Kita seringkali mendengar konsep desain vernakular yang melekat dengan bahasan rumah adat.
Penelitian yang dilakukan oleh Faisal, dan kawan-kawan (2012) menyebutkan bahwa, rumah adat dengan konsep desain vernakular berbasis local knowledge dan local material umumnya diwujudkan atas pengalaman dan budaya masyarakat lokal yang menyesuaikan dengan kondisi topografis wilayah.
Hunian diwujudkan dengan fungsi ventilasi yang memiliki peran dominan untuk beradaptasi dengan kondisi alam, sehingga pencahayaan dan sirkulasi udara berasal dari alam, dan mampu mengurangi penggunaan listrik untuk penerangan dan pendinginan.
Sejalan dengan itu, Dharma, A, dan kawan-kawan (2017) menyebutkan, salah satu bentuk rumah adat, yaitu rumah adat suku Bajo didesain untuk mampu beradaptasi dengan iklim tropis.
Ini diwujudkan dalam bentuk posisi arah orientasi rumah, model dan arah bukaan (pintu dan jendela), bentuk dan kemiringan atap serta aspek pemilihan material yang didominasi oleh bahan alami.
Dalam studinya, Abdurrahman, B, dan kawan-kawan (2019) mengungkapkan, rumah adat suku Betawi yang dibangun sesuai dengan kriteria desain yang memperhatikan kondisi lingkungan.
Dengan adaptasi fasad tropis, rumah adat Betawi mampu menurunkan suhu udara pada bagian ruang tamu dan kamar, masing-masing sebesar 0,9 derajat C dan 2,1 derajat C.
Dengan desain yang menyatu dengan alam, memang sejatinya rumah adat dengan kearifan lokal lebih ramah terhadap lingkungan hidup, baik dari segi desain maupun materialnya.
Dalam rangka penghematan energi, penelitian yang dilakukan oleh Mohammadzadeh (2015) menyebutkan, desain vernakular yang umumnya diaplikasikan pada rumah adat memiliki penggunaan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan bangunan modern.
Bangunan vernakular memiliki rerata penggunaan energi berkisar 16,5-23 kilowatt per meter, sementara bangunan modern memiliki rerata penggunaan energi berkisar 24-68 kilowatt per meter.
Di Indonesia, setidaknya terdapat beberapa rumah adat yang memiliki desain bersumber kearifan lokal dengan filosofi budaya setempat.
Sebut saja rumah adat Toraja, Nias Selatan, Betawi, Karo Batak, Toba Batak, Minangkabau, Mentawai, Kanyah, Jawa, Sumba, Bali Selatan, Bali Aga, Sasak, Dani, Baduy, Bajo, Kaili dan masih banyak lagi.
Namun, bagaimana eksistensi rumah adat saat ini, dan bagaimana pemenuhan kebutuhan hunian di wilayah perkotaan mengadopsi nilai yang terkandung dalam desain rumah adat?
Beberapa rumah adat saat ini berada dalam status pelestarian, konsep desain rumah adat masih diaplikasikan secara parsial oleh pengembang di kawasan perkotaan.
Memang bukan hal yang mudah mengadaptasi desain rumah adat di wilayah perkotaan. Namun, setidaknya beberapa tantangan perlu dihadapi sebagai upaya menerapkan desain lokal dari rumah adat untuk mencapai penghematan energi di perkotaan.
Di antaranya adalah implementasi rumah adat umumnya membutuhkan lahan yang luas, topografi perkotaan belum tentu sesuai dengan desain rumah adat, aspek keamanan yang perlu diaplikasikan ekstra di wilayah perkotaan saat ini, material yang sulit didapat, dan sebagainya.
Namun, dengan kesadaran bersama, kolaborasi dan inovasi dari para pemangku kepentingan, bukan yang mustahil kita bisa mencapai tujuan itu.
Melakukan penghematan energi, sekaligus melestarikan identitas lokal, menghidupkan filosofi kearifan lokal, dan kontribusi dalam meminimalkan dampak perubahan iklim melalui think globally act locally.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.