Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syarifah Syaukat
Mahasiswa CEP Doktoral Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia

Mahasiswa CEP Doktoral Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, ini juga seorang peneliti senior sejak 2009 hingga saat ini pada Pusat Penelitian Geografi Terapan FMIPA UI.

Sejak 2020, Syarifah menempati posisi sebagai Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia.

Risiko Tenggelam dan Fakta Properti Jakarta

Kompas.com - 04/10/2021, 11:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BARU-baru ini kita mendengar kembali isu ancaman tenggelamnya Jakarta. Isu ini, sejatinya, telah lama terdeteksi oleh sejumlah lembaga dalam negeri, yang merekam data historis tinggi muka tanah.

Potensi risiko turunnya muka tanah atau land subsidence di Jakarta diperparah dengan potensi banjir atau genangan, baik banjir karena curah hujan maupun banjir gelombang air pasang (rob) di pantai utara Jakarta.

Turunnya muka tanah merupakan gejala geologis yang umumnya terjadi di wilayah pesisir. Hal ini dipicu oleh kondisi geologi tanah endapan, tingginya ekstraksi air tanah yang umumnya menjadi penciri wilayah dengan penggunaan tanah yang intensif, dan beban bangunan.

Kumulasi dampak dari faktor-faktor tersebut, menstimulasi penurunan muka tanah.

Pada kondisi tertentu, penurunan muka tanah dapat menyebabkan amblesnya bangunan di atasnya, ataupun genangan yang lebih dalam saat musim penghujan atau ketika gelombang pasang.

Sebagai kota pantai, Jakarta merupakan dataran rendah dengan geologi berupa kipas aluvial.

Dalam bukunya, tentang Geologi Indonesia, Van Bemmelen menyebutkan, pesisir Utara Jawa, dari Barat sampai Cirebon merupakan endapan sungai dan membentuk alluvial fan dari erupsi Gunung Gede dan Pangrango.

Sementara, sumber akademik lain menyebutkan bahwa proses kompaksi masih berlanjut hingga saat ini di beberapa bagian.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh portal data yang dikelola Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Dinas Perindustrian dan Energi terkait peta sebaran penurunan muka tanah 2014-2017 mengungkapkan, penurunan muka tanah tertinggi terjadi di beberapa titik sebesar 0,24 meter pertahun.

Penurunan muka tanah di Provinsi DKI JakartaPemprov DKI Penurunan muka tanah di Provinsi DKI Jakarta

Secara area, wilayah dengan risiko penurunan muka tanah yang tinggi di antaranya adalah Penjaringan, Pademangan, dan Cempaka Putih.

Di sisi lain, pada cakupan wilayah tersebut, telah dimanfaatkan melalui pengembangan  permukiman, komersial, dan campuran.

Cerminan pemanfaatan tanah ini mengindikasikan ekstraksi air tanah yang cukup intensif. Penyebab land subsidence non-alami ini yang perlu diperhatikan dan dikontrol bersama.

Berdasarkan platform digital property mapping atau Inframap dari Knight Frank Indonesia diketahui bahwa, di wilayah dengan penurunan muka tanah tertinggi terdapat 31 proyek properti, dari berbagai sektor, baik residensial, perkantoran, ritel dan hotel.

Jumlah proyek tersebut belum termasuk proposed project yang akan dibangun di sekitar area tersebut.

Dan, tentu saja jumlah proyek lebih banyak lagi pada wilayah dengan potensi risiko sedang sampai rendah.

Land subsidence telah terdeteksi sejak tahun 1970-an di Jakarta, dengan titik penurunan muka tanah tertinggi mencapai lebih dari 4 meter di wilayah Utara Jakarta, yang juga merupakan wilayah rawan banjir/genangan.

Lalu, bagaimana upaya mitigasi yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa fungsi pemanfaatan ruang properti dapat berkelanjutan di tengah potensi risiko penurunan muka tanah dengan berbagai risikonya, seperti amblesnya bangunan, rusaknya infrastruktur sekitar, korban jiwa, dan sebagainya?

Berbagai publikasi akademik menyebutkan bahwa, secara geohidrologi penurunan muka tanah dipicu oleh kondisi geologi, ekstraksi air tanah, penggunaan tanah dan beban bangunan.

Kolaborasi pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam hal ini sangat penting dilakukan untuk memastikan bahwa penggunaan tanah di wilayah dengan tingkat land subsidence tertinggi dapat diarahkan pada fungsi ekologis.

Ini artinya built up area di wilayah tersebut harus ditahan, dengan demikian penggunaan tanah, beban bangunan dan ekstraksi air tanah dapat terkontrol.

Inovasi seperti rain harvesting, atau pemanenan air menjadi salah satu yang dapat dilakukan untuk menangkap air hujan dan menampungnya sebagai sumber air alternatif.

Selain itu, revitalisasi waduk dan situ sebagai sumber cadangan air tanah juga diperlukan untuk mencapai Jakarta yang produktif dan berkelanjutan.

Sementara itu, untuk industri properti, pergeseran paradigma pengelolaan berkelanjutan melalui environmental, social, and good governance (ESG) saat ini telah menjadi tren baru di tataran global dan regional.

Sebagai refleksi, pada tahun 1980-an pernah dideteksi penurunan muka tanah yang menyebabkan amblesnya tanah dan hancurnya jembatan penyeberangan orang di sekitar jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.

Maka sebagai global city, sudah saatnya Jakarta mengadaptasi pola green property untuk memperpanjang usia lingkungan hidup.

Pengelola properti memiliki kapabilitas yang baik untuk mengadaptasi pola pemanenan air hujan, maupun memperluas waduk/pond yang sudah ada saat ini.

Selain itu, perluasan ruang terbuka hijau juga menjadi salah satu cara untuk mengisi ulang pori air tanah.

Sejalan dengan itu, upaya dua arah menahan laju banjir rob di Utara dapat dilakukan dengan perluasan habitat mangrove untuk menahan gelombang pasang.

Kita bisa mengambil lesson learnt dari Jepang, yang juga mengalami tantangan tersebut. Setelah mulai mendeteksi secara reguler land subsidence, Jepang segera membatasi ekstraksi air tanah untuk kegiatan industri dan komersial, dan menyiapkan alternatif sumber air lain.

Dengan rencana yang terprogram dan integratif antar sektor, sehingga ritme penurunan muka tanah dapat ditahan, dan menghindari tenggelamnya Jakarta pada masa depan.

Deteksi yang telah dilakukan oleh Pemerintah, perlu ditindaklanjuti dengan kolaborasi pemangku kepentingan untuk melakukan upaya mitigasi, sehingga infrastruktur dan fungsi kota dapat terus produktif.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com