PADA awal era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Adrinof Chaniago ditugaskan memulai perencanaan 10 kota baru.
Namun, kegamangan jajaran tata ruang di bawahnya saat itu membuat rencana tersebut berubah arah.
Kendati demikian, inisiatif dilanjutkan menukik ke sasaran sebenarnya, yaitu merencanakan kota baru ibu kota saat Bambang Brodjonegoro memimpin kementerian tersebut.
Sejak 2019, ketika pertama kali saya terlibat dalam penentuan lokasi dan konsep rancangan induk (masterplan) Ibu Kota Negara (IKN), saya memberikan perhatian khusus pada pembahasan mengenai build-no-build zone.
Saya sudah membayangkan apa yang akan terjadi di segitiga kota Balikpapan, Samarinda dan IKN yang kini diberi nama Nusantara.
Konsep awal masterplan pun berubah wujud dan lebih kuat menjadi Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
Baca juga: Beres Akhir 2022, Ini Progres Pembuatan Rencana Detail Tata Ruang IKN
Truk-truk berisi tanah cut-fill pun hari ini sibuk mondar mandir di lokasi seputar Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP).
Merasakan geliat proyek besar memang selalu menggelitik intuisi setiap perencana kota untuk menganalisa ke masa depan.
Apakah optimisme saya masih berdasar?
Ada pertanyaan besar engenai aglomerasi aktivitas penunjang proyek seperti perumahan pekerja bangunan, penyedia jasa-jasa kontraktor maupun akomodasi dan makanan. Akankah mendominasi ruang awal?
Kecut juga hati ini membayangkan pengalaman Brasilia di hutan Amazon yang sudah menyebar tak terkendali (sprawl) seperti sekarang ini.
Ada dua pertanyaan menarik bagi saya sebagai pelaku penyerta dalam perencanaan kota baru ini.
Pertama, apa yang akan terjadi pada Simpang Samboja, Sepaku, Balikpapan dan Samarinda? Kedua, bagaimana nasib konsep city in the forest, atau forest city yang digadang-gadang Presiden Jokowi?
Tentu, Balikpapan akan meraup tarikan perubahan positif (positive traction)pertama. Modal awal untuk sukses sebenarnya sudah ada.
Saya menyadari ini ketika berjalan-jalan setengah hari kemarin menyusuri 'Kota Minyak’ tersebut. Melihat monumen Sumur Mathilda bukti bahwa Balikpapan sebagai kota kosmopolitan, sangat hidup sebagai penghasil minyak.