Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tak Kunjung Tuntas, Mafia Tanah Masih Merajalela di Indonesia

Praktik mafia tanah ini dilakukan oleh asisiten rumah tangga (ART) almarhumah ibunda Nirina yaitu Riri Khasmita.

Nirina mengungkapkan, terdapat enam aset berupa surat tanah yang telah digelapkan oleh Riri Khasmita.

Dua aset tanah kosong telah dijual, sedangkan empat lainnya dengan bangunan telah diagunkan ke bank.

Keenam aset tersebut sudah berganti kepemilikan menjadi nama Riri Khasmita beserta suaminya Endrianto.

Karena kasus yang menimpa keluarganya tersebut, Nirina memperkirakan kerugian mencapai Rp 17 miliar.

"Kurang lebih Rp 17 miliar (kerugian). Kami berharap semua balik ke keluarga kami, kepada ahli waris,” ucap Nirina saat jumpa pers, Rabu (17/11/2021).

Keluarga Nirina bukanlah yang pertama menjadi korban keberingasan ulah mafia tanah.

Sebelumnya, terdapat kasus lainnya yang juga terjadi di Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi DKI Jakarta.

Kanwil BPN DKI Jakarta telah menerbitkan sertifikat hak milik (SHM) bodong kepemilikan tanah seluas 7,78 hektar atas nama Abdul Halim.

Sebelum diterbitkannya SHM atas nama Abdul Halim, Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan Surat Keterangan (SK) Pembatalan 38 Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Salve Veritate.

Pembatalan 38 SHGB atas nama PT Salve Veritate oleh Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta ini dilakukan pada saat tanah tersebut masih dalam proses peradilan atau belum inkracht (eksekusi putusan yang berkekuatan hukum tetap).

Karena itu, kata Sofyan, SK Pembatalan yang diterbitkan oleh Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta dinilai kurang cermat.

Pejabat Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Administrasi Jakarta Timur juga dinilai secara sengaja melakukan mal-administrasi atas proses penerbitan SHM Nomor 4931/Cakung Barat atas nama Abdul Halim karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN akhirnya membatalkan SHM seluas 7,78 hektar atas nama Abdul Halim.

Namun, Kuasa Hukum Abdul Halim, Hendra, menampik pernyataan Sofyan. Dia mengeklaim, tanah yang berlokasi di Cakung, Jakarta Timur, tersebut merupakan milik Abdul Halim dan telah didaftarkan melalui mekanisme Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) serta sesuai prosedur perundang-undangan yang berlaku.

Kasus lainnya yang melibatkan mafia tanah dan tak kalah heboh adalah terkait ibunda Wakil Menteri Luar Negeri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyo (SBY) Dino Patti Djalal.

Ibunda Dino menjadi korban mafia tanah karena mengetahui sertifikat miliknya telah dicuri.

Padahal, kata Dino, ibunya tidak pernah melakukan akad jual beli (AJB) rumah tersebut.

Hingga akhirnya, Polda Metro Jaya mengungkap kasus mafia tanah yang dialami dan dilaporkan pihak keluarga Dino.

Setidaknya, ada 15 tersangka yang ditangkap dari tiga laporan dugaan penipuan sertifikat tanah dan bangunan milik ibundanya itu.

Peristiwa yang menimpa keluarga Nirina, Abdul Halim, dan ibunda Dino ini semakin menguak fakta bahwa keberadaan mafia tanah tak pernah benar-benar lenyap.

Sebaliknya, eksistensi mereka makin nyata dan menjadi bagian terbesar persoalan pertanahan di Indonesia.

Dia juga memastikan akan melakukan audit terhadap pegawai BPN dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terlibat.

"Apakah ada pelanggaran prosedur waktu pengalihan sertifikat kami belum tahu, nanti kita akan audit dahulu apakah ada BPN yang ikut terlibat," ujar Sofyan dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (17/11/2021).

Juru Bicara Kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi mengakui masih ada oknum di BPN yang terafiliasi dengan jaringan mafia tanah.

"Tapi sedikit, tapi tidak hanya di kami, di banyak lembaga juga ada oknum yang terafiliasi dengan mafia tanah itu," kata dia.

Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN berupaya untuk memperbaiki sistem pengelolaan pertanahan dengan digitalisasi dokumen.

Hingga saat ini, lebih dari 2,8 miliar dokumen pertanahan tercatat di seluruh kantor BPN di seluruh Indonesia.

Kementerian ATR/BPN juga gencar melakukan sertifikasi tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada seluruh bidang tanah di Indonesia.

Kepastian hukum akan tanah dinilai menjadi hal yang sangat penting terutama untuk mencegah terjadinya sengketa dan menghindari praktik mafia tanah.

Pendaftaran tanah dilakukan melalui pengukuran koordinat tanah yang dimiliki seseorang. Hal itu untuk memastikan agar pendaftaran tanah dilakukan dengan tepat.

Jika terjadi sengketa tanah, Kementerian ATR/BPN akan berupaya menyelesaikan dengan mengedepankan mediasi.

Selain itu, upaya yang dilakukan untuk memberantas mafia tanah adalah dengan membentuk Tim Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah sejak tahun 2018.

Awalnya, anggota dari tim ini terdiri dari Kementerian ATR/BPN dan Kepolisian Negara RI.

Tim ini dibentuk untuk menindaklanjunti Memorandum of Understanding (MoU) antara Menteri ATR/Kepala BPN dengan Kepala Kepolisian RI dalam surat Nomor 3/SKBIII/2017 dan Nomor B/26/III/2017.

Kementerian ATR/BPN juga telah menandatangani MoU bersama dengan Kejaksaan Agung RI pada tahun 2020 sebagai bagian dari tim tersebut.

MoU yang ditandatangani tersebut tercantum pada Nomor 1/SKB-HK.03.01/1/2020 dan Nomor 11 tahun 2020.

Kejaksaan Agung RI pun resmi menjadi bagian dari Tim Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah sejak tahun ini.

Kejaksaan Agung RI masuk ke dalam bagian tim ini bertujuan dalam memudahkan koordinasi untuk meningkatkan keberhasilan penanganan dan penyelesaian kasus terindikasi mafia tanah.

Menurut Taufiqulhadi, kinerja Tim Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah sangat efektif.

Dia mengeklaim, sejak masa kepemimpinan Menteri Sofyan Djalil A Djalil sudah ada ratusan orang mafia tanah dan oknum internal Kementerian ATR/BPN yang telah ditangkap dan ditindak tegas.

"Ratusan orang yang terlibat mafia tanah sudah diberi hukuman, ada yang dipecat, dimutasi, diberi peringatan itu banyak sekali. Dan ini jelas berbeda dibandingkan dengan menteri-menteri sebelumnya," kata Taufiqulhadi.

Inspektur Jenderal Kementerian ATR/BPN Sunraizal menambahkan, hingga saat ini telah memberikan sanksi terhadap 125 pegawai BPN yang terlibat dalam praktik mafia tanah.

Dia merinci, 32 pegawai mendapatkan hukuman berat, 53 orang dihukum disiplin sedang, dan 40 orang dihukum disiplin ringan.

Tindakan ini merupakan bentuk keseriusan Kementerian ATR/BPN apabila pegawai mereka ditemukan melanggar lalu kemudian ditangani oleh penyelidik.

Namun demikian, kinerja Tim Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah dinilai tidak maksimal dan tebang pilih.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai, respons dan penanganan kasus mafia tanah yang dilakukan Pemerintah seperti pemadam kebakaran.

"Jika sudah ada tekanan, penanganannya seolah digenjot lagi," ucap Dewi kepada Kompas.com, Jumat (19/11/2021).

Apabila kasus mafia tanah yang melibatkan korban dari elite atau pejabat maupun figur publik, maka akan direspon dengan cepat.

Padahal, kata Dewi, praktik mafia tanah bukanlah sesuatu hal yang baru. Sudah tak terhitung pengaduan perihal tanah ini dan telah menelan banyak korban dari masyarakat kecil, terutama di daerah konflik agraria.

Menurut Dewi, jaringan mafia tanah ini melibatkan orang-orang dalam pemerintahan, aparat, hingga pengadilan.

"Itulah mengapa konflik agraria banyak mengalami kemacetan. Karena, Pemerintah enggan membongkar praktik manipulatif, kolutif, koruptif dan pidana pemalsuan penerbitan sertifikat hak atas tanah yang juga melibatkan orang dalam," tutur Dewi.

https://www.kompas.com/properti/read/2021/11/20/070000721/tak-kunjung-tuntas-mafia-tanah-masih-merajalela-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke