Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Josua Sitompul
Pegawai Negeri Sipil

Koordinator Hukum dan Kerja Sama Ditjen Aptika. Legal Drafter. Alumnus Faculty of Law Maastricht University. Pengajar pada Fakultas hukum Universitas Indonesia. Kepala Divisi Hukum Indonesia Cyber Law Community.

Mempersiapkan Masa Depan Notaris Siber Indonesia

Kompas.com - 26/05/2023, 10:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kekuatan pembuktian tersebut didasarkan pada setidaknya dua hal. Pertama, akta dibuat oleh notaris sebagai pejabat umum yang diangkat negara.

Kedua, akta notaris harus dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN.

Salah satu persyaratan akta notaris yang fundamental ialah bahwa notaris wajib membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh saksi yang jumlahnya ditentukan dalam undang-undang.

UUJN menjelaskan bahwa notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta di hadapan penghadap dan saksi.

Kembali kepada pertanyaan awal, apakah dengan menghapus ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU ITE secara otomatis menjadikan diterimanya akta notaris elektronik sebagai alat bukti yang sah? Sebagian pihak berpendapat ya, dan sebagian lagi menjawab tidak.

Bagi mereka yang menilai ya, penghapusan pasal tersebut menegaskan keberlakuan aturan dasar pertama, yaitu informasi atau dokumen elektronik beserta hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Bagi mereka yang berpendapat tidak, penghapusan Pasal 5 ayat (4) UU ITE tidak serta merta menghapus ketentuan dalam UUJN yang, misalnya, mengatur bahwa notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta di hadapan penghadap dan saksi.

Jika menghapus Pasal 5 ayat (4) UU ITE tidak setra merta menghapus ketentuan dalam UUJN, bukankah lebih menjawab permasalahan dengan mengubah atau menghapus bagian dari UUJN yang menghambat pengembangan notaris siber di Indonesia?

Oleh karena itu, ketentuan UU ITE tersebut tidak menghambat pengembangan notaris siber di Indonesia.

Ketentuan UU ITE tersebut memiliki peran penting seperti engsel yang menjaga keutuhan dan keharmonisan dua undang-udang yang memiliki aturan berbeda terkait penerimaan bukti elektronik.

Engsel yang dimaksud memungkinkan kedua undang-undang tersebut menjalankan fungsinya masing-masing.

Akan tetapi, meskipun adanya aturan jelas dan tegas yang memfasilitasi pengembangan notaris siber sangat membantu, aturan saja tidak cukup. Berbagai faktor non-hukum, seperti teknologi, budaya, dan bisnis juga berperan dalam pengembangan notaris siber.

Berkaitan dengan teknologi, ketersediaan infrastruktur untuk mendukung layanan kenotariatan elektronik menjadi satu kunci penting.

Apakah notaris harus membuat repositori akta elektroniknya masing-masing, atau akan ada pusat data yang akan digunakan oleh lebih dari 19.000 notaris?

Berkaitan dengan ketersediaan dan penyelenggaraan pusat data, siapa yang akan menyelenggarakan pusat data tersebut? Apakah pemerintah atau ikatan notaris?

Akan tetapi, siapapun penyelenggaranya, entitas tersebut harus memperhitungkan anggaran yang akan digelontorkan untuk pembangunan dan pengelolaan pusat data.

Tidak hanya itu saja, keamanan dan keandalan penyelenggaraan pusat data serta tata kelolanya juga menjadi aspek teknologi lain yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan notaris siber.

Pemahaman akan teknologi informasi dan komunikasi oleh para notaris juga tidak dapat diabaikan dalam pengembangan notaris siber.

Pemahaman yang dimaksud tidak hanya pengetahuan untuk menggunakan aplikasi, tetapi juga, antara lain, penerapan tata kelola keamanan informasi.

Peningkatan pemahaman yang dimaksud dapat melalui pelatihan secara berkesinambungan. Mungkin saja, agar dapat memberikan layanan akta notaris elektronik, para notaris harus menempuh ujian sertifikasi. Proses sertifikasi juga memerlukan biaya yang harus ditanggung notaris.

Mungkin juga, agar pemahaman akan TIK dapat lebih sistematis, universitas-universitas di Indonesia perlu menyusun satu satu kurikulum khusus dalam program kenotariatan mereka.

Kolaborasi antara akademisi dan praktisi bidang hukum dan teknologi dibutuhkan untuk membangun kurikulum yang kontekstual, relevan dan implementatif.

Lebih jauh lagi, pemahaman akan teknologi juga harus dibarengi dengan pemahaman akan pelindungan data pribadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com