Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bernardus Djonoputro
Ketua Majelis Kode Etik, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Bernardus adalah praktisi pembiayaan infrastruktur dan perencanaan kota. Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah, dan saat ini menjabat Advisor Senior disalah satu firma konsultan terbesar di dunia. Juga duduk sebagai anggota Advisory Board di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung ( SAPPK ITB).

Selain itu juga aktif sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salzburg Austria. Bernardus adalah Penasehat Bidang Perdagangan di Kedubes New Zealand Trade & Enterprise.

Istana Negara, Ibu Kota Baru, dan Kegalauan Kolektif Para Perancang

Kompas.com - 30/03/2021, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBAGAI salah satu elemen masyarakat, profesi perencana kota yang sangat setuju pemindahan ibu kota negara (IKN), saya tetap bersemangat melihat prospek ke depan.

Mengusung tema Reimagined Indonesia, rencana groundbreaking IKN baru di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, dalam waktu dekat kontan membuat kita harus mendalami dan ingin mengerti lebih jauh tentang konsep yang sedang disiapkan.

Saya yakin masyarakat pun merasakan hal yang sama. Bahkan, pandemi Covid-19 yang masih menguasai dunia dan terus berlanjut, menambah skeptis akibat pengalaman infrastruktur kesehatan masyarakat sangat terbatas di kota.

Sejalan dengan usaha untuk melandaikan kurva infeksi pada masa pandemi ini, kita harus segera memikirkan tatanan hidup baru. Dalam ilmu perkotaan, pandemi adalah kejadian luar biasa yang "anti-tesis kota".

Belum terlambat untuk mengubah dan menyesuaikan tata ruang maupun desain bangunan dengan tatanan baru dalam pemikiran anti-tesis kota.

Pusat Pemerintahan atau Economic Superhub?

Pemerintah melalui tim penyiapan IKN di Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengusung konsep Reimagined Indonesia dalam bentuk ekosistem pusat pertumbuhan baru IKN-Samarinda-Balikpapan.

Bagi awam, mudah dibaca bahwa konsep ini diharapkan dapat mendorong segitiga metropolitan baru yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi provinsi dan nasional.

Gagasan ekonominya adalah untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas, keberagaman ekonomi dan ketahanan ekonomi.

Dalam rencana tersebut, diharapkam pada tahun 2045 Produk Domestik Bruto (PDB) Kalimantan Timur akan menjadi enam kali saat ini, dengan Compounded Annual Growth Rate (ACGR) dua kali lipat pertumbuhan dari dua persen, serta PDB per kapita naik 1.6 kali.

Pertanyaannya adalah, fungsi mana yang akan dominan di IKN, pusat pemerintahan atau pusat pertumbuhan. Kelihatannya ingin keduanya sekaligus?

Dalam rancangan pemerintah, IKN akan berpenduduk 2 juta dan 7 juta metropolitan segitiganya.

IKN akan mengambil peran dalam integrasi ekonomi dan peran Indonesia dalam rantai pasok internasional, sebagai penggerak ekonomi baru dengan PDB 180 miliar dollar AS.

IKN direncanakan untuk menjadi economic superhub dengan enam klaster ekonomi utama dan dua klaster ekonomi pendukung.

Ada 8 Key Performance Indicator (KPI) yang dirancang yang menjadi tema utama rencana IKN, termasuk penjabaran nilai inklusif, rendah karbon, tangguh dan sirkuler serta menjamin ekonomi bagi semua.

Demikian halnya dengan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) yang didukung kawasan inovasi bisnis dan teknologi.

Bagaimana konsep di atas diturunkan dalam kegiatan kemasyarakatan dan aparatur sipil negara (ASN) pemeritahan pusat?

Kelihatannya ini akan menjadi pekerjaan rumah besar bagi para perencana kota dan wilayah, yang bekerja di Bappenas, pemerintah provinsi maupun para perencana profesional yang membantu Bappenas.

Pertumbuhan dari nol menjadi 2 juta dalam 25 tahun, akan sangat berpotensi menurunkan kualitas "kelayakhunian".

Secara historis, Indonesia Most Livable City Index yang di lakukan IAP setiap 2 tahunan sejak 2009, memperlihatkan bahwa hampir setengah warga kota-kota di Indonesia merasa kotanya tidak nyaman.

Bisa diartikan, para perencana dan manajer kota Indonesia selama ini masih harus bekerja keras mencari model rencana kota yang bisa memastikan kotanya layak huni.

Video IKN pemerintah menyatakan bahwa ibu kota baru ini akan menjadi most livable city di dunia, namun hanya berbasis dari keasrian taman dan kehijauan.

Padahal, dalam Most Livable City Index Indonesia paling tidak ada 30-an lebih kriteria yang oleh masyarakat dianggap sebagai aspek menentukan sebuah kota layak huni.

Termasuk aspek keamanan, ekonomi lokal, pekerjaam dan nilai-nilai hidup bertetangga dan lain lain.

Kota 10 menit yang diusung, tepat di khatulistiwa dengan suhu rata-rata 30 derajat celsius sepanjang tahun dengan kelembaban di atas 92 persen tentu tidak mudah tercapai.

Saya juga khawatir penegasan 75 persen ruang hijau adalah izin masuk untuk membangun dan mengeksploitasi 25 persen dari 256.000 hektar!

Bagaimana implementasi 100 persen penggantian gedung berlantai lebih dari empat dengan ruang hijau? Padahal isu kompensasi kelebihan koefisien lantai bangunan (KLB) di Jakarta saja meninggalkan banyak isu.

Lalu, mengusung livable city, apa jaminannya ini akan berhasil di IKN? Apa langkah utamanya?

Desain dan Intelektualitas Bangsa

Saya tidak heran bahwa sekarang kita tiba-tiba berkutat dengan kehebohan desain-desain bangunan IKN, khususnya istana negara, tanpa mengetahui asal usulnya.

Karena sejak awal, urutan tata kerja perencanaan kita sudah diacak-acak. Ini karena para perencana dan arsitek di pemerintahan mengamini proses yang terbalik-balik.

Kita melakukan sayembara desain kawasan, padahal konsep masterplan atau lokasi belum ada.

Tahun 2020, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijkan ITB bersama dengan Ernst & Young dan Cicso membuat studi Next Gen City.

Di sini nyata bahwa perspektif para milenial dan generasi muda akan sangat menentukan desain kota dan gedung masa depan kita.

Tentunya untuk IKN ini sangat menentukan. Keselarasan preferensi ruang dan desain, dengan dukungan yang baik dari generasi milenial sebagai aktor kunci mampu membentuk optimisme dalam pengembangan keunggulan wilayah yang dimiliki.

Kita masih ingat tahun 1960 sampai 1965, atau 20 tahun umur Republik Indonesia, Gelora Bung Karno Senayan dan banyak gedung ikonik dibangun.

Melalui sayembara, gedung MPR kita dirancang Suyudi, yang pada eranya sudah mendemonstrasikan arsitektur modern yang canggih secara struktur dan elegan secara desain.

Maju 40 tahun kemudian, hari ini tahun 2021, beberapa desain gedung berbentuk satwa maupun representasi bangunan tradisional, menurut salah satu kawan arsitek, bagaikan sinkretis modernism dengan zaman kerajaan Hayam Wuruk.

Dalam pandangan saya yang bukan arsitek, kok terasa kasar, keras, dan pragmatis?

Apakah dalam desain, intelektualitas, dan apresiasi kita atas kemajuan arsitektural semakin maju? Atau malah kita terjebak dalam alam budaya sosial politik yang kurang cerdas dan apatis?

Semoga generasi baru kita cepat bergerak merespons perkembangan ini.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com