, begitu terus rotasinya, jadi sangat dinamis.

Implikasi lain dari orientasi pada output adalah rendahnya kualitas capaian program atau kegiatan karena semua diukur secara kuantitatif. Kemajuan Iptek hanya dilihat dari melambungnya jumlah publikasi, invensi, dan paten padahal tidak ada impilkasinya terhadap kemajuan industri atau solusi bagi problem masyarakat.

Sekarang ini ukuran kemajuan SDM, pendidikan, Iptek, dan inovasi, hampir sama dengan indeks literasi yang dilihat dari data jumlah perpustakaan.

Apabila dilihat dari perspektif proses produksi sangat tidak relevan hasilnya, hanya ijazah, publikasi, laboratorium atau sarana riset yang tidak berhasil guna. Persis seperti konsep lahan tidur dalam ekonomi pertanahan, tidak jadi apa-apa hanya untuk menggembirakan hati tuan tanah.

Saya selalu ingat perkataan kepala BRIN, “jangan loyal kepada lembaga, loyalah kepada profesi,” perkataan ini seharusnya menjadi pemacu untuk membangun kapasitas personal sehingga menjadi seorang pakar atau ahli profesional yang akan dibawa sampai pensiun nanti.

Mestinya selagi menjadi ASN dijadikan kesempatan untuk menabung skill yang nanti difinansialisasi setelah pensiun.

Mayoritas ASN begitu pensiun tidak bisa jualan apa-apa, kecuali yang bertugas profesional seperti dokter begitu pensiun malah tambah kaya karena punya klinik atau praktek di mana-mana.

Melihat indikator pensiunan yang tidak kompeten sangatlah mudah, misalnya ada pensiunan dirjen buka rumah rumah makan mewah, kepala dinas buka café di mana-mana, dan pensiunan periset buka kos-kosan.

Artinya apa? Duit yang ditabung selama menjabat, yang mayoritas abu-abu bahkan hitam, begitu pensiun dipakai modal buka usaha yang tidak berkaitan dengan keahliannya.

Sebenarnya disebut usaha juga kurang tepat, karena mayoritas tidak produktif, hanya sekedar mengisi waktu, narsis atau gaya-gayaan, atau yang lebih parah cuci uang.

Sebenarnya kalau kita senang bekerja dan punya kemampuan, ditempatkan dimanapun bakal produktif—dalam arti menghasilkan karya dan menghasilkan secara finansial.

Prinsip ekonomi finansial risk vs reward itu, siapa yang berani mengambil risiko besar ganjarannya juga akan setimpal dan sebaliknya. Karena dalam sistem birokrasi yang ada sekarang ini tidak ada insentif untuk ASN yang keretaif dan prestatif ya beginilah kenyataannya.

Keempat, sistem birokrasi yang masih feodal—tidak seperti pengelolaan korporasi ada target dan reward and punishment yang jelas. Tapi kalau sistemnya seperti sekarang—pintar-goblok dibayar sama,— ya tetap saja terus begini.

Formasi berdasarkan pada urutan kacang kepangkatan dan panjangnya gelar akademis bukan pada prestasi. Di negara-negara maju ada istilah "star system"—suatu sistem yang menghargai prestasi individu di bidang apa pun dengan penghargaan yang setara.

Oleh karena itu tidak heran bilan sering terjadi “brain drain” atau diaspora yang enggan pulang ke tanah air. Mereka bukan tidak mau berkarya di tanah air, akan tetapi mereka paham bahwa di tanah air tidak ada jaminan dapur dan kariernya tidak mati.

Perbaiki sistemnya bukan mengecam mereka dengan sebutan tidak nasionalis.

Sampai hari ini saya tidak paham mengapa untuk melamar menjadi periset mesti berijazah doktor bukan dengan proposal riset.

Sehingga ASN yang sudah menjadi periset pun, tapi belum doktor, ramai-ramai kuliah kembali. Ini namanya proses akademisasi atau huluisasi bukan hilirisasi untuk membuat inovasi.

Jadi, apa bedanya BRIN dengan perguruan tinggi atau universitas? Apakah yang tidak bergelar doktor tidak berkualitas?

Justru sejarah membuktikan bahwa para inovator kelas wahid tidak pernah mengenyam pendidikan doktoral, karena mereka tidak terbelenggu oleh pengetahuan. Untuk memperoleh ijazah doktor bukan perkara sulit, yang mingkem dalam kelas saja bisa cumlaude.

Kritik Menteri PANRB mungkin saja benar bahwa produktivitas ASN rendah apabila dihitung dari potensi sumber daya dibanding aktualisasi dan pencapaian.

Tapi bapak menteri juga mestinya bukan hanya pandai mengeritik, buatlah sistem yang bagus supaya apa yang dikeluhkan bisa diatasi bukan hanya pandai membuat sensasi.

Suherman

Analis Data Ilmiah BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2023/01/17/060000023/produktivitas-asn-lembaga-riset

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke