Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syarifah Syaukat
Mahasiswa CEP Doktoral Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia

Mahasiswa CEP Doktoral Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, ini juga seorang peneliti senior sejak 2009 hingga saat ini pada Pusat Penelitian Geografi Terapan FMIPA UI.

Sejak 2020, Syarifah menempati posisi sebagai Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia.

Think Globally Act Locally, Melalui Kearifan Lokal dalam Konsep Rumah Adat Demi Penghematan Energi

Kompas.com - 12/12/2021, 13:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEPERTI kita ketahui, operasional bangunan memberi kontribusi tinggi terhadap penggunaan energi berkisar 40-48 persen.

Konsep green building pun ditetapkan sebagai salah satu metode untuk mencapai efisiensi energi.

Bahkan, beberapa penelitian telah melakukan perbandingan secara terukur mengenai keunggulan implementasi green building dan bangunan konvensional.

Dari berbagai manfaat yang telah dibagikan oleh berbagai gedung yang menerapkan green building, maka konsep ini memang layak diterapkan pada bangunan vertikal, baik fungsi residensial maupun komersial.

Hal ini mengingat besaran fungsi kegiatan, dampak kegiatan dan turunannya, serta pembiayaan pengelolaan yang berskala besar, sehingga perlu diperhitungkan keberlanjutan operasionalnya.

Penelitian Yuliatna (2015) menyebutkan, implementasi green building secara jangka panjang (40 tahun) mampu menghemat nilai life-cycle cost (biaya daur hidup bangunan) sebesar 175 persen, dibandingkan gedung konvensional 

Sedangkan ukuran penghematan dalam jangka pendek, misalnya penggunaan air memiliki perbandingan 3:5 antara green building dengan dengan gedung konvensional.

Penggunaan listrik untuk pendinginan pun berada pada kategori efisien-sangat efisien untuk green building, sementara gedung konvensional berada pada kategori cukup efisien-agak boros.

Namun pada dimensi lain, penghematan energi pada skala rumah tangga, seperti rumah tapak menjadi bentuk penerapan skala mikro yang perlu diimplementasikan secara masif untuk upaya penghematan energi.

Hal ini mengingat penggunaan tanah permukiman umumnya menjadi komposisi terbesar di wilayah perkotaan.

Merujuk berbagai penelitian terkait penghematan energi melalui implementasi green building, maka Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang masih panjang, terutama jika dibandingkan dengan capaian beberapa kota global.

Namun, difusi nilai kearifan lokal dalam desain hunian dapat menjadi alternatif bagi Indonesia untuk mengakselerasi capaian penghematan energi.

Konsep rumah adat, adalah salah satu opsi penerapan efisiensi energi berbasis budaya dan pembangunan berkelanjutan.

Rumah adat umumnya menerapkan nilai kearifan lokal dalam desainnya, tentu dengan mempertimbangkan interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya.

Sehingga sebagai shelter, rumah berfungsi tidak hanya menjadi identitas penghuni dan mencerminkan filosofi hidup penghuni, namun juga sebagai tempat beribadah, membangun bonding/kedekatan antar anggota keluarga, tempat berlindung dari ancaman lingkungan luar dan bencana alam, dan sebagainya.

Kita seringkali mendengar konsep desain vernakular yang melekat dengan bahasan rumah adat.

Penelitian yang dilakukan oleh Faisal, dan kawan-kawan (2012) menyebutkan bahwa, rumah adat dengan konsep desain vernakular berbasis local knowledge dan local material umumnya diwujudkan atas pengalaman dan budaya masyarakat lokal yang menyesuaikan dengan kondisi topografis wilayah.

Hunian diwujudkan dengan fungsi ventilasi yang memiliki peran dominan untuk beradaptasi dengan kondisi alam, sehingga pencahayaan dan sirkulasi udara berasal dari alam, dan mampu mengurangi penggunaan listrik untuk penerangan dan pendinginan.

Sejalan dengan itu, Dharma, A, dan kawan-kawan (2017) menyebutkan, salah satu bentuk rumah adat, yaitu rumah adat suku Bajo didesain untuk mampu beradaptasi dengan iklim tropis.

Ini diwujudkan dalam bentuk posisi arah orientasi rumah, model dan arah bukaan (pintu dan jendela), bentuk dan kemiringan atap serta aspek pemilihan material yang didominasi oleh bahan alami.

Dalam studinya, Abdurrahman, B, dan kawan-kawan (2019) mengungkapkan, rumah adat suku Betawi yang dibangun sesuai dengan kriteria desain yang memperhatikan kondisi lingkungan.

Dengan adaptasi fasad tropis, rumah adat Betawi mampu menurunkan suhu udara pada bagian ruang tamu dan kamar, masing-masing sebesar 0,9 derajat C dan 2,1 derajat C.

Dengan desain yang menyatu dengan alam, memang sejatinya rumah adat dengan kearifan lokal lebih ramah terhadap lingkungan hidup, baik dari segi desain maupun materialnya.

Dalam rangka penghematan energi, penelitian yang dilakukan oleh Mohammadzadeh (2015) menyebutkan, desain vernakular yang umumnya diaplikasikan pada rumah adat memiliki penggunaan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan bangunan modern.

Bangunan vernakular memiliki rerata penggunaan energi berkisar 16,5-23 kilowatt per meter,  sementara bangunan modern memiliki rerata penggunaan energi berkisar 24-68 kilowatt per meter.

Di Indonesia, setidaknya terdapat beberapa rumah adat yang memiliki desain bersumber kearifan lokal dengan filosofi budaya setempat.

Sebut saja rumah adat Toraja, Nias Selatan, Betawi, Karo Batak, Toba Batak, Minangkabau, Mentawai, Kanyah, Jawa, Sumba, Bali Selatan, Bali Aga, Sasak, Dani, Baduy, Bajo, Kaili dan masih banyak lagi.

Namun, bagaimana eksistensi rumah adat saat ini, dan bagaimana pemenuhan kebutuhan hunian di wilayah perkotaan mengadopsi nilai yang terkandung dalam desain rumah adat?

Beberapa rumah adat saat ini berada dalam status pelestarian, konsep desain rumah adat masih diaplikasikan secara parsial oleh pengembang di kawasan perkotaan.

Memang bukan hal yang mudah mengadaptasi desain rumah adat di wilayah perkotaan. Namun, setidaknya beberapa tantangan perlu dihadapi sebagai upaya menerapkan desain lokal dari rumah adat untuk mencapai penghematan energi di perkotaan.

Di antaranya adalah implementasi rumah adat umumnya membutuhkan lahan yang luas, topografi perkotaan belum tentu sesuai dengan desain rumah adat, aspek keamanan yang perlu diaplikasikan ekstra di wilayah perkotaan saat ini, material yang sulit didapat, dan sebagainya.

Namun, dengan kesadaran bersama, kolaborasi dan inovasi dari para pemangku kepentingan, bukan yang mustahil kita bisa mencapai tujuan itu.

Melakukan penghematan energi, sekaligus melestarikan identitas lokal, menghidupkan filosofi kearifan lokal, dan kontribusi dalam meminimalkan dampak perubahan iklim melalui think globally act locally.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com