Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Neneng Annisa Rahmah
Advokat

Full time Mom | Part time Lawyer & Certified Mediator

Menyoal Kenaikan Angka Perceraian di Indonesia

Kompas.com - 31/12/2023, 07:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ANGKA perceraian di Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tercatat dalam enam tahun terakhir (2017-2022), angka perceraian terus mengalami kenaikan signifikan. Angka tertinggi terjadi pada 2022.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian mencapai 516.344 kasus pada 2022, meningkat sekitar 15,31 persen dibanding 2021 sebanyak 447.743 kasus.

Selain itu, mayoritas kasus perceraian merupakan cerai gugat, yaitu perkara yang gugatan cerainya diajukan oleh pihak istri yang telah diputus oleh pengadilan. Pada 2022, jumlahnya sebanyak 388.358 kasus atau sekitar 75,21 persen total kasus perceraian di Indonesia.

Sedangkan sisanya sebanyak 127.986 kasus atau 24,78 persen perceraian terjadi karena cerai talak, yaitu perkara yang permohonan cerainya diajukan oleh pihak suami. (BPS, 2022)

Meningkatnya angka perceraian setiap tahunnya justru berbanding terbalik dengan penurunan angka perkawinan.

Data BPS 2022, terdapat 1,7 juta perkawinan yang tercatat di Indonesia. Jumlah ini mengalami penurunan sekitar 2,1 persen dibandingkan 2021, yaitu 1,74 juta perkawinan.

Selain itu, angka perkawinan nasional pada 2022 menjadi yang terendah dalam satu dekade terakhir.

Tentu saja ini perlu menjadi perhatian semua pihak, bagaimana institusi keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sedang mengalami masalah cukup serius dengan meningkatnya angka perceraian setiap tahunnya.

Penyebab perceraian

Ada banyak faktor yang menyebabkan pasangan suami istri mengakhiri perkawinan dengan perceraian.

Namun setidaknya menurut Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.

Lebih lanjut alasan perceraian diatur secara limitatif dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP 9/75), perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-asalan, yaitu:

  1. suami/isteri melakukan zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan perbuatan lainnya yang sukar disembuhkan;
  2. meninggalkan pasangan selama 2 tahun berturut-turut;
  3. suami/isteri mendapat hukum penjara 5 tahun atau lebih;
  4. pasangan melakukan kekejaman atau penganiayaan berat;
  5. suami/isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang membuat tidak bisa melaksanakan kewajibannya; dan
  6. terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran.

Selain itu, alasan perceraian juga dinyatakan secara tegas dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), enam di antaranya seperti yang telah disebutkan dalam UU Perkawinan di atas.

Ditambah dua poin lain, yaitu: suami melanggar taklik talak; dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Di Indonesia setidaknya ada lima faktor tertinggi penyebab perceraian, yaitu perselisihan dan pertengkaran, ekonomi, meninggalkan salah satu pihak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan mabuk (Databoks.katadata.co.id, 2023).

Faktor lainnya dilatarbelakangi alasan lain, yaitu murtad, dihukum penjara, poligami, zina, madat, dan lainnya.

Pada 2022, menurut catatan BPS, penyebab perceraian karena perselisihan dan pertengkaran jumlahnya sebanyak 284.169 kasus atau sekitar 63,41 persen total faktor penyebab perceraian yang terjadi di Indonesia.

Perselisihan atau pertengkaran (Pasal 19 huruf f PP 9/75) menjadi alasan paling sering dan umum digunakan dalam mengajukan gugatan/permohonan perceraian.

Hal itu karena pertengkaran atau perselisihan yang dialami oleh suami dan istri sifatnya sangat subjektif dan beban pembuktian pada persidangan untuk kasus perceraian dengan menggunakan dasar hukum Pasal 19 huruf (f) yang tidak terlalu sulit untuk dibuktikan.

Pasal 22 ayat (2) PP 9/75 menyebutkan:

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com