Oleh karena itu, begitu tiba malam pertama bulan Ramadhan terdapat seruan, sebagaimana yang Rasulullah SAW sampaikan: “Duhai para pencari kebaikan mendekatlah, dan para pencari keburukan menjauhlah” (HR. Ahmad).
Hal ini mengindikasikan betapa banyak rahmat, kebaikan, kesejahteraan yang akan didapat oleh yang berpuasa di bulan Ramadhan jika dimanfaatkan secara maksimal.
Maka melalui refleksi spiritual, solidaritas sosial, dan pengembangan keterampilan mengelola diri yang dilakukan selama bulan Ramadhan, seseorang dapat merasakan manfaat besar bagi kesejahteraannya.
Mental dan emosional adalah dua aspek penting dari kesejahteraan psikologis seseorang.
Mental merujuk pada kondisi pikiran, kognisi, dan proses berpikir seseorang. Aspek ini mencakup berbagai hal seperti kemampuan untuk memecahkan masalah, kejelasan pikiran, daya ingat, konsentrasi, dan kestabilan mental secara keseluruhan.
Kesehatan mental yang baik mencakup kemampuan seseorang untuk mengatasi stres, mengelola emosi, serta memiliki persepsi yang realistis tentang diri sendiri dan dunia sekitarnya.
Sementara emosional merujuk pada pengalaman dan ekspresi emosi seseorang, termasuk perasaan seperti sukacita, kesedihan, kemarahan, ketakutan, dan cinta.
Aspek ini juga mencakup kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi dengan sehat, mengenali perasaan sendiri dan orang lain, serta mengekspresikan emosi secara tepat dalam berbagai situasi.
Kesejahteraan mental dan emosional melibatkan keseimbangan dan integrasi yang baik antara pikiran dan perasaan seseorang.
Hal ini mencakup kemampuan untuk mengatasi tantangan, beradaptasi dengan perubahan, memelihara hubungan yang sehat, serta merasa puas dan bermakna dalam kehidupan. Keduanya memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan kebahagiaan dan kepuasan hidup secara keseluruhan.
Apabila kita merenungkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Puasa itu penjaga (perisai), maka janganlah berkata-kata buruk (rafats) dan jangan berbuat kebodohan, apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah, sesungguhnya saya ini sedang berpuasa." (Rasulullah mengulang ucapannya dua kali).
Puasa yang memberikan output kesejahteraan mental dan emosional, harus memiliki pakem dan fungsional selayaknya perisai.
Semakin kuat perisai, maka semakin dalam pula manfaat protektif dari segala hal yang berpotensi memiskinkan mental dan emosional seseorang.
Makna berpuasa dalam Sabda Nabi tersebut tidak boleh dimengerti sebatas aktivitas menahan lapar, dan dahaga, serta ajakan seksualitas.
Namun lebih dalam dari itu, yaitu totalitas puasa secara jiwa dan raga, sehingga membentuk pertahanan (perisai) yang kokoh dan otomatis melindungi dari segala ajakan keburukan yang lahir dari dalam maupun luar dirinya.
Dalam kesempatan berbeda, Rasulullah SAW juga menambahkan muatan hadis tentang perisai ini, dengan ucapannya, “Puasa itu perisai dan sedekah mampu memadamkan (menghilangkan) kesalahan (dosa-dosa kecil), sebagaimana air memadamkan api yang menyala." (HR. Tirmidzi).
Seseorang yang berkesempatan bertemu Ramadhan, melalui pesan eksplisit hadits di atas, dinilai merugi jika tidak memanfaatkan ritual puasa dan sedekah.
Dua bentuk ibadah di bulan Ramadhan tersebut merupakan pintu yang dianggap sangat cepat menuju Tuhan.
Sebelumnya juga keduanya merupakan media yang mengantarkan pada kesejahteraan mental dan emosional serta kedamaian batin dan ketenangan jiwa seorang hamba. Tidak kah kita menyakini, bahwa jika telah benar puasa dan sedekah seseorang, maka ia telah memiliki dua alat perlindungan ampuh yaitu perisai dan pembersih.
Dalam mikro-organisme dapat dianalogikan pelaku dua ritual tersebut tubuhnya akan memiliki sistem imunitas dan detoksifikasi.
Aspek booster imunitas yang paling mencolok adalah pada intensitas spiritualnya. Berpuasa sepanjang hari memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk menyucikan jiwa dan meningkatkan hubungan dengan Allah SWT.
Proses ini mencakup refleksi mendalam tentang perilaku, nilai-nilai hidup, dan tujuan eksistensial. Dengan memfokuskan pikiran pada hal-hal yang bersifat spiritual, kita menemukan kedamaian dalam menjalani kehidupan sehari-hari, karena terlindungi dari segala hal yang negatif.
Dengan berpuasa juga, mengajarkan pentingnya pemurnian emosi dan pengendalian diri. Melalui penekanan pada kesabaran, toleransi, dan pengampunan, kita diajarkan untuk mengelola emosi negatif seperti kemarahan, iri hati, dan kebencian.
Sementara aspek detoksifikasi dalam bersedekah di bulan Ramadhan akan memperkuat ikatan sosial dan solidaritas di antara umat Islam.
Tradisi berbuka puasa bersama keluarga dan sahabat, serta melaksanakan shalat Tarawih di masjid bersama komunitas, menunaikan zakat atau infak, membentuk jaringan keterlibatan sosial yang kuat. Interaksi ini bukan hanya menyediakan dukungan emosional, tetapi juga menguatkan rasa persaudaraan, solidaritas dalam masyarakat dan membunuh rasa ketidakpercayaan antarmasyarakat.
Dengan memperdalam rasa empati dan belas kasihan terhadap sesama, umat Islam membangun keterampilan emosional yang kuat yang membawa manfaat bagi kesejahteraan mereka.
Predikat al-Muttaqun
Muhammad al-Tahir ibn Ashur seorang ulama dan intelektual Muslim dari Tunisia yang terkenal dengan karyanya, "Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir", memberikan penjelasan tentang makna takwa dalam konteks puasa Ramadhan.
Takwa dalam puasa Ramadhan mencakup ketaatan kepada Allah Swt, kesadaran akan keberadaan Allah Swt, pengendalian diri, peningkatan kesalehan dan penghindaran dari kemaksiatan. Selama sebulan ritual puasa dilaksanakan, tujuan yang diharapkan adalah hadirnya pribadi-pribadi yang Muttaqun (bertakwa) sepanjang tahun.
Sebagian ulama menafsirkan bahwa terdapat rahasia di balik angka satu bulan (antara 28-30 hari) sebagai kurun waktu pembentukan perubahan menuju kesalehan individu.
Hal ini dapat terbaca dalam al-Quran ketika Allah Swt menentukan waktu 30 malam kepada Nabi Musa AS untuk berpuasa sebelum menghadap Allah Swt, yang kemudian Allah Swt perintahkan untuk melengkapi menjadi 40 malam.
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. (Al-‘A’raf: 142).
Dan isyarat al-Qur’an juga menyebutkan bahwa apabila yang diharapkan outputnya adalah perubahan sosial (kelompok), maka kurun waktu yang dibutuhkan adalah 40 tahun, sebagaimana firman-Nya yang ditujukan kepada kaum Bani Israil, “Allah berfirman: "(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu.” (al-Maidah: 26).
Maka dari itu, ketika kita berpuasa selama sebulan penuh dengan melakukan ketaatan, peningkatan kesalehan dan penghindaran maksiat, hakikatnya kita tengah membangun mega perisai untuk sebelas bulan pasca Ramadhan.
Perisai tersebut akan menjalankan fungsi protektifnya selama kebiasaan baik Ramadhan dihadirkan sepanjang tahun. Sehingga secara struktural dan fungsional orang yang senantia menghadirkan suasana spiritual Ramadhan, meski bulan Ramadhan telah berlalu, sejatinya ia yang berhasil menyandang predikat al-Muttaqun (orang yang bertakwa).
Penulis: Muladi Mugheni, Ph.D. Cendekiawan Muda NU, Alumnus Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta, Universitas Al-Azhar Mesir, dan International Islamic University Islamabad (IIUI).
https://www.kompas.com/ramadhan/read/2024/03/22/031000872/puasa-ramadhan-perkuat-kesejahteraan-mental-dan-emosional