Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Seputar Konflik Proyek di Rempang, Duduk Persoalan, dan Status Kepemilikan Tanah Warga

Baru-baru ini misalnya, terjadi bentrok antara masyarakat sekitar dengan tim gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP, pada Kamis (7/9/2023) lalu.

Ratusan warga memblokade jalan agar tim gabungan tidak masuk ke wilayah Pulau Rempang untuk mengukur lahan dan pemasangan patok dalam rangka proyek Rempang Eco-City.

Aksi tersebut juga menimbulkan kericuhan antara pendemo dengan aparat keamanan. Bahkan hingga Selasa (12/09/2023) pagi, petugas kepolisian telah mengamankan 43 orang pendemo.

Profil Proyek Rempang Eco-City

Dikutip dari laman resmi BP Batam, proyek Rempang Eco-City mencakup pengembangan terintegrasi untuk industri, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, dan renewable energy.

Proyek Rempang Eco-City juga telah termasuk dalam Program Strategis Nasional sebagaimana termaktub dalam Permenko Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Rencana pengembangan wilayah Rempang telah dimulai sejak 2004 berdasarkan Akta Perjanjian No. 66 Tahun 2004 kerjasama antara BP Batam dan Pemerintah Kota (Pemkot) Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG).

Lalu, PT MEG resmi menjadi nakhoda untuk mengembangkan kawasan seluas 17.000 hektar itu pada 12 April 2023 lalu, ditandai dengan Peluncuran Program Pengembangan Kawasan Rempang di Jakarta.

Sementara untuk nilai investasi pengembangan proyek Rempang Eco-City mencapai Rp 381 triliun dan ditargetkan menyerap lebih dari 300.000 tenaga kerja.

Ada pun PT MEG disebut-sebut sebagai anak usaha Artha Graha Network yang pemiliknya merupakan salah satu konglomerat di Indonesia yakni Tomy Winata.

Dikutip dari laman resmi perusahaan, bisnis utama Artha Graha Network bergerak di sektor properti, keuangan, agro industri, dan perhotelan.

Selain empat bisnis inti tersebut, perusahaan juga melakukan diversifikasi ke lini bisnis lain termasuk pertambangan, media, hiburan, ritel, IT dan Telekomunikasi, dan sebagainya.

Khususnya di bidang properti, salah satu proyek yang dikembangkan dan dikelola Artha Graha Network ialah kawasan niaga terpadu Sudirman Central Business District (SCBD).

Pengembangan dan pengelolaan SCBD dilakukan oleh Artha Graha Network melalui anak usahanya yaitu PT Danayasa Arthatama.

Duduk Persoalan

Permasalahan yang sedang menghangat antara masyarakat Pulau Rempang dengan BP Batam dan Pemerintah itu berakar dari penolakan warga terhadap proyek Rempang Eco-City.

Sebab, adanya proyek tersebut membuat warga yang telah bermukim secara turun temurun terancam kehilangan tempat tinggal.

Mereka menolak keras janji manis BP Batam terkait penyiapan hunian tetap relokasi bagi masyarakat terdampak.

Di mana BP Batam akan menyiapkan hunian tetap relokasi bagi masyarakat terdampak ke kawasan Dapur 3 Sijantung, Pulau Galang, yang dinilai menguntungkan warga yang rerata berprofesi nelayan.

Hunian tetap yang disiapkan berupa rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta dengan luas tanah maksimal 500 meter persegi.

Sikap penolakan itu seperti yang telah disampaikan perwakilan masyarakat yakni Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) pada 25 Juli 2023 lalu.

"Kami sangat menolak relokasi kampung yang sudah turun temurun kami tempati ini," kata Ketua Keramat Gerisman Achmad, Selasa (25/7/2023), dikutip dari pemberitaan Kompas.com.

Penolakan relokasi tersebut telah disampaikan ke Komnas HAM, DPR, DPD, kementerian di Jakarta, hingga Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepri.

"Kami tetap bertahan, tak ada relokasi kampung-kampung tua di Rempang, Galang yang sudah ada," tandasnya.

Gerisman juga mengaku kecewa dengan wacana pengembangan kawasan Rempang-Galang itu.

Pasalnya, kala itu Pemerintah dinilai tidak pernah menginformasikan langsung ke masyarakat, baik Pemkot Batam maupun BP Batam.

"Mereka ada karena masyarakatnya, tapi sekarang malah masyarakatnya pula yang diabaikan. Kami berharap ada solusi terbaik dari Pemerintah," tukasnya.

Usman, salah satu warga Pulau Rempang juga pernah mengatakan, masyarakat Pulau Rempang sepakat tidak memperbolehkan kegiatan apa pun yang berkaitan dengan proyek Rempang Eco-City.

"Kami warga Pulau Rempang sepakat, tidak boleh ada kegiatan apa pun jika belum ada kepastian dari Pemerintah untuk tanah turun temurun kami tidak direlokasi," ujarnya pada Kamis (07/09/2023) lalu, dikutip dari Kompas.com.

Kemudian dalam aksi unjuk rasa pada Senin (11/09/2023), masyarakat menyampaikan beberapa tuntutan.

Pertama, menolak penggusuran 16 kampung tua yang ada di Pulau Rempang, Galang.

Kemudian, mendesak Polri membubarkan posko terpadu yang didirikan di Pulau Rempang, menghentikan intimidasi, dan kekerasan terhadap warga.

Selanjutnya, menuntut Presiden Jokowi membatalkan penggusuran 16 kampung tua.

Serta, mencopot M Rudi sebagai Kepala BP Batam, dan membebaskan masyarakat Pulau Rempang yang ditahan tanpa syarat.

Kepala BP Batam M Rudi yang sempat menemui pedemo mengatakan, proyek Rempang Eco-City bukanlah kewenangan dirinya, tetapi pemerintah pusat.

"Pengembangan Pulau Rempang bukanlah kewenangan BP Batam, akan tetapi kewenangan Pemerintah pusat. Dalam hal ini kami hanya perpanjangan tangan pemerintah pusat saja," katanya.

Rudi menjelaskan, pada pertemuan sebelumnya, pihaknya telah menawarkan perwakilan warga untuk ikut bertemu langsung dengan Pemerintah Pusat. Namun, hingga saat itu tidak ada jawaban.

Dikutip dari laman BP Batam, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol, Ariastuty Sirait, memastikan sosialisasi ke masyarakat terkait rencana pengembangan Rempang terus berlangsung.

Tidak hanya itu, pendataan terhadap masyarakat terdampak pengembangan yang akan direlokasi pun terus dilakukan.

"Sekitar 200 ratus warga berhasil ditemui dalam sosialisasi dan verifikasi door to door tersebut. Setidaknya, sudah ada 70 persen yang setuju untuk direlokasi," ujarnya pada Rabu (13/09/2023).

Pihaknya juga menegaskan bahwa pemerintah pusat melalui BP Batam sangat serius dalam menyelesaikan program strategis nasional. Termasuk dalam menyiapkan hunian untuk masyarakat yang terdampak pembangunan.

"Sebagaimana yang selalu disampaikan, Kepala BP Batam bersama tim sudah menyiapkan solusi terbaik. Untuk masyarakat, perlu disampaikan kembali bahwa pendataan akan berlangsung sampai 20 September nanti," pungkas Ariastuty.

Status Kepemilikan Tanah Warga

Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menyebut bahwa sebagian besar dari tanah seluas 17.000 hektar di Rempang merupakan kawasan hutan dan tidak ada hak atas tanah di atasnya.

Saat ini, di pulau tersebut juga ada pengajuan permohonan Hak Pengelolaan (HPL) oleh BP Batam seluas kurang lebih 600 hektar yang merupakan Area Penggunaan Lain (APL).

"Jadi, masyarakat pun yang tinggal di sana juga tidak ada sertifikat," ujar Hadi dalam Rapat Kerja dengan Komisi II DPR RI, Selasa (12/9/2023).

Sebelum isu mengemuka, Pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat dan sebagian di antaranya menerima usulan berupa solusi dari pemerintah.

Hadi mengungkapkan, terdapat 15 titik tempat masyarakat hidup di Rempang yang mayoritas tinggal di pinggir pantai dan berprofesi sebagai nelayan.

"Dengan adanya proyek ini, Pemerintah coba ketuk hati masyarakat, dengan tetap menghargai budaya lokal, yaitu dengan mencarikan tempat relokasi," tukasnya.

(Penulis: Hadi Maulana | Editor: David Oliver Purba; Gloria Setyvani Putri; Reni Susanti; Teuku Muhammad Valdy Arief)

https://www.kompas.com/properti/read/2023/09/14/130000621/seputar-konflik-proyek-di-rempang-duduk-persoalan-dan-status

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke