Oleh Ali Masykur Musa*
MEMASUKI bulan Ramadhan, banyak kajian-kajian tentangnya baik dari janji surga maupun sikap batiniyah, dan etika sosial.
Satu pelajaran yang mendalam dari bulan suci Ramadhan adalah agar kita bersikap zuhud dalam urusan dunia.
Sikap ini ditandai agar kita tidak mengejar gemerlap dunia dan bergelimpang harta benda, bahkan kita di minta untuk mengekang hawa nafsu, dan harta benda kitapun diminta untuk dibagi kepada sesama manusia melalui zakat, infaq, dan sedekah.
Baca juga: BREAKING NEWS: 1 Ramadhan 1441 H Jatuh pada Jumat 24 April 2020
Ayat-ayat Al Qur’an menegaskan tentang keutamaan akhirat ketimbang dunia. Al Qur’an menyatakan: wal akhiratu khairun wa abga (al-A’la/87:17), sesungguhnya kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal.
Wamal hayatud dunya illa la’ibun wa lahwun wa ladarul akhiratu khairun lilladzina yattaqun (al-An’am/6:32, tidaklah kehidupan dunia kecuali permainan dan sendau gurau belaka dan sungguh negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.
Sejumlah ayat Al Qur’an yang menegaskan kehinaan dunia dan keutamaan akhirat mendasari lahirnya prinsip utama dalam tradisi sufi, yaitu zuhud.
Zuhud secara kebahasaan berarti berpaling dari sesuatu yang dianggap hina dan tak berharga. Dalam bahasa Arab, kalimat “syaiun zahidun” berarti “sesuatu yang hina”.
Baca juga: 7 Aplikasi Android Penunjang Ibadah Puasa di Bulan Ramadhan
Kata zuhud hanya muncul sekali dalam Al Qur’an yaitu dalam surat Yusuf (QS 12: 20), wa syarauhu bi tsamanin bakhsin darahima ma’dudah wa kanu fihi minaz zahidin (dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, hanya beberapa dirham saja, karena mereka menganggap Yusuf tidak berharga).
Rombongan kafilah yang menjual Yusuf dengan harga murah disebut dengan orang-orang yang zuhud, yakni orang-orang yang menganggap remeh.
Berangkat dari pengertian ini, zuhud adalah menganggap remeh dunia (tahqirud dunya) dan tidak berharga dibanding pencapaian yang sesungguhnya, yaitu cinta Allah dan kebahagiaan di negeri akhirat.
Apa yang dilakukannya di dunia bukan karena dia menginginkan dunia dan isinya, tetapi persiapan untuk meraih kehidupan akhirat. Letak zuhud di dalam hati, bukan di dalam penampakan lahir.
Seorang zahid tidak harus menjauhi dunia secara fisik, dengan mengucilkan diri dari kehidupan dunia dan masyarakat.
Seorang zahid bisa berujud seorang kaya yang berpakaian bagus, tetapi semua itu tidak membuat hatinya ta’alluq (bergantung) dan bermegah-megah kepada dunia.
Hatinya hanya menginginkan Allah dan akhirat dan menganggap remeh segala bentuk kepemilikan dunia. Sebaliknya, bukan seorang zahid orang yang mengucilkan diri ke gunung-gunung, berpakaian compang-camping, tetapi hatinya masih dipenuhi syahwat atas dunia.