Di sinilah puasa Ramadhan dengan seperangkat nilai ajaran yang dikandungnya memiliki signifikasi dalam membantu memenuhi ruang ketidaksadaran manusia.
Puasa sebagai madrasah kepribadian paling tidak mengandung unsur-unsur nilai antara lain; mendidik individu agar selalu tegas dalam menentukan perbuatannya, karena perbuatan buruk secara substani akan mengggurkan nilai puasa.
Puasa juga mengingatkan manusia untuk selalu dekat dengan Tuhannya dan juga sebagai tujuan akhir hidup, mengajarkan manusia untuk selalu melakukan amalan-amalan yang dapat mendekatkan dengan Sang Khalik, mendidik manusia dalam hal disiplin dan mengajarkan individu dalam bertindak yang berorientasi pada kesejahteraan diri dan lingkungannya.
Sadar atau tidak semua bentuk amalan yang dilakukan manusia ketika menjalankan puasa Ramadhan dengan penuh keikhlasan, kegembiraan dan penuh harap menjadi salah satu mekanisme tersendiri dalam me-refresh, reorientasi hidup dalam dimensi ruang bawah sadar manusia.
Di kemudian hari semua pengalaman baik yang terepresi dalam alam bawah sadar akan menjadi sebuah mekanisme yang natural melekat pada diri manusia.
Oleh karenanya perilaku seseorang akan didominasi oleh nilai-nilai yang diajarkan selama puasa Ramadhan. Mekaniasme psikologi inilah yang menjadi sintesa terhadap relasi puasa dan perilaku manusia dalam hemat penulis.
Semua kita yang beriman patut berbangga diri jika telah melampau momentum puasa Ramadhan. Namun demikian apakah benar bahwa kita sudah memenangkannya atau hanya sebatas menjalankan ritus keagamaan sebagaimana yang diwariskan sejak masih kecil.
Seberapa dekatkah kita dengan Tuhan dan sejauh mana kita menyandrkan segala aspek hidup; motivasi, sikap, perilaku kita disandarkan atas dasar tujuan ideal sebagaimana Allah ajarkan kepada manusia.
Atau jangan-jangan kita juga hanya terjebak pada dimensi ego-spiritual yang hanya mengedepankan aspek formal dan ritus keagamaan semata. Jika demikian maka hal ini justru menjauhkan kita dari substansi ramdhan itu sendiri.
Karena sejatinya ajaran dalam puasa yang terangkum dalam memori alam bawah sadar kita disamping mengandung nilai-nilai ruhiyah juga mengandung nilai universalitas yag berorientasi pada nilai kepuasan diri dan kesejahteraan sesama.
Maka idealnya puasa akan melahirkan pribadi yang tidak hanya tagguh dalam mengamalkan ajaran keagamaan, tetapi mampu menerapkan nilai-nilai ritus agama dlam dimensi nyata kehidupan manusia.
Jika benar kita memenangkan puasa makan harus muncul indikasi yang mengarah pada perubahan perilaku dan sikap manusia oleh karea terpenuhinya ruang ketidak sadaran dengan semua aspek kebaikan Ramadhan.
Mereka yang memenangkan puasa seyogianya menghindarkan diri dari tindakan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisiologis semata. Tetapi keyakinan univesalitas Tuhan sebagai tujuan hidup harus mampu menjadi motivasi utama dalam setiap perilaku sosial manusia.
Jika ini terjadi maka lahirlah insan pemenang, yang pantang berperilaku merugikan sesama, pantang untuk korupsi dan memperdaya orang lain hanya kepentingan fisiologisnya semata.
Karena secara psikologis orang yang masih mendsarkan perilakunya pada pemenuhan fisiologis saja adalah orang yang belum merdeka dan belum menemukan makna ke-diriannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.