MEMANFAATKAN Artificial Intelligence (AI) untuk memprediksi putusan pengadilan yang akan dibuat oleh para hakim, menjadi topik menarik saat ini.
Isu ini tidak hanya berkembang di kalangan profesi hukum, tetapi juga para pelaku bisnis dan siapapun yang kerap atau mungkin berurusan dengan hukum dan pengadilan.
Prediksi putusan hakim dengan menggunakan algoritma dan instrumen Akal Imitasi, disebut akan membuat langkah lebih efisien dan terukur dalam melakukan pilihan atau upaya hukum.
Baca juga: Saat AI Bisa Memprediksi Putusan Pengadilan (Bagian I)
Langkah prediktif legal bisa dilakukan secara cepat dan efisien. Seseorang atau penasihat hukum bisa menggunakan AI prediktif atau platform digital berkekuatan AI dalam memprediksi hasil akhir kasusnya. Prediksi putusan adalah langkah penting dan strategis.
Namun tentu, prasyarat utamanya adalah platform AI yang digunakan harus terpercaya (trustworthy), kredibel, tak bias, dan merupakan platform spesifik bidang hukum yang memiliki data base pelatihan hukum yang memadai dan akurat.
AI dimaksud, harus sangat familiar dengan bahan dan materi hukum di negara di mana pengadilan akan dilakukan, sehingga meminimalisasi bias prediktif.
Dalam proses hukum, yang mengutamakan akurasi dan kepastian, akurasi data hukum positif dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, adalah keniscayaan.
Referensi di mana AI dapat memprediksi putusan Mahkamah Agung, dapat dirujuk antara lain dari tulisan William Vogeler, Esq. (2/3/2019) berjudul "AI Can Predict Supreme Court Decisions, New Study Finds".
Penelitian ini mengungkapkan, AI dapat memprediksi putusan pengadilan lebih akurat dibandingkan seorang pakar.
Pada tahun 2002, sebanyak 75 persen algoritma memprediksi putusan pengadilan dengan tepat. Model pembelajaran mesin dengan tepat memprediksi setidaknya 70 persen dari 28.000 putusan.
Hal ini menarik karena menurut Wiliam, akurasi prediktif manusia sebagai ahli berkisar pada akurasi 66 persen.
Mengutip pendapat Daniel Katz, Profesor hukum di Illinois Institute of Technology di Chicago, mengatakan bahwa dalam proses pengadilan, setiap kali kita mencatat skor yang hasilnya tidak terlalu bagus.
Studi baru ini menggunakan Database Mahkamah Agung AS yang memuat kasus-kasus yang berasal dari tahun 1791. Para peneliti menggunakan 16 fitur dari setiap pemungutan suara, termasuk unsur keadilan, istilah, permasalahan, dan pengadilan asal.
Dengan informasi tersebut, tim peneliti membuat model statistik pembelajaran mesin, untuk melihat hubungan dan hasil pada tahun-tahun sebelumnya. Algoritma kemudian mengambil informasi untuk memperbarui strategi dan kemajuannya setiap tahun serta hasilnya.
Para ilmuwan, dalam penelitian sebelumnya mengatakan bahwa algoritma baru ini ketat dan dilakukan dengan baik, dengan data yang sangat besar dan metode canggih.